Sabtu, 02 Januari 2021

MASA REFORMASI (1998-SEKARANG)

 

1.     Lahirnya Gerakan Reformasi

Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Munculnya keinginan untuk melakukan perubahan itu muncul disebabkan oleh dampak negatif dari kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru.

Pada masa Orde Baru pemerintah berhasil mewujudkan kemajuan pembangunan yang pesat. Namun kemajuan pembangunan itu ternyata tidak merata.

Pada bulan Juli 1997 bangsa Indonesia terkena krisis moneter yang menyebabkan bangkrutnya perbankan dan meluas menjadi krisis ekonomi.

Kondisi ini menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Mahasiswa pada waktu ini melakukan demonstrasi menuntut reformasi total.

Gelombang demonstrasi mahasiswa semakin meluas di seluruh kota di Indonesia, dengan pusat gerakan di kampus masing-masing.

Tuntutan para mahasiswa adalah :

1.   Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.

2.   Turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepemimpinan.

3.   Pelaksanaan sidang istimewa MPR.

4.   Reformasi total di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan hukum.

Demonstrasi mahasiswa yang didukung oleh masyarakat ini ditanggapi oleh pemerintah dengan menggerakkan aparat keamanan. Pada tanggal 12 Mei 1988 terjadi penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti. Pada tanggal 19 Mei 1988 gedung DPR/MPR dipenuhi mahasiswa dan masyarakat mengadakan demonstrasi. Pada tanggal 21 Mei 1988 Presiden Soeharto menyerahkan kepresidenan kepada B.J. Habibi.

2.     Perkembangan Politik

a.    Sidang Istimewa MPR 1998

Pada tanggal 10-13 November 1998, MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk menentapkan langkah pemerintah dalam melaksanakan reformasi di segala bidang. Dalam Sidang Istimewa MPR 1998 terjadi perombakan besar-besaran terhadap sistem hukum dan perundang-undangan. Sidang ini menghasilkan 12 ketetapan MPR yang diantaranya memperlihatkan adanya upaya mengakomodasi tuntutan reformasi. Ketetapan-ketetapan itu antara lain adalah sebagai berikut.

1)    Ketetapan MPR No.VIII Tahun 1998, yang memungkinkan UUD 1945 diamandemen.

2)    Ketetapan MPR No.XII Tahun 1998, mengenai pencabutan Ketetapan MPR No. IV Tahun 1993 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam rangka Menyukseskan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.

3)    Ketetapan MPR No. XVIII Tahun 1998, mengenai Pencabutan Ketetapan MPR No. II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa).

4)    Ketetapan MPR No. XIII Tahun 1998, tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Maksimal Dua Periode.

5)    Ketetapan MPR No. XV Tahun 1988, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan Pembangunan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

6)    Ketetapan MPR No XI Tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

b.    Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah pada masa reformasi dilaksanakan secara lebih demokratis dari masa sebelumnya.

c.    Pencabutan Pembatasan Partai Politik

Kebebasan berpolitik pada masa reformasi dilakukan dengan pencabutan pembatasan partai politik.

d.    Penghapusan Dwi Fungsi ABRI

Pada masa reformasi Dwi Fungsi ABRI dihapuskan secara bertahap sehingga ABRI berkonsentrasi pada fungsi pertahanan dan keamanan. ABRI yang semula terdiri atas empat angkatan yang termasuk Polri, mulai tanggal 5 Mei 1999, Polri memisahkan diri menjadi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Istilah ABRI berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

e.    Penyelenggaraan Pemilu

Sejak dimulainya masa reformasi hingga tahun 2015, pemerintah telah melaksanakan empat kali pemilihan umum, yaitu pemilu tahun 1999, 2004, 2009, dan 2014.

3.     Perkembangan Ekonomi

Berbagai perkembangan ekonomi, sosial, budaya terjadi pada masa reformasi.

 

MASA ORDE BARU (1966 – 1998)

 

1.     Perkembangan Dalam Bidang Politik

Supersemar dapat dikatakan sebagai tonggak dalam memasuki orde baru kehidupan berbangsa dan bernegara atau tonggak Orde Baru. Pemerintah Orde Baru menjelaskan bahwa pengertian Orde Baru adalah tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen.

Supersemar menjadi landasan yuridis Letnan Jenderal Soeharto (pengemban Supersemar) untuk mengambil langkah-langkah di segala bidang demi keselamatan negara. Adapun langkah-langkah politik yang diambil Letjen Soeharto, antara lain sebagai berikut :

a.      Tanggal 12 Maret 1966, pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya dari pusat sampai daerah.

b.      Tanggal 18 Maret 1966, mengamankan 15 menteri yang terlibat dalam G30S tahun 1965. Kelimabelas menteri (dalam kabinet Dwikora) tersebut adalah Dr. Subandrio, Dr. Chairul Saleh, Ir. Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo, Oei Tju Tat, Ir. Surachman, Yusuf Muda Dalam, Armunanto, Sutomo Martopradoto, A. Astrawinata, S.H. Mayjen Achmadi, Drs.Achadi, Letkol Sjafei, J.K. Tumakaka, dan Mayjen Dr. Sumarmo.

c.      Tanggal 25 Juli 1966 membentuk Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Adapun tugas pokok dari Kabinet Ampera dikenal dengan nama Dwidharma yaitu dalam rangka mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi. Dalam melaksanakan tugas ini maka penjabarannya tertuang dalam Program Kabinet Ampera yang dikenal dengan nama Catur Karya, meliputi :

1)    Memperbaiki perikehidupan rakyat terutama dalam bidang sandang dan pangan.

2)    Melaksanakan Pemilihan Umum paling lambat tanggal 5 Juli 1968.

3)    Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional.

4)    Melanjutkan perjuangan anti imperalisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

d.       Tanggal 11 Agustus 1966, melaksanakan persetujuan normalisasi hubungan dengan Malaysia yang pernah putus sejak 17 September 1963. Persetujuan normalisasi hubungan tersebut merupakan hasil Perundingan Bangkok yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1966, yang isinya, sebagai berikut:

1)    Rakyat Sabah dan Serawak akan diberi kesempatan menegaskan lagi keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Malaysia.

2)    Kedua pemerintahan menyetujui memulihkan hubungan diplomatik.

3)    Menghentikan tindakan-tindakan permusuhan.

Letjen Soeharto dalam melaksanakan semua langkah ini berdasarkan pada amanat Supersemar. Untuk itu diperlukan dasar hukum yang kuat, sehingga makna Supersemar bukan saja kepercayaan dan wewenang Soekarno kepada Soeharto, tetapi juga sebagai wujud kehendak rakyat. Pada tanggal 20 Juni 1966 MPRS menyelenggarakan sidang umum, yang menerima dan menetapkan Supersemar dalam salah satu ketetapannya, dari 24 ketetapan MPRS yang dihasilkannya.

Ketetapan MPRS penting yang terkait dengan perkembangan politik yang terjadi pada waktu itu adalah:

a.       Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang memperkuat kebijaksanaan Presiden/ Panglima ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Republik Indonesia yang dituangkan dalam Supersemar dan meningkat menjadi ketetapan MPRS.

b.       Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Dan pemungutan suara dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.

c.       Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang penegasan kembali landasan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif. Bertujuan membentuk satu persahabatan yang baik antara Indonesia dan semua negara di dunia, terutama negara-negara Asia-Afrika atas dasar kerja sama membentuk satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme menuju perdamaian dunia yang sempurna.

d.       Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera yang menggantikan Kabinet Dwikora.

e.       Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah RI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme.

Dalam sidang umum MPRS tanggal 20 Juni 1966 Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban yang berjudul “Nawaksara” terkait dengan peristiwa G30S/PKI. Soekarno menyempurnakan pertanggungjawabannya kepada MPRS pada tanggal 10 Januari 1966 yang disebut “Pelengkap Nawaksara”. Namun MPRS menolak pertanggungjawaban Soekarno melalui TAP MPRS No. V/MPRS/1966. Karena itu MPRS melaksanakan Sidang Istimewa pada tanggal 7 – 12 Maret 1967 yang menghasilkan empat ketetapan, yaitu:

a.       Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto pemegang Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPRS hasil Pemilu.

b.       Ketetapan MPRS No. XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

c.       Ketetapan MPRS No. XXXV/MPRS/1967 tentang pencabutan Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi.

d.       Ketetapan MPRS No. XXXVI/MPRS/1967 tentang pencabutan Ketetapan MPRS No. XXVI/MPRS/1966 tentang pencabutan panitia penelitian ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

 

2.     Perkembangan Dalam Bidang Ekonomi

Selama beberapa tahun sebelum Orde Baru keadaan ekonomi telah mengalami kemerosotan terus-menerus. Pada tahun 1955-1960 laju inflasi rata-rata 25 % setahun. Dalam periode 1960-1965 harga-harga meningkat dengan laju inflasi rata-rata 226 % setahun. Pada tahun 1966 laju inflasi itu mencapai puncaknya, yaitu 650 % yang diikuti oleh kemerosotan ekonomi di segala bidang.

Demi terealisasikannya stabilitas ekonomi maka pemegang Supersemar melakukan langkah-langkah yang meliputi :

a.       Tanggal 11 Agustus 1966, dibentuknya Dewan Stabilitas Ekonomi Nasional (DSEN).

b.       Tanggal 1 April 1969, dimulai Repelita sebagai langkah pembangunan secara bertahap dalam jangka waktu lima tahunan.

Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dimulai tanggal 1 April 1969, menitikberatkan pada sektor pertanian. Dasar petimbangannya adalah 75 % penduduk hidup dari sektor pertanian, 55 % produksi nasional dari pertanian dan lebih dari 60 % ekspor berasal dari komoditaspertanian. Adapun sasaran pembangunan menurut Repelita adalah sebagai berikut :

(1)    Pangan

(2)    Sandang

(3)    Perbaikan prasarana

(4)    Perumahan rakyat

(5)    Perluasan lapangan kerja

(6)    Kesejahteraan rohani

Pelaksanaan pembangunan ini bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yaitu :

(1)    Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.

(2)    Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

(3)    Stabilitas pembangunan yang sehat dan dinamis.

Asas pembangunan yang dilakukan Orde Baru, adalah:

(1)    Asas manfaat

(2)    Asas demokrasi

(3)    Asas adil dan merata

(4)    Asas kesadaran

(5)    Modal rohani dan mental

(6)    Asas perikehidupan dan kekeluargaan

(7)    Asas kepercayaan pada diri sendiri

Adapun modal dasar pembangunan nasional adalah :

(1)    Kemerdekaan dan kedaulatan bangsa

(2)    Kedudukan geografi

(3)    Sumber-sumber kekayaan alam

(4)    Jumlah penduduk

(5)    Modal rohani dan mental

(6)    Modal budaya

(7)    Potensi efektif bangsa

(8)    Angkatan bersenjata

Faktor-faktor dominan yang menggerakkan modal dasar untuk mencapai pembangunan adalah :

(1)    Faktor demografi dan sosial-budaya

(2)    Faktor klimatologi

(3)    Faktor geografi, hidrografi, geologi, dan topografi

(4)    Faktor flora dan fauna

(5)    Faktor kemungkinan pengembangan

 

3.     Perkembangan Dalam Bidang Sosial-Budaya

Perkembangan kehidupan sosial-budaya masa pemerintahan Orde Baru dapat dilihat dari berbagai bidang. Dalam bidang kependudukan pemerintah berusaha menekan pertumbuhan penduduk dengan melaksanakan Program Keluarga Berencana (KB). Sehingga di tahun 1970-an laju pertumbuhan penduduk sekitar 2,5 % dapat ditekan menjadi 1,6 % setiap tahun di tahun 1990-an. Begitu juga dengan usia harapan hidup, tahun 1970-an rata-rata sekitar 50 tahun, tetapi di tahun 1990-an menjadi 61 tahun. Melalui Program Puskesmas dan Posyandu angka kematian bayi menurun dari 142 menjadi 63 per seribu kelahiran.

Di bidang pendidikan pemerintah meningkatkan pengadaan fasilitas pendidikan dasar, sehingga dapat menampung anak-anak Indonesia usia sekolah dasar. Hal ini sangat menunjang pelaksanaan wajib belajar 6 tahun, yang sekarang meningkat menjadi wajar 9 tahun. Pada tahun 1990-an jumlah rakyat buta huruf menurun menjadi 17 5 dari 39 % pada tahun 1971.

Di bidang tenaga kerja terkena dampak positif dari meningkatnya pemerataan pendidikan. Pada tahun 1971 sekitar 43 % angkatan kerja berasal dari tenaga yang belum pernah sekolah dan 2,8 % lulusan SMTA ke atas. Kondisi ini telah berubah pada tahun 1990-an dimana angkatan kerja terdiri dari 17 % belum pernah sekolah, 15 % lulusan SMTA ke atas.

 

MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959 – 1965)

 

Masa Demokrasi Terpimpin adalah masa ketika Indonesia menerapkan suatu sistem pemerintahan dengan seluruh keputusan pemerintah berpusat pada kepala negara. Pada saat itu, jabatan kepala negara dijabat oleh Presiden Soekarno. Masa Demokrasi Termimpin berlangsung sejak dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959 sampai tahun 1965.

1.     Perkembangan Politik

a.    Dekret Presiden 5 Juli 1959

Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum, mulai bersidang pertama kali pada tanggal 20 November 1956. Konstituante mempunyai anggota yang berasal dari berbagai organisasi politik. Anggota-anggota Konstituante terbagi atas dua kelompok utama yaitu kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Antara kedua kelompok tersebut tidak pernah tercapai kata sepakat mengenai isi UUD yang akan disusun.

Selama tiga tahun Dewan Konstituante belum dapat menyusun UUD yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Dalam sidang-sidang konstituante muncul perdebatan yang tiada titik temu. Setiap anggota ingin memaksakan pendapatnya sesuai dengan kehendak partai yang diwakilinya. Kegagalan Konstituante ini mendorong Presiden atas nama pemerintah menganjurkan "untuk kembali kepada UUD 1945".

Pada tanggal 30 Mei 1959 Konstituante mengadakan pemungutan suara terhadap usul pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 (tanpa perubahan). Hasilnya tidak sah, karena yang hadir tidak mencapai Quorum 2/3 seperti yang disyaratkan UUDS 1950 pasal 37. Pemungutan suara dilakukan lagi pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959, akan tetapi juga tidak tercapai quorum 2/3 Pada tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses yang ternyata untuk selama-lamanya.

Keadaan yang kritis di mana Konstituante gagal menyusun UUD dan kembali ke UUD 1945, pemberontakan di berbagai daerah serta berbagai rentetan peristiwa politik. Akhirnya mendorong Presiden Soekarno pada kesimpulan "keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta. Demi keselamatan negara dan berdasarkan hukum keadaan bahaya bagi negara, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959.

Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959, yaitu:

1)    Pembubaran Konstituante

2)    Berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya UUDS 1950

3)    Akan dibentuk MPRS, DPRS, dan DPAS.

 

b.    Penyimpangan terhadap UUD 1945

Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin bertujuan untuk menata kembali kehidupan politik dan pemerintahan yang tidak stabil pada masa Demokrasi Parlementer dengan kembali melaksanakan UUD 1945. Namun pada perkembangannya, pada masa Demokrasi Terpimpin justru terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945. Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut antara lain sebagai berikut.

1)    Presiden menunjuk dan mengangkat anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Seharusnya anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dipilih melalui pemilu bukan ditunjuk dan diangkat oleh Presiden.

2)    Presiden membubarkan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 1955 dan menggantinya dengan Dewan Permusyawaratan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Seharusnya kedudukan Presiden dan DPR adalah setara. Presiden tidak dapat membubarkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat memberhentikan Presiden.

3)    Pengangkatan presiden seumur hidup. Seharusnya Presiden dipilih setiap lima tahun sekali melalui pemilu sebagaimana amanat UUD 1945, bukan diangkat seumur hidup.

Penyimpangan terhadap UUD 1945 yang terjadi masa Demokrasi Terpimpin disebabkan oleh kekuasaan yang dimiliki oleh presiden sangat besar sehingga pemerintahan cendrung mengarah kepada otoriter.

c.    Politik Luar Negeri

Berdasarkan UUD 1945, politik luar negeri yang dianut Indonesia adalah politik luar negeri bebas aktif. Kebijakan politik luar negeri pada saat demokrasi terpimpin antara lain sebagai berikut.

1)    Oldefo dan Nefo

Oldefo (The Old Established Forces) adalah sebutan untuk negara-negara barat yang sudah mapan ekonominya. Khususnya negara-negara kapiltalis. Nefo (The New Emerging Forces) adalah sebutan untuk negara-negara baru, khususnya negara-negara sosialis. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia lebih banyak menjalin kerja sama dengan negara-negara Nefo. Hal ini terlihat dengan dibentuknya Poros Jakarta–Peking (Indonesia dan China) dan Poros Jakarta–Phnom Penh–Hanoi–Pyongyang (Indonesia, Kamboja, Vietnam Utara, dan Korea Utara).

2)    Politik Mercusuar

Politik Mercusuar merupakan politik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno dengan anggapan bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Untuk mewujudkannya, maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar, di antaranya adalah penyelenggaraan Ganefo (Games of the New Emerging Forces), pembangunan kompleks olahraga Senayan, dan pembangunan Monumen Nasional (Monas).

3)    Indonesia dalam Gerakan Non-Blok

Dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, muncul gagasan untuk membentuk organisasi yang disebut dengan Gerakan Non-Blok. Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement) didirikan untuk menyikapi persaingan antara Blok Barat yang dipiminan Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Sovyet pada awal tahun 1960-an. Persaingan kedua blok memicu terjadinya Perang Dingin (Cold War) yang dapat mengancam perdamaian dunia.

4)    Konfrontasi dengan Malaysia

Konfrontasi dengan Malaysia berawal dari keinginan Federasi Malayasia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia. Rencana pembentukan Federasi Malaysia mendapat tentangan dari Filipina dan Indonesia. Filipina menentang karena menganggap bahwa wilayah Sabah secara historis adalah milik Kesultan Sulu. Indonesia menentang karena menurut Presiden Soekarno pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk mengamankan kekuasaanya di Asia Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek Neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia.

Pada tanggal 16 September 1963 pendirian Federasi Malaysia diproklamirkan. Menghadapi tindakan ini, Indonesia mengambil kebijakan konfrontasi. Pada tanggal 17 September 1963 hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia putus. Selanjtunya pada tanggal 3 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Isi Dwikora adalah sebagai berikut.

a) Perhebat ketahanan revolusi Indonesia

b) Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, Sabah, dan Brunei untuk memerdekakan diri dan menggagalkan negara boneka Malaysia.

Pada saat Konfrontasi Indonesia-Malaysia sedang berlangsung, Malaysia dicalonkan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pencalonan ini mendapat reaksi keras dari Presiden Soekarno. Pada tanggal 7 Januari 1965 Malaysia dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan spontan Presiden Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari PBB.

5)    Pembebasan Irian Barat

Sesuai isi KMB, Irian Barat akan diserahkan oleh Belanda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS. Namun, pada kenyataannya lebih dari satu tahun pengakuan kedaulatan Indonesia, Belanda tidak kunjung menyerahkan Irian Barat pada Indonesia.

a)    Dalam penyelesaian masalah Irian Barat, pemerintah Indonesia melakukan upaya diplomasi bilateral dengan Belanda. Upaya ini tidak membuahkan hasil. Selanjutnya sejak tahun 1954 setiap tahun persolan Irian Barat berulang-ulang dimasukkan ke dalam acara sidang Majelis Umum PBB, tetapi tidak pernah memperoleh tanggapan positif. Oleh karena berbagai upaya diplomasi tidak berhasil, pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk menempuh sikap keras melalui konfrontasi total terhadap Belanda, antara lain sebagai berikut.

b)    Pada tahun 1956, Indonesia secara sepihak membatalkan hasil KMB dan secara otomatis membubarkan Uni Indonesia- Belanda. Melalui UU No. 13 Tahun 1956 tanggal 3 Mei 1956 Indonesia menyatakan bahwa Uni Indonesia–Belanda tidak ada.

c)     Pada 17 Agustus 1960, Indonesia secara sepihak memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda yang diikuti oleh pemecatan seluruh warga negara Belanda yang bekerja di Indonesia. Kemudian pemerintah Indonesia mengusir semua warga negara Belanda yang tinggal di Indonesia dan memanggil pulang duta besar serta para ekspatriat Indonesia yang ada di Belanda.

d)    Pembentukan Provinsi Irian Barat dengan ibu kota di Soasiu (Tidore) untuk menandingi pembentukan negara Papua oleh Belanda.

Puncak konfrontasi Indonesia terhadap Belanda terjadi saat Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Adapun isi Trikora adalah sebagai berikut.

1)    Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda kolonial.

2)    Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.

3)    Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa

Untuk melaksanakan Trikora, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden/ Pangti ABRI/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan keputusan Nomor 1 Tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Antara bulan Maret sampai bulan Agustus

1962 oleh Komando Mandala dilakukan serangkaian operasi-operasi pendaratan melalui laut dan penerjunan dari udara di daerah Irian Barat. Operasi-operasi infiltrasi tersebut berhasil mendaratkan pasukan-pasukan ABRI dan sukarelawan di berbagai tempat di Irian Barat. Antara lain Operasi Banteng di Fak-Fak dan Kaimana, Operasi Srigala di sekitar Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga dengan sasaran Merauke, serta Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana, dan Merauke.

Pada mulanya Belanda mencemoohkan persiapan-persiapan Komando Mandala tersebut. Mereka mengira, bahwa pasukan Indonesia tidak mungkin dapat masuk ke wilayah Irian. Tetapi setelah ternyata bahwa operasi-operasi infiltrasi dari pihak kita berhasil, maka Belanda bersedia untuk duduk pada meja perundingan guna menyelesaikan sengketa Irian Barat.

Pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, yang terkenal dengan Perjanjian New York. Adapun isi dari Perjanjian New York adalah sebagai berikut.

a)    Kekuasaan Belanda atas Irian Barat berakhir pada 1 Oktober 1962.

b)    Irian Barat akan berada di bawah perwalian PBB hingga 1 Mei 1963 melalui lembaga UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) yang dibentuk PBB.

c)     Pada 1 Mei 1963, Irian Barat akan diserahkan kepada pemerintah Indonesia.

d)    Pemerintah Indonesia wajib mengadakan penentuan pendapat rakyat (pepera) Irian Barat untuk menentukan akan berdiri sendiri atau tetap bergabung dengan Indonesia, pada tahun 1969 di bawah pengawasan PBB.

Berdasarkan hasil Pepera tahun 1969, Dewan Musyawarah Pepera secara

aklamasi memutuskan bahwa Irian Barat tetap ingin bergabung dengan Indonesia. Hasil musyawarah pepera tersebut dilaporkan dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-24 oleh diplomat PBB, Ortiz Sanz yang bertugas di Irian Barat.

 

d.    Peristiwa G 30 S/PKI 1965

Peristiwa Gerakan 30 September/PKI terjadi pada malam tanggal 30 September 1965. Dalam peristiwa tersebut, sekelompok militer di bawah pimpinan Letkol Untung melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi TNI Angkatan Darat serta memasukkan jenazah mereka ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta. Setelah melakukan pembunuhan itu, kelompok tersebut menguasai dua sarana komunikasi penting, yaitu Radio Republik Indonesia (RRI) di jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 pemimpin Gerakan 30 September Letnan Kolonel Untung mengumumkan melalui RRI Jakarta tentang gerakan yang telah dilakukannya. Dalam pengumuman tersebut disebutkan bahwa Gerakan 30 September merupakan gerakan internal Angkatan Darat untuk menertibkan anggota Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintah Presiden Soekarno. Selain itu, diumumkan juga tentang pembentukan Dewan Revolusi, pendemisioneran Kabinet Dwikora, dan pemberlakuan pangkat letnan kolonel sebagai pangkat tertinggi dalam TNI. Pengumuman ini segera menyebar pada 1 Oktober 1965 dan menimbulkan kebingungan di masyarakat.

Mayor Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) memutuskan segera mengambil alih pimpinan TNI Angkatan Darat karena Jenderal Ahmad Yani selaku Men/ Pangad saat itu belum diketahui keberadaannya. Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan.

Operasi penumpasan G 30 S/PKI dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto bersama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan Batalyon 328/Para Divisi Siliwangi. Pada malam hari tanggal 1 Oktober 1965, RPKAD yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo berhasil menguasai kembali RRI Jakarta dan kantor telekomunikasi. Selanjutnya, Mayjen Soeharto mengumumkan melalui radio tentang keadaan yang sebenarnya kepada rakyat. Pada tanggal 2 Oktober 1965, RPKAD pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo berhasil sepenuhnya menguasai keadaan di Jakarta dan pemberontakan G 30 S/PKI berhasil digagalkan.

 

2.     Perkembangan Ekonomi

Pada masa Demokrasi Terpimpin, pemerintah berupaya mengatasi permasalahan ekonomi yang terjadi sejak masa Demokrasi Parlementer. Presiden Soekarno mempraktikkan sistem ekonomi terpimpin dengan terjun langsung mengatur perekonomian. Langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi antara lain adalah sebagai berikut.

a.    Pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas)

b.    Devaluasi Mata Uang Rupiah

c.     Deklarasi Ekonomi

3.     Kehidupan Masyarakat Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin

Dinamika politik yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin berupa persaingan antarkekuatan politik yang ada berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat Indonesia waktu itu. Seperti munculnya Ajaran Nasakom (Nasionalis-Agama- Komunis).