Masa Demokrasi
Terpimpin adalah masa ketika Indonesia menerapkan suatu sistem pemerintahan
dengan seluruh keputusan pemerintah berpusat pada kepala negara. Pada saat itu,
jabatan kepala negara dijabat oleh Presiden Soekarno. Masa Demokrasi Termimpin
berlangsung sejak dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959 sampai tahun 1965.
1.
Perkembangan Politik
a. Dekret Presiden 5 Juli 1959
Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum, mulai bersidang pertama
kali pada tanggal 20 November 1956. Konstituante mempunyai anggota
yang berasal dari berbagai organisasi politik. Anggota-anggota Konstituante
terbagi atas dua kelompok utama yaitu kelompok Islam dan kelompok nasionalis.
Antara kedua kelompok tersebut tidak pernah tercapai kata sepakat mengenai isi
UUD yang akan disusun.
Selama tiga tahun Dewan Konstituante belum dapat menyusun UUD yang menjadi
tugas dan tanggung jawabnya. Dalam sidang-sidang konstituante muncul perdebatan
yang tiada titik temu. Setiap anggota ingin memaksakan pendapatnya sesuai
dengan kehendak partai yang diwakilinya. Kegagalan Konstituante ini mendorong
Presiden atas nama pemerintah menganjurkan "untuk kembali kepada UUD
1945".
Pada tanggal 30 Mei 1959 Konstituante mengadakan pemungutan suara terhadap
usul pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 (tanpa perubahan). Hasilnya tidak
sah, karena yang hadir tidak mencapai Quorum 2/3 seperti yang disyaratkan UUDS
1950 pasal 37. Pemungutan suara dilakukan lagi pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959,
akan tetapi juga tidak tercapai quorum 2/3 Pada tanggal 3 Juni 1959
Konstituante mengadakan reses yang ternyata untuk selama-lamanya.
Keadaan yang kritis di mana Konstituante gagal menyusun UUD dan kembali ke
UUD 1945, pemberontakan di berbagai daerah serta berbagai
rentetan peristiwa politik. Akhirnya mendorong Presiden Soekarno pada
kesimpulan "keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan
kesatuan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta. Demi keselamatan negara
dan berdasarkan hukum keadaan bahaya bagi negara, Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959.
Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959, yaitu:
1)
Pembubaran Konstituante
2)
Berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak
berlakunya UUDS 1950
3)
Akan dibentuk MPRS, DPRS, dan DPAS.
b.
Penyimpangan terhadap UUD 1945
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin bertujuan untuk menata
kembali kehidupan politik dan pemerintahan yang tidak stabil pada masa
Demokrasi Parlementer dengan kembali melaksanakan UUD 1945. Namun pada
perkembangannya, pada masa Demokrasi Terpimpin justru terjadi penyimpangan
terhadap UUD 1945. Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut antara lain sebagai
berikut.
1) Presiden menunjuk dan mengangkat anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Seharusnya anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dipilih melalui pemilu bukan ditunjuk
dan diangkat oleh Presiden.
2) Presiden membubarkan Dewan Permusyawaratan Rakyat
(DPR) hasil Pemilu 1955 dan menggantinya dengan Dewan Permusyawaratan Rakyat Gotong
Royong (DPR-GR). Seharusnya kedudukan Presiden dan DPR adalah setara. Presiden
tidak dapat membubarkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat memberhentikan
Presiden.
3) Pengangkatan presiden seumur hidup. Seharusnya
Presiden dipilih setiap lima tahun sekali melalui pemilu sebagaimana amanat UUD
1945, bukan diangkat seumur hidup.
Penyimpangan
terhadap UUD 1945 yang terjadi masa Demokrasi Terpimpin disebabkan oleh
kekuasaan yang dimiliki oleh presiden sangat besar sehingga pemerintahan
cendrung mengarah kepada otoriter.
c. Politik Luar
Negeri
Berdasarkan UUD
1945, politik luar negeri yang dianut Indonesia adalah politik luar negeri
bebas aktif. Kebijakan politik luar negeri pada saat demokrasi terpimpin antara
lain sebagai berikut.
1) Oldefo dan Nefo
Oldefo (The
Old Established Forces) adalah sebutan untuk negara-negara barat yang sudah
mapan ekonominya. Khususnya negara-negara kapiltalis. Nefo (The New Emerging
Forces) adalah sebutan untuk negara-negara baru, khususnya negara-negara
sosialis. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia lebih banyak menjalin kerja
sama dengan negara-negara Nefo. Hal ini terlihat dengan dibentuknya Poros
Jakarta–Peking (Indonesia dan China) dan Poros Jakarta–Phnom
Penh–Hanoi–Pyongyang (Indonesia, Kamboja, Vietnam Utara, dan Korea Utara).
2) Politik Mercusuar
Politik
Mercusuar merupakan politik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno dengan
anggapan bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang menerangi jalan bagi Nefo di
seluruh dunia. Untuk mewujudkannya, maka diselenggarakan proyek-proyek besar
dan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang
terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang
sangat besar, di antaranya adalah penyelenggaraan Ganefo (Games of the New Emerging
Forces), pembangunan kompleks olahraga Senayan, dan pembangunan Monumen
Nasional (Monas).
3) Indonesia dalam Gerakan Non-Blok
Dalam Konferensi
Asia Afrika di Bandung tahun 1955, muncul gagasan untuk membentuk organisasi
yang disebut dengan Gerakan Non-Blok. Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement)
didirikan untuk menyikapi persaingan antara Blok Barat yang dipiminan Amerika
Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Sovyet pada awal tahun 1960-an.
Persaingan kedua blok memicu terjadinya Perang Dingin (Cold War) yang dapat
mengancam perdamaian dunia.
4) Konfrontasi dengan Malaysia
Konfrontasi
dengan Malaysia berawal dari keinginan Federasi Malayasia untuk menggabungkan
Brunei, Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia. Rencana pembentukan
Federasi Malaysia mendapat tentangan dari Filipina dan Indonesia. Filipina
menentang karena menganggap bahwa wilayah Sabah secara historis adalah milik
Kesultan Sulu. Indonesia menentang karena menurut Presiden Soekarno pembentukan
Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk mengamankan
kekuasaanya di Asia Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai
proyek Neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia.
Pada tanggal 16
September 1963 pendirian Federasi Malaysia diproklamirkan. Menghadapi tindakan
ini, Indonesia mengambil kebijakan konfrontasi. Pada tanggal 17 September 1963 hubungan
diplomatik antara Indonesia dan Malaysia putus. Selanjtunya pada tanggal 3 Mei
1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Isi Dwikora
adalah sebagai berikut.
a) Perhebat
ketahanan revolusi Indonesia
b) Bantu
perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, Sabah, dan Brunei
untuk memerdekakan diri dan menggagalkan negara boneka Malaysia.
Pada saat
Konfrontasi Indonesia-Malaysia sedang berlangsung, Malaysia dicalonkan menjadi
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pencalonan ini mendapat reaksi keras
dari Presiden Soekarno. Pada tanggal 7 Januari 1965 Malaysia dinyatakan
diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan spontan
Presiden Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari PBB.
5) Pembebasan Irian Barat
Sesuai isi KMB,
Irian Barat akan diserahkan oleh Belanda satu tahun setelah pengakuan
kedaulatan RIS. Namun, pada kenyataannya lebih dari satu tahun pengakuan
kedaulatan Indonesia, Belanda tidak kunjung menyerahkan Irian Barat pada Indonesia.
a) Dalam penyelesaian masalah Irian Barat, pemerintah
Indonesia melakukan upaya diplomasi bilateral dengan Belanda. Upaya ini tidak
membuahkan hasil. Selanjutnya sejak tahun 1954 setiap tahun persolan Irian
Barat berulang-ulang dimasukkan ke dalam acara sidang Majelis Umum PBB, tetapi
tidak pernah memperoleh
tanggapan positif. Oleh karena berbagai upaya diplomasi tidak berhasil,
pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk menempuh sikap keras melalui
konfrontasi total terhadap Belanda, antara lain sebagai berikut.
b) Pada tahun 1956, Indonesia secara sepihak membatalkan
hasil KMB dan secara otomatis membubarkan Uni Indonesia- Belanda. Melalui UU
No. 13 Tahun 1956 tanggal 3 Mei 1956 Indonesia menyatakan bahwa Uni
Indonesia–Belanda tidak ada.
c) Pada 17 Agustus 1960, Indonesia secara sepihak
memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda yang diikuti oleh pemecatan
seluruh warga negara Belanda yang bekerja di Indonesia. Kemudian pemerintah
Indonesia mengusir semua warga negara Belanda yang tinggal di Indonesia dan
memanggil pulang duta besar serta para ekspatriat Indonesia yang ada di
Belanda.
d) Pembentukan Provinsi Irian Barat dengan ibu kota di
Soasiu (Tidore) untuk menandingi pembentukan negara Papua oleh Belanda.
Puncak
konfrontasi Indonesia terhadap Belanda terjadi saat Presiden Soekarno
mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di
Yogyakarta. Adapun isi Trikora adalah sebagai berikut.
1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan
Belanda kolonial.
2) Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat tanah air
Indonesia.
3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan
kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa
Untuk
melaksanakan Trikora, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden/ Pangti
ABRI/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan
keputusan Nomor 1 Tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian
Barat. Antara bulan Maret sampai bulan Agustus
1962 oleh
Komando Mandala dilakukan serangkaian operasi-operasi pendaratan melalui laut
dan penerjunan dari udara di daerah Irian Barat. Operasi-operasi infiltrasi
tersebut berhasil mendaratkan pasukan-pasukan ABRI dan sukarelawan di berbagai
tempat di Irian Barat. Antara lain Operasi Banteng di Fak-Fak dan Kaimana,
Operasi Srigala di sekitar Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga dengan sasaran
Merauke, serta Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana, dan Merauke.
Pada mulanya
Belanda mencemoohkan persiapan-persiapan Komando Mandala tersebut. Mereka
mengira, bahwa pasukan Indonesia tidak mungkin dapat masuk ke wilayah Irian.
Tetapi setelah ternyata bahwa operasi-operasi infiltrasi dari pihak kita
berhasil, maka Belanda bersedia untuk duduk pada meja perundingan guna menyelesaikan sengketa Irian Barat.
Pada tanggal 15
Agustus 1962 ditandatangani suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Belanda di New York, yang terkenal dengan Perjanjian New York.
Adapun isi dari Perjanjian New York adalah sebagai berikut.
a) Kekuasaan Belanda atas Irian Barat berakhir pada 1 Oktober 1962.
b) Irian Barat akan berada di bawah perwalian PBB hingga 1 Mei 1963
melalui lembaga UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) yang
dibentuk PBB.
c) Pada 1 Mei 1963, Irian Barat akan diserahkan kepada pemerintah
Indonesia.
d) Pemerintah Indonesia wajib mengadakan penentuan pendapat rakyat
(pepera) Irian Barat untuk menentukan akan berdiri sendiri atau tetap bergabung
dengan Indonesia, pada
tahun 1969 di bawah pengawasan PBB.
Berdasarkan
hasil Pepera tahun 1969, Dewan Musyawarah Pepera secara
aklamasi
memutuskan bahwa Irian Barat tetap ingin bergabung dengan Indonesia. Hasil
musyawarah pepera tersebut dilaporkan dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-24 oleh
diplomat PBB, Ortiz Sanz yang bertugas di Irian Barat.
d.
Peristiwa G 30 S/PKI 1965
Peristiwa
Gerakan 30 September/PKI terjadi pada malam tanggal 30 September 1965. Dalam
peristiwa tersebut, sekelompok militer di bawah pimpinan Letkol Untung
melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi TNI Angkatan Darat
serta memasukkan jenazah mereka ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya,
Jakarta. Setelah melakukan pembunuhan itu, kelompok tersebut menguasai dua
sarana komunikasi penting, yaitu Radio Republik Indonesia (RRI) di jalan
Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.
Pada tanggal
1 Oktober 1965 pemimpin Gerakan 30 September Letnan Kolonel Untung mengumumkan
melalui RRI Jakarta tentang gerakan yang telah dilakukannya. Dalam pengumuman
tersebut disebutkan bahwa Gerakan 30 September merupakan gerakan internal
Angkatan Darat untuk menertibkan anggota Dewan Jenderal yang akan melakukan
kudeta terhadap pemerintah Presiden Soekarno. Selain itu, diumumkan juga
tentang pembentukan Dewan Revolusi, pendemisioneran Kabinet Dwikora, dan
pemberlakuan pangkat letnan kolonel sebagai pangkat tertinggi dalam TNI.
Pengumuman ini segera menyebar pada 1 Oktober 1965 dan menimbulkan kebingungan
di masyarakat.
Mayor
Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan
Darat (Pangkostrad) memutuskan segera mengambil alih pimpinan TNI Angkatan
Darat karena Jenderal Ahmad Yani selaku Men/ Pangad saat itu belum diketahui
keberadaannya. Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia kepada
Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan.
Operasi penumpasan
G 30 S/PKI dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto bersama Resimen Para Komando
Angkatan Darat (RPKAD) dan Batalyon 328/Para Divisi Siliwangi. Pada malam hari
tanggal 1 Oktober 1965, RPKAD yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo
berhasil menguasai kembali RRI Jakarta dan kantor
telekomunikasi. Selanjutnya, Mayjen Soeharto mengumumkan
melalui radio tentang keadaan yang sebenarnya kepada rakyat. Pada tanggal 2
Oktober 1965, RPKAD pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo berhasil sepenuhnya
menguasai keadaan di Jakarta dan pemberontakan G 30 S/PKI berhasil digagalkan.
2.
Perkembangan
Ekonomi
Pada masa Demokrasi
Terpimpin, pemerintah berupaya mengatasi permasalahan ekonomi yang terjadi
sejak masa Demokrasi Parlementer. Presiden Soekarno mempraktikkan sistem
ekonomi terpimpin dengan terjun langsung mengatur perekonomian. Langkah-langkah
yang diambil pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi antara lain adalah
sebagai berikut.
a.
Pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas)
b.
Devaluasi Mata Uang Rupiah
c.
Deklarasi Ekonomi
3.
Kehidupan
Masyarakat Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin
Dinamika politik yang
terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin berupa persaingan antarkekuatan politik
yang ada berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat Indonesia waktu itu.
Seperti munculnya Ajaran Nasakom (Nasionalis-Agama- Komunis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar