Sabtu, 02 Januari 2021

Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme

 

a.     Perlawanan terhadap Persekutuan Dagang

1)    Sultan Baabullah Mengusir Portugis

Sejak kedatangan bangsa Portugis di Ternate tahun 1512 Portugis berusaha memonopoli perdagangan sehingga menimbulkan kebencian rakyat Ternate, tahun 1565 rakyat Ternate yang dipimpin oleh Sultan Harun berusaha menyerang Benteng Santo Paulo, tetapi gagal bahkan Sultan Harun dapat ditangkap dan dibunuh. Perlawanan kemudian dilanjutkan oleh Sultan Baabullah (putranya) dan berhasil menguasai Benteng Santo Paulo sehingga Portugis diusir dari Ternate dan pergi ke Maluku selanjutnya menyingkir ke Timur Timor.

 

2)    Perlawanan Aceh

Setelah menguasai Malaka, Portugis kemudian mengirimkan pasukannya untuk menundukkan Aceh. Usaha ini pun mengalami kegagalan. Serangan Portugis ke Aceh menunjukkan bahwa kekuasaan Portugis di Malaka telah mengancam dan merugikan Aceh. Apalagi kegiatan monopoli perdagangannya yang sangat menyulitkan rakyat Aceh. Untuk mengusir Portugis dari Malaka Aceh kemudian menyerang kedudukan Portugis di Malaka.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639) armada kekuatan Aceh telah disiapkan untuk menyerang kedudukan Portugis di Malaka. Saat itu Aceh telah memiliki armada laut yang mampu mengangkut 800 prajurit. Pada saat itu wilayah Kerajaan Aceh telah sampai di Sumatra Timur dan Sumatra Barat. Pada tahun 1629 Aceh mencoba menaklukkan Portugis. Penyerangan yang dilakukan Aceh ini belum berhasil mendapat kemenangan. Namun demikian Aceh masih tetap berdiri sebagai kerajaan yang merdeka.

 

3)    Ketangguhan “Ayam Jantan dari Timur”

Dalam lalu lintas perdagangan Gowa menjadi bandar antara jalur perdagangan Malaka dan Maluku. Sebelum rempah-rempah dari Maluku dibawa sampai ke Malaka, maka singgah dahulu di Gowa, begitu juga sebaliknya.

Melihat kedudukan Gowa yang begitu penting, maka VOC ingin sekali menguasai bandar di Gowa. Usaha yang dilakukan antara lain: tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Sombaopu. Di samping itu kapal-kapal VOC juga diperintahkan untuk merusak dan menangkap kapal-kapal pribumi maupun kapal-kapal asing. Menghadapi perkembangan yang semakin genting itu, maka raja Gowa, Sultan Hasanuddin mempersiapkan pasukan dengan segala perlengkapan untuk menghadapi VOC. Beberapa kerajaan sekutu Gowa juga disiapkan. Benteng-benteng dibangun di sepanjang pantai kerajaan. Sementara itu VOC dalam rangka menerapkan politik adu domba, telah menjalin hubungan dengan seorang pangeran Bugis, dari Bone bernama La Tenritatta to’Unru yang lebih terkenal dengan nama Aru Palaka. Meletuslah perang antara VOC dengan Gowa pada 7 Juli 1667. Tentara VOC dipimpin Spelman yang diperkuat pengikut Aru Palaka menggempur Gowa. Karena kalah persenjataan, Benteng pertahanan tentara Gowa di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka. Perselisihan ini diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya yang isinya, antara lain sebagai berikut.

a)    Belanda memperoleh monopoli dagang rempah-rempah di Makassar;

b)    Belanda mendirikan benteng pertahanan di Makassar;

c)     Makassar harus melepaskan daerah kekuasaannya berupa daerah di luar Makassar;

d)    Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.

Pada mulanya perjanjian Bongaya itu tidak ingin dilaksanakan. Bahkan Hasanuddin mengobarkan perlawanan kembali pada bulan April 1668. Namun perlawanan ini pun dapat dipadamkan, sehingga terpaksa isi peanjian Bongaya dilaksanakan. Benteng pertahanan Gowa diserahkan kepada VOC dan oleh Spelman kemudian diberi nama Benteng Rotterdam.

 

4)    Serangan Mataram terhadap VOC

Setelah berhasil menguasai Malaka, VOC kemudian memperluas daerah kekuasaannya dengan menguasai daerah-daerah di Nusantara dengan menaklukan Kerajaan-kerajaan yang ada.

VOC berhasil mendirikan pusat kekuasaannya di Batavia dan berusaha mempraktikan monopoli perdagangan Selat Sunda. VOC juga berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa, termasuk Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613 – 1645).

Sultan Agung memiliki cita-cita untuk mempersatukan seluruh kerajaan di Pulau Jawa, namun hal tersebut mengalami kendala dengan hadirnya VOC di Batavia.

Selain itu, praktik monopoli perdagangan sistem pemerintahan yang di terapkan VOC telah membuat rakyat sangat menderita. Oleh karena itu, Sultan Agung mempersiapkan pasukannya untuk menyerang VOC.

 

a)    Penyerbuan Mataram ke Batavia pada Tahun 1628

Sultan Agung mengadakan penyerangan ke Batavia pertama kali pada tahun 1628. Pasukan pertama dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso. Pasukan kedua dipimpin oleh Tumenggung Agul-Agul, Kyai Dipati Mandurorejo, Kyai Dipati Upusonto, dan Dipati Ukur. 22 Agustus 1628 – 24 Agustus 1628 tentara mataram datang ke Batavia dan melakukan penyerbuan. 21 September 1628 tentara Mataram menyerang benteng Hollandia, namun gagal. Kegagalan ini membuat penyerbuan Mataram yang pertama berakhir pula.

Sultan Agung mengadakan serangan ke Batavia sebanyak dua kali, yaitu tahun 1628 dan 1629. Serangan pertama pada tahun 1628 terbagi dua gelombang. Gelombang pertama dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso dengan membangun kubu-kubu pertahanan di dekat rumah-rumah penduduk di sekitar Batavia.

Namun tindakan tersebut diketahui oleh VOC, sehingga VOC kemudian menyerang dan membakar kampung-kampung yang terdapat pasukan Mataram dan banyak jatuh korban di pihak Mataram, termasuk Tumenggung Bahurekso.

Gelombang kedua dipimpin oleh Adipati Uposonto, Suro Agul-Agul, dan Mandurejo. Stategi yang digunakan adalah membendung aliran sungai Ciliwung dengan harapan agar Batavia kekurangan air dan terjangkit wabah penyakit menular. Secara umum, serangan Sultan Agung yang pertama ini mengalami kegagalan.

 

b)    Penyerbuan Mataram ke Batavia pada Tahun 1629

Meskipun Mataram tidak berhasil merebut benteng Batavia dan menundukkan Kompeni pada tahun 1628, mereka tidak begitu saja menyerah.Tahun1629 tentara Mataram berangkat lagi menuju Batavia dengan perlengkapan senjata api.

Tentara Mataram berangkat ke Batavia mulai bulan Juni 1629. Dan pada akhir bulan Agustus 1629 mereka sampai di Batavia.

Pada tanggal 31 Agustus 1629 seluruh pasukan Mataram mulai tiba di daerah sekitar Batavia. VOC mengetahui kedatangan mereka untuk kembali menyerbu Batavia. VOC juga mengetahui bahwa pusat persediaan bahan pangan saat itu adalah Tegal. Merekapun mengirimkan armadanya ke Tegal, di mana perahu-perahu Mataram, rumah-rumah dan gudang-gudang beras bagi tentara Mataram dibakar habis, setelah Tegal mendapat perusakan, VOC berpindah ke Cirebon. Kota ini juga mendapat gilirannya. Persediaan padi di sini pun habis dibakar oleh VOC.

Pada 21 September 1629 tentara Mataram menyerang benteng VOC. Mereka dibiarkan menembak benteng hingga persediaan mesiu habis.

Pasukan Mataram menderita kelaparan. Setelah berusaha untuk menyerang selama kurang lebih 10 hari pada akhir bulan September 1629 mereka mulai menarik diri.

Pada tahun 1629, Mataram melakukan serangan untuk kedua kalinya di bawah pimpinan Dipati Puger dan Dipati Purabaya. Belajar dari serangan pertama yang gagal, maka diadakan persiapan yang lebih matang sebelum melakukan serangan, didirikan lumbung-lumbung padi di daerah Cirebon dengan tujuan memblokade bahan makanan ke Batavia. Lumbung-lumbung padi tersebut akhirnya diketahui oleh VOC dan dibakar, akibatnya serangan Mataram kedua juga mengalami kegagalan.

Kegagalan serangan Sultan Agung ke Batavia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

(1)   Kalah dalam persenjataan;

(2)   Jarak Mataram Batavia sangat jauh;

(3)   Kekurangan bahan makanan, karena lumbung-lumbung padi persedian Mataram berhasil di bakar oleh VOC; dan

(4)   Terjangkitnya wabah penyakit yang menyerang prajurit Mataram.

 

b.    Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda

Perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Abad XIX merupakan puncak perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah menentang Pemerintah Hindia Belanda. Kegigihan perlawanan rakyat Indonesia menyebabkan Belanda mengalami krisis keuangan untuk membiayai perang. Perlawanan di berbagai daerah tersebut belum berhasil membuahkan kemerdekaan.

 

1)    Perang Saparua di Ambon

Sejak abad ke-17 perlawanan rakyat Maluku terhadap Kompeni sudah terjadi, namun perlawanan yang dahsyat baru muncul pada permulaan abad ke-19, di bawah pimpinan Thomas Matulessi (lebih dikenal dengan nama Pattimura).

Latar belakang timbulnya perlawanan Pattimura, di samping adanya tekanan-tekanan yang berat di bidang ekonomi sejak kekuasaan VOC juga dikarenakan hal sebagai berikut.

a)    Sebab ekonomis, yakni adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat kehidupan rakyat, seperti sistem penyerahan secara paksa, kewajiban kerja blandong (menebang hutan), penyerahan atap dan gaba-gaba (daun rumbai), penyerahan ikan asin, dendeng dan kopi. Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari karena belum terbiasa.

b)    Sebab psikologis, yaitu adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah dan gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku untuk dinas militer ke Batavia. Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku.

 

Oleh karena itu, rakyat Maluku bangkit dan berjuang melawan imperialisme Belanda. Aksi perlawanan meletus pada tanggal 15 Mei 1817 dengan menyerang Benteng Duurstede di Saparua.

Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng Duurstede jatuh ke tangan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura. Banyak korban di pihak Belanda termasuk Residen Belanda, Van den Berg ikut terbunuh dalam pertempuran.

Kemenangan atas pemerintah kolonial Belanda memperbesar semangat perlawanan rakyat sehingga perlawanan meluas ke Ambon, Seram dan pulau-pulau lain. Di Hitu perlawanan rakyat muncul pada permulaan bulan Juni 1817 di bawah pimpinan Ulupaha. Rakyat Haruku di bawah pimpinan Kapten Lucas Selano, Aron dan Patti Saba.

Situasi pertempuran berbalik setelah datangnya bala bantuan dari Batavia di bawah pimpinan Buyskes. Pasukan Belanda terus mengadakan penggempuran dan berhasil menguasai kembali daerah-daerah Maluku. Perlawanan semakin mereda setelah banyak para pemimpin tertawan, seperti Thomas Matulessi (Pattimura), Anthonie Rhebok, Thomas Pattiweal, Lucas Latumahina, dan Johanes Matulessi.

Dalam perlawanan ini juga muncul tokoh wanita yakni Christina Martha Tiahahu. Sebagai pahlawan rakyat yang tertindas oleh penjajah.

 

2)    Perang Paderi di Sumatra Barat (1821-1838)

Perang Paderi melawan Belanda berlangsung 1821–1838, tetapi gerakan Paderi sendiri sudah ada sejak awal abad ke-19. Di lihat dari sasarannya, gerakan Paderi dapat dibagi menjadi dua periode.

a)    Periode 1803–1821 adalah masa perang Paderi melawan Adat dengan corak keagamaan.

b)    Periode 1821–1838 adalah masa perang Paderi melawan Belanda dengan corak keagamaan dan patriotisme.

Sejak tahun 1821 saat kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang, gerakan Paderi melawan kaum Adat dimulai. Kaum Paderi berkeinginan memperbaiki masyarakat Minangkabau dengan mengembalikan kehidupannya yang sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Padahal kaum Adat justru ingin melestarikan adat istiadat warisan leluhur mereka.

Adat yang selama itu dianut dan yang menjadi sasaran gerakan Paderi adalah kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti menyabung ayam, berjudi, madat, dan minum-minuman keras. Terjadilan perbenturan antara kaum Adat dengan kaum Paderi. Kaum Adat yang merasa terdesak, kemudian minta bantuan kepada pihak ketiga, yang semula Inggris kemudian digantikan oleh Belanda (berdasarkan Konvensi London).

Perang Paderi melawan Belanda meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya menduduki Semawang pada tanggal 18 Februari 1821. Masa Perang Paderi melawan Belanda dapat dibagi menjadi tiga periode.

a)    Periode 1821–1825, ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan tempat-tempat lain.

Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Tuanku Pasaman kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau. Sebaliknya, Belanda yang telah berhasil menguasai Lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar (Fort Van den Capellen).

b)    Periode 1825–1830, ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Paderi perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda baru memusatkan perhatiannya menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa.

c)     Periode 1830–1838, ditandai dengan perlawanan di kedua belah yang makin menghebat. Pemimpin di pihak Belanda, antara lain Letkol A.F. Raaff, Kolonel de Stuer, Mac. Gillavry dan Elout, sedangkan di pihak Paderi ialah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku nan Gapuk, Tuanku Hitam, Tuanku Nan Cerdik dan Tuanku Tambusi. Pada tahun 1833, Belanda mengeluarkan Pelakat Panjang yang isinya, antara lain sebagai berikut.

(1)   Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak yang berat dan kerja rodi.

(2)   Belanda akan bertindak sebagai penengah jika terjadi perselisihan antarpenduduk.

(3)   Penduduk boleh mengatur pemerintahan sendiri.

(4)   Hubungan dagang hanya diperbolehkan dengan Belanda.

 

Belanda menjalankan siasat pengepungan mulai masuk tahun 1837 terhadap Benteng Bonjol. Akhirnya, Benteng Bonjol berhasil dilumpuhkan oleh Belanda. Selanjutnya, Belanda mengajak berunding kaum Paderi yang berujung pada penangkapan Tuanku Imam Bonjol (25 Oktober 1837).

 

Setelah ditahan, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dipindahkan ke Ambon (1839), dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga wafat tanggal 6 November 1864.Perlawanan kaum Paderi kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai. Setelah Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda. Itu berarti seluruh perlawanan dari kaum Paderi berhasil dipatahkan oleh Belanda.

 

3)    Perang Diponegoro (1825-1830)

 

Sejak awal abad ke-18 Belanda memperluas daerah kekuasaannya dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah Mataram pada tahun 1812. Pengaruh Belanda mulai menyebar di kalangan istana dan mengancam kehidupan agama Islam. Sebagai salah seorang pemimpin negara dan pemuka agama, Pangeran Diponegoro tergerak untuk melakukan perlawanan.

a)    Sebab-sebab umum

(1)   Wilayah Kesultanan Mataram semakin sempit dan para raja sebagai penguasa pribumi mulai kehilangan kedaulatan.

(2)   Belanda ikut campur tangan dalam urusan intern kesultanan, misalnya soal pergantian raja dan pengangkatan patih.

(3)   Timbulnya kekecewaan di kalangan para ulama, karena masuknya budaya barat yang tidak sesuai dengan Islam.

(4)   Sebagian bangsawan merasa kecewa karena Belanda tidak mau mengikuti adat istiadat kraton.

(5)   Sebagian bangsawan kecewa terhadap Belanda karena telah menghapus sistem penyewaan tanah oleh para bangsawan kepada petani (mulai tahun 1824).

(6)   Kehidupan rakyat yang semakin menderita di samping harus kerja paksa masih harus ditambah beban membayar berbagai macam pajak.

 

b)    Sebab khusus

Adapun sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro adalah sebagai berikut:

(1)   Pangeran Diponegoro tersingkir dari elite kekuasaan karena menolak berkompromi dengan pemerintah kolonial. Pangeran Diponegoro memilih mengasingkan diri ke Tegalrejo.

(2)   Pemerintah kolonial melakukan provokasi dengan membuat jalan yang menerobos makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Hal tersebut lah yang membuat Pangeran Diponegoro marah dan menganggap nya sebagai suatu penghinaan. Untuk memperkuat kekuasaannya, Pangeran Diponegoro membangun pusat pertahanan di Selarong. Dukungan kepada Pangeran Diponegoro datang dari mana-mana sehingga pasukan Diponegoro semakin kuat. Dukungan datang dari Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasya Prawirodirjo, dan Kiai Mojo. Dari pihak Belanda untuk menghadapi perlawanan pangeran Diponegoro mendatangkan pasukan di Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Jenderal Marcus De Kock.

Pangeran Diponegoro memimpin pasukannya dengan perang gerilya. Untuk mengatasi perlawanan Diponegoro tersebut, Gubernur Jenderal Van Der Capellen menugasi Jenderal Marcus de Kock untuk menjalankan strategi benteng stelsel, yaitu mendirikan benteng di setiap tempat yang dikuasainya. Antarbenteng yang satu dan benteng lainnya dihubungkan dengan jalan untuk memudahkan komunikasi dan pergerakan pasukan. Taktik benteng stelsel ini bertujuan untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Pasukan Diponegoro semakin bertambah lemah terlebih lagi pada tahun 1829 Kiai Mojo dan Sentot Alibasya Prawirodirjo memisahkan diri. Lemahnya kedudukan Diponegoro tersebut menyebabkan ia menerima tawaran berunding dengan Belanda di Magelang.

Dalam perundingan tersebut, pihak Belanda diwakili oleh Jenderal de Kock. Perundingan tersebut gagal mencapai sepakat, kemudian Belanda menangkap Pangeran Diponegoro dan dibawa ke Batavia, yang selanjutnya dipindahkan ke Manado, kemudian dipindahkan lagi ke Makassar dan meninggal di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.

Perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun tersebut membawa dampak antara lain sebagai berikut:

a)    Kekuasaan wilayah Yogyakarta dan Surakarta berkurang;

b)    Belanda mendapatkan beberapa wilayah Yogyakarta dan Surakarta;

c)     Banyak menguras kas Belanda.

 

4)    Perang Aceh

Sampai abad 19 Aceh merupakan daerah yang berdaulat dan dihormati oleh dua imperialis di Indonesia dan sekitarnya yaitu Inggris dan Belanda. Berdasarkan Traktat/perjanjian London 1824 maka Aceh dijadikan daerah penyangga (Bufferstate) antara kekuasaan Inggris di Malaka dengan Bengkulu yang diserahkan Inggris kepada Belanda. Keadaan tersebut tidak dapat bertahan lama karena adanya kepentingan Belanda yang berniat menduduki Aceh sehingga timbullah perlawanan rakyat Aceh.

Sebab-sebab Perang Aceh adalah sebagai berikut:

a)    Belanda merasa berhak atas daerah Sumatra Timur yang diperoleh dari Sultan Siak sebagai upah membantu sultan dalam perang saudara melalui Traktat Siak tahun 1858, sementara Aceh berpendapat daerah terebut merupakan wilayahnya.

b)    Sejak Terusan Suez dibuka tahun 1869 perairan Aceh menjadi sangat penting sebagai jalur pelayaran dari Eropa ke Asia.

c)     Keluarnya Traktat Sumatra tahun 1871 yang menyatakan bahwa Inggris tidak akan menghalangi usaha Belanda untuk meluaskan daerah kekusaannya sampai di Aceh dalam rangka Pax Netherlandica (menguasai seluruh Hindia Belanda). Traktat Sumatra yang mengancam kedaulatannya, Aceh berusaha untuk mencari bantuan dengan mengirim utusan ke Turki. Selain itu juga dijalin hubungan ke perwakilan negara Amerika Serikat dan Italia di Singapura. Tindakan Aceh ini mencemaskan Belanda lalu menuntut Aceh agar mengakui kedautalan Belanda. Aceh menolak tututan tersebut sehingga Belanda melakukan penyerangan.

 

Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan. Sekitar 3.000 orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang pasukan disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler melakukan penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan disertai pengorbanan besar, yakni tewasnya Mayor Jenderal Kohler.

Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmuh Syah. Dengan dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak mengundang para tokoh dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan Belanda. 

Tampilah tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu Belanda kemudian bergerak untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah pertempuran di istana kesultanan. Dengan kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang Aceh mampu bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana.

 

Pada akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara besar-besaran di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan kekutan 8.000 orang tentara. Pertempuran seru berkobar lagi pada awal tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil menduduki istana kesultanan. Sultan beserta para tokoh pejuang yang lain meninggalkan istana dan terus melakukan perlawanan di luar kota. Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah meninggal, kemudian digantikan oleh putranya yakni Muhammad Daud Syah.

Sementara itu, ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu Habib Abdurrachman tiba kembali di Aceh tahun 1879 maka kegiatan penyerangan ke pos-pos Belanda diperhebat. Habib Adurrachman bersama Teuku Cik Di Tiro dan Imam Lueng Bata mengatur taktik penyerangan guna mengacaukan dan memperlemah pos-pos Belanda.

Menyadari betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budayanya. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronye (seorang ahli tentang Islam) untuk meneliti soal sosial budaya masyarakat Aceh. Dengan menyamar sebagai seorang ulama dengan nama Abdul Gafar, ia berhasil masuk Aceh.

Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers (Orang Aceh). Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa persetujuan para kepala di bawahnya dan ulama mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat.

Dengan demikian langkah yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik "de vide et impera (memecah belah dan menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama yang melawan harus dihadapi dengan kekerasan senjata; kaum bangsawan dan keluarganya diberi kesempatan untuk masuk korps pamong praja di lingkungan pemerintahan kolonial.

Tentara Belanda di bawah pimpinan J.B. Van Heutz berhasil memukul perlawanan Teuku Umar dan Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir ke Aceh Barat dan Panglima Polim menyingkir ke Aceh Timur. Dalam pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur.

Sementara itu, Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah, masih melakukan perlawanan di Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan penangkapan. Pada tanggal 6 September 1903 Panglima Polim beserta 150 orang parjuritnya menyerah setelah Belanda melakukan penangkapan terhadap keluarganya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Sultan Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1904, Sultan Aceh dipaksa untuk menandatangani Plakat Pendek yang isinya sebagai berikut.

a)    Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.

b)    Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan belanda.

c)     Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.

 

Dengan ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.

 

5)    Perlawanan Sisingamangaraja, Sumatra Utara

Perang Tapanuli, juga dikenal sebagai Perang Batak (1878-1907), merupakan perang antara Kerajaan Batak melawan Belanda. Perang ini berlangsung selama 29 tahun.

Alasan meletusnya perang ini adalah:

a)    Raja Sisingamangaraja XII tidak senang daerah kekuasaannya diperkecil oleh Belanda. Kota Natal, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Tapanuli Selatan dikuasai oleh Belanda.

b)    Belanda berusaha mewujudkan Pax Netherlandica (menguasai seluruh Hindia Belanda).

 

Perang meletus setelah Belanda menempatkan pasukannya di Tarutung. Raja Sisingamangaraja XII memutuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti di Bahal Batu, Siborong-borong, Balige Laguboti dan Lumban Julu.

 

Pada tahun 1894, Belanda melancarkan serangan untuk menguasai Bakkara, pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak. Akibat penyerangan ini, Sisingamangaraja XII terpaksa pindah ke Dairi Pakpak. Pada tahun 1904, pasukan Belanda, dibawah pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah, melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara, sedangkan di Medan didatangkan pasukan lain. Pada tahun 1907, Pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII serta dua orang anaknya, sementara itu Sisingamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke hutan Simsim. Ia menolak tawaran untuk menyerah, dan dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII gugur bersama dengan putrinya Lopian dan dua orang putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Sisingamangaraja XII menandai berakhirnya Perang Tapanuli.

 

6)    Perang Banjar

Perang Banjar merupakan perlawanan rakyat terhadap Belanda di Kalimantan Selatan. Perang ini meletus pada 28 April 1859, dan dipimpin oleh Pangeran Antasari untuk merebut benteng Pengaron milik Belanda yang dipertahankan mati-matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di pelbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung antaluddin di benteng Gunung Madang Kandangan, Pangeran Amrullah dan lain-lain.

Sebab-sebab perang adalah:

a)    Faktor ekonomi. Belanda memonopoli perdagangan lada, rotan, damar, serta hasil emas dan intan. Monopoli tersebut sangat merugikan rakyat maupun pedagang di daerah tersebut sejak abad-17. Pada abad-19 Belanda bercita menguasai Kalimantan Selatan untuk melaksanakan Pax Netherlandica (menguasai seluruh Hindia Belanda).

b)    Faktor politik. Belanda ikut campur urusan kerajaan yang menimbulkan ketidaksenangan. Pada saat menentukan pengganti Sultan Adam maka yang diangkat adalah Pangeran Tamjidillah yang disenangi Belanda. Sedangkan Pangeran Hidayatullah yang lebih berhak atas takhta hanya dijadikan Mangkubumi kerana tidak menyukai Belanda.

Campur tangan Belanda di keraton makin besar dan kedudukan Pangeran Hidayatullah makin terdesak maka ia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama Pangeran Antasari, sepupunya.

Tidak kurang dari 3.000 orang bersedia membantu termasuk tokoh-tokoh agama seperti Kyai Demang Leman, Haji Langlang, Haji Nasrum dan Haji Buyasih. Pasukan Antasari berusaha menyerang pos-pos Belanda di Martapura dan Pangaron. Sebaliknya pada pertempuran tanggal 27 September 1859 Belanda dapat menduduki benteng pasukan Pangeran Antasari di Gunung Lawak.

Tindakan Belanda berikutnya adalah menurunkan Sultan Tamjidillah dari takhta. Sementara itu Pangeran Hidayatullah menolak untuk menghentikan perlawanan lalu pergi meninggalkan kraton, maka pada tahun 1860 kerajaan Banjar dihapuskan dan daerah tersebut menjadi daerah kekuasaan Belanda.

 

Ternyata tindakan Belanda tersebut tidak menyurutkan perlawanan Pangeran Antasari. Walaupun Kyai Damang Laman menyerah dan Pangeran Hidayatullan tertangkap lalu dibuang ke Cianjur namun Pangeran Antasari tetap memimpin perlawanan bahkan ia diangkat oleh rakyat menjadi pemimpin tertinggi agama dengan gelar Panembahan Amirudin Khalifatul Mukminin pada tanggal 14 Maret 1862. Ia dibantu oleh para pemimpin yang lain yaitu Pangeran Miradipa, Tumenggung Surapati, dan Gusti Umah yang memusatkan pertahanan di Hulu Teweh. Perlawanan Antasari berakhir sampai meninggal dunia tanggal 11 Oktober 1862 kemudian dilanjutkan oleh puteranya bernama Pangeran Muhamad Seman.

 

7)    Perang Jagaraga di Bali

Perang Bali adalah perang antara kerajaan-kerajaan yang ada di pulau Bali dengan bangsa kolonial Belanda. Perang ini terjadi karena kerajaan-kerajaan tersebut tidak ingin dikuasai oleh bangsa asing.

a)    Sebab umum perang ini adalah:

1)    Belanda hendak memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan hak-hak kekuasan kerajaan-kerajaan di Bali atas daerahnya.

2)    Raja-raja Bali dipaksa mengakui kedaulatan pemerintah Hindia Belanda dan mengizinkan pengibaran bendera Belanda di wilayah kerajaannya.

3)    Adat sute yang dianggap Belanda tidak berprikemanusiaan akan dihapus oleh Belanda.

b)    Sebab khusus:

Belanda menolak hak Raja Buleleng yaitu hak Tawan karang yang menyatakan kapal asing yang terdampar di pantai kerajaan tersebut akan dirampas kapal beserta isinya.

c)     Strategi Perang

Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi pasukannya ke Bali untuk membuat raja-raja Bali takluk. Ekspedisi pertama tidak berhasil kemudian Belanda mengirimkan pasukannya yang lebih besar lagi. Karena kalahnya jumlah dan teknologi senjata, rakyat Bali hanya tinggal bertahan di benteng-benteng pertahanan sambil sedikit-sedikit menyerang dan juga dengan menjalankan perang Puputan, yaitu perang suci sampai tetes darah penghabisan.

d)    Tokoh-tokoh

Tokoh dari rakyat Bali adalah I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng. Dari kolonial Belanda Jenderal Micheles.

 

e)    Medan Perang

Medan perang hampir seluruh Pulau Bali yang meliputi Klungkung, Buleleng, Karang Asem, Gianyar, dan lain-lain.

f)      Akhir Perang

Jatuhnya Buleleng ke tangan Belanda, mempengaruhi raja-raja lain untuk bersikap lunak terhadap Belanda. Akibatnya sebagian besar kerajaan di Bali dapat ditaklukkan Belanda pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1906 Belanda menyerang Bali selatan yang di sana mendapatkan perlawanan yang sengit yang diikuti dengan perang Puputan. Baru pada tahun 1909 seluruh Bali dapat di kuasai oleh Belanda.

g)    Akibat-akibat perang.

(1)   Bidang politik

(a)   Dikuasainya seluruh pulau Bali oleh Belanda.

(b)   Berkurangnya kekuasaan raja pada kerajaannya bahkan raja dapat dikatakan menjadi bawahan Belanda.

(2)   Bidang ekonomi

Dikuasainya monopoli perdagangan di Bali karena Bali merupakan daerah yang sangat strategis yang banyak dikunjungi bangsa asing.

(3)   Bidang sosial

Banyaknya tatanan sosial yang diubah oleh Belanda termasuk dihapuskannya adat Sute pada upacara ngaben.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar