a.
Perlawanan terhadap Persekutuan
Dagang
1)
Sultan
Baabullah Mengusir Portugis
Sejak
kedatangan bangsa Portugis di Ternate tahun 1512 Portugis berusaha memonopoli
perdagangan sehingga menimbulkan kebencian rakyat Ternate, tahun 1565 rakyat
Ternate yang dipimpin oleh Sultan Harun berusaha menyerang Benteng Santo Paulo,
tetapi gagal bahkan Sultan Harun dapat ditangkap dan dibunuh. Perlawanan
kemudian dilanjutkan oleh Sultan Baabullah (putranya) dan berhasil menguasai
Benteng Santo Paulo sehingga Portugis diusir dari Ternate dan pergi ke Maluku
selanjutnya menyingkir ke Timur Timor.
2) Perlawanan Aceh
Setelah
menguasai Malaka, Portugis kemudian mengirimkan pasukannya untuk menundukkan
Aceh. Usaha ini pun mengalami kegagalan. Serangan Portugis ke Aceh menunjukkan
bahwa kekuasaan Portugis di Malaka telah mengancam dan merugikan Aceh. Apalagi
kegiatan monopoli perdagangannya yang sangat menyulitkan rakyat Aceh. Untuk
mengusir Portugis dari Malaka Aceh kemudian menyerang kedudukan Portugis di
Malaka.
Pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639) armada kekuatan Aceh telah
disiapkan untuk menyerang kedudukan Portugis di Malaka. Saat itu Aceh telah
memiliki armada laut yang mampu mengangkut 800 prajurit. Pada saat itu wilayah
Kerajaan Aceh telah sampai di Sumatra Timur dan Sumatra Barat. Pada tahun 1629
Aceh mencoba menaklukkan Portugis. Penyerangan yang dilakukan Aceh ini belum
berhasil mendapat kemenangan. Namun demikian Aceh masih tetap berdiri sebagai
kerajaan yang merdeka.
3)
Ketangguhan “Ayam Jantan dari Timur”
Dalam
lalu lintas perdagangan Gowa menjadi bandar antara jalur perdagangan Malaka dan
Maluku. Sebelum rempah-rempah dari Maluku dibawa sampai ke Malaka, maka singgah
dahulu di Gowa, begitu juga sebaliknya.
Melihat
kedudukan Gowa yang begitu penting, maka VOC ingin sekali menguasai bandar di
Gowa. Usaha yang dilakukan antara lain: tahun 1634, VOC melakukan blokade
terhadap Pelabuhan Sombaopu. Di samping itu kapal-kapal VOC juga diperintahkan
untuk merusak dan menangkap kapal-kapal pribumi maupun kapal-kapal asing.
Menghadapi perkembangan yang semakin genting itu, maka raja Gowa, Sultan
Hasanuddin mempersiapkan pasukan dengan segala perlengkapan untuk menghadapi
VOC. Beberapa kerajaan sekutu Gowa juga disiapkan. Benteng-benteng dibangun di
sepanjang pantai kerajaan. Sementara itu VOC dalam rangka menerapkan politik
adu domba, telah menjalin hubungan dengan seorang pangeran Bugis, dari Bone
bernama La Tenritatta to’Unru yang lebih terkenal dengan nama Aru Palaka.
Meletuslah perang antara VOC dengan Gowa pada 7 Juli 1667. Tentara VOC dipimpin
Spelman yang diperkuat pengikut Aru Palaka menggempur Gowa. Karena kalah
persenjataan, Benteng pertahanan tentara Gowa di Barombang dapat diduduki oleh
pasukan Aru Palaka. Perselisihan ini diakhiri dengan ditandatanganinya
perjanjian Bongaya yang isinya, antara lain sebagai berikut.
a) Belanda memperoleh monopoli dagang
rempah-rempah di Makassar;
b) Belanda mendirikan benteng
pertahanan di Makassar;
c) Makassar harus melepaskan daerah kekuasaannya
berupa daerah di luar Makassar;
d) Aru Palaka diakui sebagai Raja
Bone.
Pada
mulanya perjanjian Bongaya itu tidak ingin dilaksanakan. Bahkan Hasanuddin
mengobarkan perlawanan kembali pada bulan April 1668. Namun perlawanan ini pun
dapat dipadamkan, sehingga terpaksa isi peanjian Bongaya dilaksanakan. Benteng
pertahanan Gowa diserahkan kepada VOC dan oleh Spelman kemudian diberi nama
Benteng Rotterdam.
4)
Serangan
Mataram terhadap VOC
Setelah berhasil menguasai
Malaka, VOC kemudian memperluas daerah kekuasaannya dengan menguasai
daerah-daerah di Nusantara dengan menaklukan Kerajaan-kerajaan yang ada.
VOC
berhasil mendirikan pusat kekuasaannya di Batavia dan berusaha mempraktikan
monopoli perdagangan Selat Sunda. VOC juga berusaha menaklukan
kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa, termasuk Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram
mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613 – 1645).
Sultan
Agung memiliki cita-cita untuk mempersatukan seluruh kerajaan di Pulau Jawa,
namun hal tersebut mengalami kendala dengan hadirnya VOC di Batavia.
Selain
itu, praktik monopoli perdagangan sistem pemerintahan yang di terapkan VOC
telah membuat rakyat sangat menderita. Oleh karena itu, Sultan Agung
mempersiapkan pasukannya untuk menyerang VOC.
a)
Penyerbuan
Mataram ke Batavia pada Tahun 1628
Sultan
Agung mengadakan penyerangan ke Batavia pertama kali pada tahun 1628. Pasukan
pertama dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso. Pasukan kedua dipimpin oleh
Tumenggung Agul-Agul, Kyai Dipati Mandurorejo, Kyai Dipati Upusonto, dan Dipati
Ukur. 22 Agustus 1628 – 24 Agustus 1628 tentara mataram datang ke Batavia dan
melakukan penyerbuan. 21 September 1628 tentara Mataram menyerang benteng
Hollandia, namun gagal. Kegagalan ini membuat penyerbuan Mataram yang pertama
berakhir pula.
Sultan
Agung mengadakan serangan ke Batavia sebanyak dua kali, yaitu tahun 1628 dan
1629. Serangan pertama pada tahun 1628 terbagi dua gelombang. Gelombang pertama
dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso dengan membangun kubu-kubu pertahanan di
dekat rumah-rumah penduduk di sekitar Batavia.
Namun
tindakan tersebut diketahui oleh VOC, sehingga VOC kemudian menyerang dan
membakar kampung-kampung yang terdapat pasukan Mataram dan banyak jatuh korban
di pihak Mataram, termasuk Tumenggung Bahurekso.
Gelombang
kedua dipimpin oleh Adipati Uposonto, Suro Agul-Agul, dan Mandurejo. Stategi
yang digunakan adalah membendung aliran sungai Ciliwung dengan harapan agar
Batavia kekurangan air dan terjangkit wabah penyakit menular. Secara umum,
serangan Sultan Agung yang pertama ini mengalami kegagalan.
b) Penyerbuan Mataram ke Batavia pada
Tahun 1629
Meskipun
Mataram tidak berhasil merebut benteng Batavia dan menundukkan Kompeni pada
tahun 1628, mereka tidak begitu saja menyerah.Tahun1629 tentara Mataram
berangkat lagi menuju Batavia dengan perlengkapan senjata api.
Tentara
Mataram berangkat ke Batavia mulai bulan Juni 1629. Dan pada akhir bulan
Agustus 1629 mereka sampai di Batavia.
Pada
tanggal 31 Agustus 1629 seluruh pasukan Mataram mulai tiba di daerah sekitar
Batavia. VOC mengetahui kedatangan mereka untuk kembali menyerbu Batavia. VOC
juga mengetahui bahwa pusat persediaan bahan pangan saat itu adalah Tegal.
Merekapun mengirimkan armadanya ke Tegal, di mana perahu-perahu Mataram,
rumah-rumah dan gudang-gudang beras bagi tentara Mataram dibakar habis, setelah
Tegal mendapat perusakan, VOC berpindah ke Cirebon. Kota ini juga mendapat
gilirannya. Persediaan padi di sini pun habis dibakar oleh VOC.
Pada
21 September 1629 tentara Mataram menyerang benteng VOC. Mereka dibiarkan
menembak benteng hingga persediaan mesiu habis.
Pasukan
Mataram menderita kelaparan. Setelah berusaha untuk menyerang selama kurang
lebih 10 hari pada akhir bulan September 1629 mereka mulai menarik diri.
Pada
tahun 1629, Mataram melakukan serangan untuk kedua kalinya di bawah pimpinan
Dipati Puger dan Dipati Purabaya. Belajar dari serangan pertama yang gagal,
maka diadakan persiapan yang lebih matang sebelum melakukan serangan, didirikan
lumbung-lumbung padi di daerah Cirebon dengan tujuan memblokade bahan makanan
ke Batavia. Lumbung-lumbung padi tersebut akhirnya diketahui oleh VOC dan
dibakar, akibatnya serangan Mataram kedua juga mengalami kegagalan.
Kegagalan
serangan Sultan Agung ke Batavia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
(1)
Kalah dalam
persenjataan;
(2)
Jarak Mataram
Batavia sangat jauh;
(3)
Kekurangan bahan
makanan, karena lumbung-lumbung padi persedian Mataram berhasil di bakar oleh
VOC; dan
(4) Terjangkitnya wabah penyakit yang menyerang prajurit Mataram.
b.
Perlawanan
terhadap Pemerintah Hindia Belanda
Perlawanan
terhadap pemerintah Hindia Belanda terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Abad XIX merupakan puncak perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah
menentang Pemerintah Hindia Belanda. Kegigihan perlawanan rakyat Indonesia
menyebabkan Belanda mengalami krisis keuangan untuk membiayai perang.
Perlawanan di berbagai daerah tersebut belum berhasil membuahkan kemerdekaan.
1)
Perang
Saparua di Ambon
Sejak
abad ke-17 perlawanan rakyat Maluku terhadap Kompeni sudah terjadi, namun
perlawanan yang dahsyat baru muncul pada permulaan abad ke-19, di bawah
pimpinan Thomas Matulessi (lebih dikenal dengan nama Pattimura).
Latar
belakang timbulnya perlawanan Pattimura, di samping adanya tekanan-tekanan yang
berat di bidang ekonomi sejak kekuasaan VOC juga dikarenakan hal sebagai berikut.
a) Sebab ekonomis, yakni adanya
tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat kehidupan rakyat, seperti
sistem penyerahan secara paksa, kewajiban kerja blandong (menebang hutan),
penyerahan atap dan gaba-gaba (daun rumbai), penyerahan ikan asin, dendeng dan
kopi. Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan rakyat Maluku tidak
dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari karena belum terbiasa.
b) Sebab psikologis, yaitu adanya
pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah dan gereja, serta
pengiriman orang-orang Maluku untuk dinas militer ke Batavia. Hal-hal tersebut
di atas merupakan tindakan penindasan pemerintah Belanda terhadap rakyat
Maluku.
Oleh
karena itu, rakyat Maluku bangkit dan berjuang melawan imperialisme Belanda.
Aksi perlawanan meletus pada tanggal 15 Mei 1817 dengan menyerang Benteng
Duurstede di Saparua.
Setelah
terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng Duurstede jatuh ke tangan rakyat
Maluku di bawah pimpinan Pattimura. Banyak korban di pihak Belanda termasuk
Residen Belanda, Van den Berg ikut terbunuh dalam pertempuran.
Kemenangan
atas pemerintah kolonial Belanda memperbesar semangat perlawanan rakyat
sehingga perlawanan meluas ke Ambon, Seram dan pulau-pulau lain. Di Hitu
perlawanan rakyat muncul pada permulaan bulan Juni 1817 di bawah pimpinan
Ulupaha. Rakyat Haruku di bawah pimpinan Kapten Lucas Selano, Aron dan Patti
Saba.
Situasi
pertempuran berbalik setelah datangnya bala bantuan dari Batavia di bawah
pimpinan Buyskes. Pasukan Belanda terus mengadakan penggempuran dan berhasil
menguasai kembali daerah-daerah Maluku. Perlawanan semakin mereda setelah
banyak para pemimpin tertawan, seperti Thomas Matulessi (Pattimura), Anthonie
Rhebok, Thomas Pattiweal, Lucas Latumahina, dan Johanes Matulessi.
Dalam
perlawanan ini juga muncul tokoh wanita yakni Christina Martha Tiahahu. Sebagai
pahlawan rakyat yang tertindas oleh penjajah.
2)
Perang
Paderi di Sumatra Barat (1821-1838)
Perang
Paderi melawan Belanda berlangsung 1821–1838, tetapi gerakan Paderi sendiri
sudah ada sejak awal abad ke-19. Di lihat dari sasarannya, gerakan Paderi dapat
dibagi menjadi dua periode.
a) Periode 1803–1821 adalah masa
perang Paderi melawan Adat dengan corak keagamaan.
b) Periode 1821–1838 adalah masa
perang Paderi melawan Belanda dengan corak keagamaan dan patriotisme.
Sejak
tahun 1821 saat kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piabang, gerakan Paderi melawan kaum Adat dimulai. Kaum Paderi
berkeinginan memperbaiki masyarakat Minangkabau dengan mengembalikan
kehidupannya yang sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Padahal kaum Adat
justru ingin melestarikan adat istiadat warisan leluhur mereka.
Adat
yang selama itu dianut dan yang menjadi sasaran gerakan Paderi adalah
kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti menyabung ayam, berjudi, madat, dan
minum-minuman keras. Terjadilan perbenturan antara kaum Adat dengan kaum
Paderi. Kaum Adat yang merasa terdesak, kemudian minta bantuan kepada pihak ketiga,
yang semula Inggris kemudian digantikan oleh Belanda (berdasarkan Konvensi
London).
Perang
Paderi melawan Belanda meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya menduduki
Semawang pada tanggal 18 Februari 1821. Masa Perang Paderi melawan Belanda
dapat dibagi menjadi tiga periode.
a) Periode 1821–1825, ditandai dengan
meletusnya perlawanan di seluruh daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku
Pasaman, kaum Paderi menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit
Air, Sipinan, dan tempat-tempat lain.
Pertempuran
menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Tuanku Pasaman kemudian
mengundurkan diri ke daerah Lintau. Sebaliknya, Belanda yang telah berhasil
menguasai Lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng pertahanan di
Batusangkar (Fort Van den Capellen).
b) Periode 1825–1830, ditandai dengan
meredanya pertempuran. Kaum Paderi perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak
Belanda baru memusatkan perhatiannya menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa.
c) Periode 1830–1838, ditandai dengan
perlawanan di kedua belah yang makin menghebat. Pemimpin di pihak Belanda,
antara lain Letkol A.F. Raaff, Kolonel de Stuer, Mac. Gillavry dan Elout,
sedangkan di pihak Paderi ialah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku
nan Gapuk, Tuanku Hitam, Tuanku Nan Cerdik dan Tuanku Tambusi. Pada tahun 1833,
Belanda mengeluarkan Pelakat Panjang yang isinya, antara lain sebagai berikut.
(1)
Penduduk
dibebaskan dari pembayaran pajak yang berat dan kerja rodi.
(2)
Belanda akan
bertindak sebagai penengah jika terjadi perselisihan antarpenduduk.
(3)
Penduduk boleh
mengatur pemerintahan sendiri.
(4) Hubungan dagang hanya diperbolehkan dengan Belanda.
Belanda
menjalankan siasat pengepungan mulai masuk tahun 1837 terhadap Benteng Bonjol.
Akhirnya, Benteng Bonjol berhasil dilumpuhkan oleh Belanda. Selanjutnya,
Belanda mengajak berunding kaum Paderi yang berujung pada penangkapan Tuanku
Imam Bonjol (25 Oktober 1837).
Setelah
ditahan, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dipindahkan ke Ambon (1839),
dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga wafat tanggal 6 November
1864.Perlawanan kaum Paderi kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai. Setelah
Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda.
Itu berarti seluruh perlawanan dari kaum Paderi berhasil dipatahkan oleh
Belanda.
3)
Perang
Diponegoro (1825-1830)
Sejak
awal abad ke-18 Belanda memperluas daerah kekuasaannya dan berhasil menguasai
sebagian besar wilayah Mataram pada tahun 1812. Pengaruh Belanda mulai menyebar
di kalangan istana dan mengancam kehidupan agama Islam. Sebagai salah seorang
pemimpin negara dan pemuka agama, Pangeran Diponegoro tergerak untuk melakukan
perlawanan.
a)
Sebab-sebab umum
(1) Wilayah Kesultanan Mataram semakin
sempit dan para raja sebagai penguasa pribumi mulai kehilangan kedaulatan.
(2) Belanda ikut campur tangan dalam
urusan intern kesultanan, misalnya soal pergantian raja dan pengangkatan patih.
(3) Timbulnya kekecewaan di kalangan
para ulama, karena masuknya budaya barat yang tidak sesuai dengan Islam.
(4) Sebagian bangsawan merasa kecewa
karena Belanda tidak mau mengikuti adat istiadat kraton.
(5) Sebagian bangsawan kecewa terhadap
Belanda karena telah menghapus sistem penyewaan tanah oleh para bangsawan
kepada petani (mulai tahun 1824).
(6) Kehidupan rakyat yang semakin
menderita di samping harus kerja paksa masih harus ditambah beban membayar
berbagai macam pajak.
b)
Sebab khusus
Adapun
sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro adalah sebagai berikut:
(1) Pangeran Diponegoro tersingkir dari
elite kekuasaan karena menolak berkompromi dengan pemerintah kolonial. Pangeran
Diponegoro memilih mengasingkan diri ke Tegalrejo.
(2) Pemerintah kolonial melakukan
provokasi dengan membuat jalan yang menerobos makam leluhur Pangeran
Diponegoro.
Hal
tersebut lah yang membuat Pangeran Diponegoro marah dan menganggap nya sebagai
suatu penghinaan. Untuk memperkuat kekuasaannya, Pangeran Diponegoro membangun
pusat pertahanan di Selarong. Dukungan kepada Pangeran Diponegoro datang dari
mana-mana sehingga pasukan Diponegoro semakin kuat. Dukungan datang dari
Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasya Prawirodirjo, dan Kiai Mojo. Dari pihak
Belanda untuk menghadapi perlawanan pangeran Diponegoro mendatangkan pasukan di
Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Jenderal Marcus De Kock.
Pangeran
Diponegoro memimpin pasukannya dengan perang gerilya. Untuk mengatasi
perlawanan Diponegoro tersebut, Gubernur Jenderal Van Der Capellen menugasi
Jenderal Marcus de Kock untuk menjalankan strategi benteng stelsel, yaitu
mendirikan benteng di setiap tempat yang dikuasainya. Antarbenteng yang satu
dan benteng lainnya dihubungkan dengan jalan untuk memudahkan komunikasi dan
pergerakan pasukan. Taktik benteng stelsel ini bertujuan untuk mempersempit
ruang gerak pasukan Diponegoro. Pasukan Diponegoro semakin bertambah lemah
terlebih lagi pada tahun 1829 Kiai Mojo dan Sentot Alibasya Prawirodirjo
memisahkan diri. Lemahnya kedudukan Diponegoro tersebut menyebabkan ia menerima
tawaran berunding dengan Belanda di Magelang.
Dalam
perundingan tersebut, pihak Belanda diwakili oleh Jenderal de Kock. Perundingan
tersebut gagal mencapai sepakat, kemudian Belanda menangkap Pangeran Diponegoro
dan dibawa ke Batavia, yang selanjutnya dipindahkan ke Manado, kemudian
dipindahkan lagi ke Makassar dan meninggal di Benteng Rotterdam pada tanggal 8
Januari 1855.
Perang
Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun tersebut membawa dampak antara
lain sebagai berikut:
a)
Kekuasaan wilayah
Yogyakarta dan Surakarta berkurang;
b)
Belanda
mendapatkan beberapa wilayah Yogyakarta dan Surakarta;
c) Banyak menguras kas Belanda.
4)
Perang Aceh
Sampai
abad 19 Aceh merupakan daerah yang berdaulat dan dihormati oleh dua imperialis
di Indonesia dan sekitarnya yaitu Inggris dan Belanda. Berdasarkan
Traktat/perjanjian London 1824 maka Aceh dijadikan daerah penyangga
(Bufferstate) antara kekuasaan Inggris di Malaka dengan Bengkulu yang
diserahkan Inggris kepada Belanda. Keadaan tersebut tidak dapat bertahan lama
karena adanya kepentingan Belanda yang berniat menduduki Aceh sehingga
timbullah perlawanan rakyat Aceh.
Sebab-sebab
Perang Aceh adalah sebagai berikut:
a) Belanda merasa berhak atas daerah Sumatra Timur yang diperoleh dari
Sultan Siak sebagai upah membantu sultan dalam perang saudara melalui Traktat
Siak tahun 1858, sementara Aceh berpendapat daerah terebut merupakan
wilayahnya.
b) Sejak Terusan Suez dibuka tahun 1869 perairan Aceh menjadi sangat
penting sebagai jalur pelayaran dari Eropa ke Asia.
c)
Keluarnya Traktat Sumatra
tahun 1871 yang menyatakan bahwa Inggris tidak akan menghalangi usaha Belanda
untuk meluaskan daerah kekusaannya sampai di Aceh dalam rangka Pax
Netherlandica (menguasai seluruh Hindia Belanda). Traktat Sumatra yang
mengancam kedaulatannya, Aceh berusaha untuk mencari bantuan dengan mengirim
utusan ke Turki. Selain itu juga dijalin hubungan ke perwakilan negara Amerika
Serikat dan Italia di Singapura. Tindakan Aceh ini mencemaskan Belanda lalu
menuntut Aceh agar mengakui kedautalan Belanda. Aceh menolak tututan tersebut
sehingga Belanda melakukan penyerangan.
Sebelum
terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan. Sekitar 3.000
orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang pasukan
disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di
bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler melakukan penyerangan terhadap
Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh
dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan disertai pengorbanan besar, yakni
tewasnya Mayor Jenderal Kohler.
Setelah
Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan pasukan
Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmuh Syah. Dengan
dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak mengundang para tokoh
dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan Belanda.
Tampilah
tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku
Cik Di Tiro, Teuku Umar dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu Belanda kemudian
bergerak untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah pertempuran di
istana kesultanan. Dengan kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang
Aceh mampu bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana.
Pada
akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara
besar-besaran di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan kekutan
8.000 orang tentara. Pertempuran seru berkobar lagi pada awal tahun 1874 yang
akhirnya Belanda berhasil menduduki istana kesultanan. Sultan beserta para
tokoh pejuang yang lain meninggalkan istana dan terus melakukan perlawanan di
luar kota. Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah meninggal, kemudian
digantikan oleh putranya yakni Muhammad Daud Syah.
Sementara
itu, ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu Habib Abdurrachman tiba
kembali di Aceh tahun 1879 maka kegiatan penyerangan ke pos-pos Belanda
diperhebat. Habib Adurrachman bersama Teuku Cik Di Tiro dan Imam Lueng Bata
mengatur taktik penyerangan guna mengacaukan dan memperlemah pos-pos Belanda.
Menyadari
betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda berusaha
mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan
sosial-budayanya. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr. Snouck
Hurgronye (seorang ahli tentang Islam) untuk meneliti soal sosial budaya
masyarakat Aceh. Dengan menyamar sebagai seorang ulama dengan nama Abdul Gafar,
ia berhasil masuk Aceh.
Hasil
penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers (Orang Aceh). Dari hasil
penelitiannya dapat diketahui bahwa sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa
persetujuan para kepala di bawahnya dan ulama mempunyai pengaruh yang sangat
besar di kalangan rakyat.
Dengan
demikian langkah yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik "de
vide et impera (memecah belah dan menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama
yang melawan harus dihadapi dengan kekerasan senjata; kaum bangsawan dan
keluarganya diberi kesempatan untuk masuk korps pamong praja di lingkungan
pemerintahan kolonial.
Tentara
Belanda di bawah pimpinan J.B. Van Heutz berhasil memukul perlawanan Teuku Umar
dan Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir ke Aceh Barat dan Panglima Polim
menyingkir ke Aceh Timur. Dalam pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11
Februari 1899, Teuku Umar gugur.
Sementara
itu, Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah, masih melakukan perlawanan
di Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan penangkapan. Pada tanggal 6 September
1903 Panglima Polim beserta 150 orang parjuritnya menyerah setelah Belanda
melakukan penangkapan terhadap keluarganya. Hal yang sama juga dilakukan
terhadap Sultan Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1904, Sultan Aceh dipaksa untuk
menandatangani Plakat Pendek yang isinya sebagai berikut.
a) Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
b) Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan
belanda.
c)
Aceh menaati perintah dan
peraturan Belanda.
Dengan
ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah
Belanda.
5)
Perlawanan
Sisingamangaraja, Sumatra Utara
Perang
Tapanuli, juga dikenal sebagai Perang Batak (1878-1907), merupakan perang
antara Kerajaan Batak melawan Belanda. Perang ini berlangsung selama 29 tahun.
Alasan
meletusnya perang ini adalah:
a) Raja Sisingamangaraja XII tidak senang daerah kekuasaannya diperkecil
oleh Belanda. Kota Natal, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Tapanuli Selatan
dikuasai oleh Belanda.
b) Belanda berusaha mewujudkan Pax Netherlandica (menguasai seluruh Hindia
Belanda).
Perang
meletus setelah Belanda menempatkan pasukannya di Tarutung. Raja
Sisingamangaraja XII memutuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Tarutung.
Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti di
Bahal Batu, Siborong-borong, Balige Laguboti dan Lumban Julu.
Pada
tahun 1894, Belanda melancarkan serangan untuk menguasai Bakkara, pusat
kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak. Akibat penyerangan ini,
Sisingamangaraja XII terpaksa pindah ke Dairi Pakpak. Pada tahun 1904, pasukan
Belanda, dibawah pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah, melanjutkan gerakannya
ke Tapanuli Utara, sedangkan di Medan didatangkan pasukan lain. Pada tahun
1907, Pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil
menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII serta dua orang anaknya,
sementara itu Sisingamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri
ke hutan Simsim. Ia menolak tawaran untuk menyerah, dan dalam pertempuran
tanggal 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII gugur bersama dengan putrinya Lopian
dan dua orang putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Sisingamangaraja
XII menandai berakhirnya Perang Tapanuli.
6)
Perang
Banjar
Perang
Banjar merupakan perlawanan rakyat terhadap Belanda di Kalimantan Selatan.
Perang ini meletus pada 28 April 1859, dan dipimpin oleh Pangeran Antasari
untuk merebut benteng Pengaron milik Belanda yang dipertahankan mati-matian.
Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di
pelbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Kiai
Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung antaluddin di benteng Gunung Madang
Kandangan, Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Sebab-sebab
perang adalah:
a) Faktor ekonomi. Belanda memonopoli
perdagangan lada, rotan, damar, serta hasil emas dan intan. Monopoli tersebut
sangat merugikan rakyat maupun pedagang di daerah tersebut sejak abad-17. Pada
abad-19 Belanda bercita menguasai Kalimantan Selatan untuk melaksanakan Pax
Netherlandica (menguasai seluruh Hindia Belanda).
b) Faktor politik. Belanda ikut campur
urusan kerajaan yang menimbulkan ketidaksenangan. Pada saat menentukan
pengganti Sultan Adam maka yang diangkat adalah Pangeran Tamjidillah yang
disenangi Belanda. Sedangkan Pangeran Hidayatullah yang lebih berhak atas
takhta hanya dijadikan Mangkubumi kerana tidak menyukai Belanda.
Campur
tangan Belanda di keraton makin besar dan kedudukan Pangeran Hidayatullah makin
terdesak maka ia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama Pangeran
Antasari, sepupunya.
Tidak
kurang dari 3.000 orang bersedia membantu termasuk tokoh-tokoh agama seperti
Kyai Demang Leman, Haji Langlang, Haji Nasrum dan Haji Buyasih. Pasukan
Antasari berusaha menyerang pos-pos Belanda di Martapura dan Pangaron.
Sebaliknya pada pertempuran tanggal 27 September 1859 Belanda dapat menduduki
benteng pasukan Pangeran Antasari di Gunung Lawak.
Tindakan
Belanda berikutnya adalah menurunkan Sultan Tamjidillah dari takhta. Sementara
itu Pangeran Hidayatullah menolak untuk menghentikan perlawanan lalu pergi
meninggalkan kraton, maka pada tahun 1860 kerajaan Banjar dihapuskan dan daerah
tersebut menjadi daerah kekuasaan Belanda.
Ternyata
tindakan Belanda tersebut tidak menyurutkan perlawanan Pangeran Antasari.
Walaupun Kyai Damang Laman menyerah dan Pangeran Hidayatullan tertangkap lalu dibuang
ke Cianjur namun Pangeran Antasari tetap memimpin perlawanan bahkan ia diangkat
oleh rakyat menjadi pemimpin tertinggi agama dengan gelar Panembahan Amirudin
Khalifatul Mukminin pada tanggal 14 Maret 1862. Ia dibantu oleh para pemimpin
yang lain yaitu Pangeran Miradipa, Tumenggung Surapati, dan Gusti Umah yang
memusatkan pertahanan di Hulu Teweh. Perlawanan Antasari berakhir sampai
meninggal dunia tanggal 11 Oktober 1862 kemudian dilanjutkan oleh puteranya
bernama Pangeran Muhamad Seman.
7)
Perang Jagaraga
di Bali
Perang
Bali adalah perang antara kerajaan-kerajaan yang ada di pulau Bali dengan
bangsa kolonial Belanda. Perang ini terjadi karena kerajaan-kerajaan tersebut
tidak ingin dikuasai oleh bangsa asing.
a) Sebab umum perang ini adalah:
1) Belanda hendak memaksakan
kehendaknya untuk menghapuskan hak-hak kekuasan kerajaan-kerajaan di Bali atas
daerahnya.
2) Raja-raja Bali dipaksa mengakui
kedaulatan pemerintah Hindia Belanda dan mengizinkan pengibaran bendera Belanda
di wilayah kerajaannya.
3) Adat sute yang dianggap Belanda
tidak berprikemanusiaan akan dihapus oleh Belanda.
b) Sebab khusus:
Belanda
menolak hak Raja Buleleng yaitu hak Tawan karang yang menyatakan kapal asing
yang terdampar di pantai kerajaan tersebut akan dirampas kapal beserta isinya.
c) Strategi Perang
Pemerintah
kolonial Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi pasukannya ke Bali untuk membuat
raja-raja Bali takluk. Ekspedisi pertama tidak berhasil kemudian Belanda
mengirimkan pasukannya yang lebih besar lagi. Karena kalahnya jumlah dan teknologi
senjata, rakyat Bali hanya tinggal bertahan di benteng-benteng pertahanan
sambil sedikit-sedikit menyerang dan juga dengan menjalankan perang Puputan,
yaitu perang suci sampai tetes darah penghabisan.
d) Tokoh-tokoh
Tokoh
dari rakyat Bali adalah I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng. Dari kolonial
Belanda Jenderal Micheles.
e) Medan Perang
Medan
perang hampir seluruh Pulau Bali yang meliputi Klungkung, Buleleng, Karang
Asem, Gianyar, dan lain-lain.
f) Akhir Perang
Jatuhnya
Buleleng ke tangan Belanda, mempengaruhi raja-raja lain untuk bersikap lunak
terhadap Belanda. Akibatnya sebagian besar kerajaan di Bali dapat ditaklukkan
Belanda pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1906 Belanda menyerang Bali selatan
yang di sana mendapatkan perlawanan yang sengit yang diikuti dengan perang
Puputan. Baru pada tahun 1909 seluruh Bali dapat di kuasai oleh Belanda.
g) Akibat-akibat perang.
(1) Bidang politik
(a) Dikuasainya seluruh pulau Bali oleh
Belanda.
(b) Berkurangnya kekuasaan raja pada
kerajaannya bahkan raja dapat dikatakan menjadi bawahan Belanda.
(2) Bidang ekonomi
Dikuasainya
monopoli perdagangan di Bali karena Bali merupakan daerah yang sangat strategis
yang banyak dikunjungi bangsa asing.
(3) Bidang sosial
Banyaknya
tatanan sosial yang diubah oleh Belanda termasuk dihapuskannya adat Sute pada
upacara ngaben.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar