Agama Islam
masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai, kemudian diteruskan ke
daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran Islam. Berkaitan dengan
kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya terdapat beberapa teori
yang mendukungnya. Berikut ini diuraikan tentang hal tersebut.
1.
BUKTI KRONOLOGIS
MASUKNYA ISLAM KE NUSANTARA
Indonesia adalah negara yang memiliki penganut Islam terbesar di dunia. Masuknya
agama Islam ke Nusantara belum diketahui secara pasti. Namun ada beberapa
pendapat tentang kapan masuknya agama Islam ke Nusantara. Pendapat
tersebut didasarkan pada bukti-bukti yang telah di temukan. Berikut ini
kronologi masuknya Islam ke Nusantara.
- Abad ke-7 Masehi (Abad 1 Hijriah)
Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para da’i yang datang ke
Indonesia berasal dari Jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India
yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina,
dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) da’wah mulai
merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Sampainya
da’wah di Indonesia melalui para pelaut atau pedagang-pedagang sambil membawa
dagangannya juga membawa akhlak Islami sekaligus memperkenalkan nilai-nilai
yang Islami.
Sumber sejarah
yang menginformasikan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi adalah
sebagai berikut :
a.
Berita Cina Zaman Dinasti Tang yang menerangkan
bahwa pada tahun 674 M, orang-orang Arab telah menetap di Kanton. Groeneveldt
berpendapat bahwa pada waktu yang sama kelompok orang Arab yang beragama Islam
mendirikan perkampungan di pantai barat Sumatra. Perkampungan tersebut namanya
Barus/Fansur.
b.
Pada waktu Sriwijaya mengembangkan kekuasaan
sekitar abad ke-7 dan 8, para pedagang Muslim telah ada yang singgah di
kerajaan itu sehingga diduga beberapa orang di Sumatra telah memasuki Islam.
c.
Pada tahun 674 M, Raja
Ta-Shih mengirim duta ke kerajaan Holing untuk membuktikan keadilan, kejujuran,
dan ketegaran Ratu Sima.
- Abad ke-11 Masehi
Berdasarkan
penelitian sejarah telah ditemukan sebuah makan Islam di Leran, Gresik. Pada
batu nisan dari makam tersebut tertulis nama seorang wanita, yaitu Fatimah
binti Maimun.
Pada makam itu terdapat prasasti huruf Arab yang berangka tahun (dimasehikan
1082). Artinya, dapat dipastikan bahwa pada akhir abad ke-11
Islam telah masuk ke Indonesia. Dengan demikian, dapat diduga bahwa Islam telah
masuk dan berkembang di Indonesia sebelum tahun 1082.
Fatimah binti
Maimun bin Hibatullah adalah seorang perempuan beragama Islam yang wafat pada
hari Jumat, 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M). Batu nisannya ditulis
dalam bahasa Arab dengan huruf kaligrafi bergaya Kufi, serta merupakan nisan
kubur Islam tertua yang ditemukan di Nusantara. Makam tersebut berlokasi di
desa Leran, Kecamatan Manyar, sekitar 5 km arah utara kota Gresik, Jawa Timur.
Temuan batu nisan
tersebut merupakan salah satu data arkeologis yang berkenaan dengan keberadaan
komunitas Muslim pertama di kawasan pantai utara Jawa Timur. Gaya Kufi tersebut
menunjukkan di antara pendatang di kawasan pantai tersebut, terdapat
orang-orang yang berasal dari Timur Tengah dan bahwa mereka juga merupakan
pedagang, sebab nisan kubur dengan gaya Kufi serupa juga ditemukan di Phanrang,
Champa selatan. Hubungan perdagangan Champa-Jawa Timur tersebut adalah bagian
dari jalur perdagangan komunitas Muslim pantai pada abad ke-11 yang membentang
di bagian selatan Cina, India, dan Timur Tengah.
Sumber
tertulis tertua yang menulis legenda mengenai seorang putri dari Leran ialah
Sajarah Banten, yang ditulis tahun 1662 atau 1663. Disebutkan bahwa pada masa
Islamisasi Jawa, seorang bernama Putri Suwari dari Leran ditunangkan dengan raja
terakhir dari Majapahit.
- Abad ke-13 Masehi
Sumber sejarah
yang menyatakan agama Islam mulai masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M adalah
sebagai berikut.
a.
Catatan perjalanan Marcopolo yang
menerangkan bahwa ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 M dan
berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam.
b.
Ditemukannya nisan makam Raja Samudra Pasai Sultan Malik Al-Saleh yang berangka tahun
1297 M.
c.
Berita Ibnu Batutah
Dalam
perjalanannya ke Cina, Ibnu Batutah singgah di Samudra Pasai pada tahun 1345 M.
Ia menceritakan bahwa Raja Samudra Pasai giat menyebarkan agama Islam.
- Abad ke-15 Masehi
Sumber sejarah
yang menyatakan agama Islam mulai masuk ke Nusantara pada abad ke-15 M adalah
sebagai berikut.
a.
Catatan Ma-Huan seorang
Musafir Cina Islam, memberitakan bahwa pada abad ke-15 M sebagian besar
masyarakat Pantai Utara Jawa Timur telah memeluk Islam.
b.
Pemakaman muslim kuno di Troloyo dan Trowulan. Makam yang
berangka tahun 1457 M membuktikan adanya bangsawan Majapahit yang sudah memeluk
agama Islam pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.
c.
Makam salah seorang Walisanga di daerah Gresik.
Pada batu nisannya tertulis nama Malik Ibrahim (Bangsa
Persia) yang wafat pada tahun 1419 M.
d.
Suma
Oriental
dari Tome Pires, catatan musafir
Portugal ini memberitakan mengenai penyebaran agama Islam antara tahun 1512 M
sampai tahun 1515 M di Sumatra, Kalimantan, Jawa sampai Kepulauan Maluku.
1.
GOLONGAN PEMBAWA
ISLAM DI NUSANTARA
Sejarah
mencatat, kepulauan Nusantara merupakan daerah yang terkenal sebagai penghasil
rempah-rempah terbesar di dunia. Hal tersebut membuat banyak pedagang dari
berbagai penjuru dunia datang ke Nusantara untuk membeli rempah-rempah yang
akan dijual kembali ke daerah asal mereka. Termasuk para pedagang dari Arab,
Persia, dan Gujarat. Selain berdagang, para pedagang muslim tersebut juga
berdakwah untuk mengenalkan agama Islam kepada penduduk lokal.
Adanya interaksi antara pedagang dari
penjuru dunia dengan intensitas yang tinggi, memunculkan beragam teori mengenai
siapakah sebenarnya yang memperkenalkan agama Islam kepada penduduk Nusantara. Adapun teori yang menjelaskan mengenai masuknya Islam ke
Nusantara adalah sebagai berikut.
1. Teori Gujarat
Teori yang
dipelopori oleh Snouck Hurgronje ini menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke
Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Kambay
(Gujarat), India. Ia berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara bukan dari
Arab. Melainkan dari Gujarat/India. Hubungan langsung antara Nusantara dan Arab
baru terjadi pada masa kemudian yaitu contohnya hubungan utusan dari Mataram
dan Banten ke Mekah pada pertengahan abad ke-7 M. Pendapat tersebut
didasarkan pula kepada unsur-unsur Islam di Nusantara yang menunjukkan
persamaannya dengan India.
Dasar dari teori ini
adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam
di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia –
Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai, yaitu Malik Al Saleh tahun 1297
yang bercorak khas Gujarat.
Menurut pendapat
Prof. DR. Azyumardi Azra (Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah), teori
Gujarat yang dipopulerkan oleh Snouck Hurgronje tidak benar. Dia mengatakan
Islam dibawa oleh pedagang yang datang dari Gujarat pada abad ke- 12 atau abad
ke-13. Padahal masa itu, Gujarat dikuasai oleh kerajaan Hindu yang kerap
mengusir kapal-kapal pedagang muslim yang singgah.
2.
Teori Persia
Teori Persia menyatakan bahwa agama
Islam dibawa oleh para pedagang dari Persia (sekarang Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat
Islam Indonesia seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu
Nabi Muhammad, yang sangat dijunjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra
Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di
pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda
tanda bunyi harakat.
c. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
d. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Di Persia
terdapat suku bangsa ”Leren”.
Pendukung teori Persia adalah P.A.
Hoesein Djajadiningrat, Haji Muhammad Said, J.C. Van Leur, M. Dahlan Mansur dan
Haji Abu Bakar Aceh.
3.
Teori Mekkah
Teori ini adalah teori baru yang muncul
untuk menyanggah bahwa Islam baru sampai di Indonesia pada abad ke-13 dan
dibawa oleh orang Gujarat. Teori ini mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia
langsung dari Mekkah (Arab) sebagai pusat agama Islam sejak abad ke-7.
Dasar teori ini adalah:
a.
Pada abad ke-7 yaitu tahun 674 M dipantai barat
Sumatra sudah terdapat perkampungan Islam (Arab) dengan pertimbangan bahwa
pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini
juga sesuai dengan berita Cina.
b.
Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab
Syafii, di mana pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu di Mesir dan
Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c.
Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al-Maliki
yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Mekah ini adalah Buya
Hamka, Alwi Shihab, Ahmad Mansur Suryanegara, Fazlur Rahman, Crawford, Niemann,
De Holander.
Para ahli yang mendukung teori ini
menyatakan bahwa abad ke-13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi
masuknya Agama Islam ke Nusantara terjadi sebelumnya, yaitu abad ke-7 M dan
yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
1.
PERAN
PENYEBARAN ISLAM DI NUSANTARA
1. Masuknya Islam ke Indonesia
Masuknya agama Islam ke
Indonesia dilakukan oleh pedagang dan para ulama.
a. Peran Pedagang
Kaum pedagang
memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama
Islam, baik pedagang dari luar
Indonesia maupun para pedagang Indonesia. Para
pedagang itu datang dan berdagang di
pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para
pedagang. Di samping itu, bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan
Samudra Pasai juga didatangi para pedagang. Mereka
tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu datangnya
angin musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi pembauran antarpedagang dari
berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling
memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan
perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan.
Di antara para pedagang
tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama
Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam
kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Maka, mulailah ada
penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam. Lama-kelamaan penganut agama Islam
makin banyak. Bahkan kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.
Penduduk setempat yang
telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang,
juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat Indonesia.
Di samping itu para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang menikah dengan
penduduk setempat sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak yang Islam.
Hal ini berlangsung
terus selama bertahun-tahun sehingga akhirnya muncul sebuah komunitas Islam,
yang setelah kuat akhirnya membentuk sebuah pemerintahaan Islam. Dari situlah
lahir kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.
b. Peran Para Ulama
Para
ulama menyebarkan Islam dengan cara:
1) Ulama
keliling menyebarkan agama Islam (dengan pendekatan akulturasi
dan sinkretisasi/lambang-lambang
budaya).
2)
Pendidikan pesantren, melalui lembaga/sistem
pendidikan pondok pesantren, kyai
sebagai pemimpin, dan santri sebagai murid.
Di Pulau Jawa,
penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisanga
(9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai
tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat
dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah
tidaknya seseorang naik takhta. Mereka juga adalah penasihat sultan.
Karena dekat dengan
kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang
dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut.
a) Sunan Gresik
(Maulana Malik Ibrahim), merupakan wali yang
pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Beliau dimakamkan di
Gresik, Jawa Timur.
b) Sunan Ampel
(Raden Rahmat), menyiarkan Islam di
Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid
Demak.
c) Sunan
Derajad (Syarifudin), merupakan anak dari
Sunan Ampel. Beliau menyiarkan agama di sekitar
Surabaya. Beliau seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
d) Sunan Bonang
(Makdum Ibrahim), anak dari Sunan Ampel. Beliau menyiarkan
Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Beliau merupakan sunan yang
sangat bijaksana.
e) Sunan
Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di
Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan
cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.
f) Sunan Giri
(Raden Paku). Menyiarkan Islam di luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara,
dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.
g) Sunan Kudus
(Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni
bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
h) Sunan Muria
(Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara
Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
i) Sunan Gunung
Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan
Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.
Penyebaran
agama Islam di Jawa selain dilakukan oleh Walisanga juga dilakukan oleh para
ulama, seperti Syekh Siti Jenar (Demak), Sunan Tembayat (Klaten), Syekh Yusuf
(Banten), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Panggung (Tegal), dan Syekh Abdul
Muhyi (Tasikmalaya), Di Minangkabau terdapat ulama Syekh Burhanuddin, di Aceh Syekh
Abdurrauf Al Fanhury.
Islam
selain berkembang pesat di Pulau Jawa juga berkembang di pulau lainnya di
Indonesia. Dakwah Islam itu juga dilakukan oleh beberapa ulama besar, seperti;
Datori Bandang (Gowa, Makassar), Dato Sulaiman (Sulawesi Tengah dan Utara),
Tuan Tunggang ri Parangan (Kalimantan Timur) dan Penghulu Demak (Banjarmasin
dan Kalimantan Selatan).
2. Saluran Masuknya Islam di Indonesia
Masuknya Islam di Indonesia melalui saluran
berikut ini.
a. Perdagangan
Proses masuknya
Islam pada
awalnya adalah melalui perdagangan. Kesibukan lalu-lintas
perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 membuat pedagang-pedagang Muslim Arab, Persia dan India turut ambil bagian dalam perdagangan
dari negeri-negeri bagian barat, tenggara,
dan timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melalui
perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta
dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham.
Mereka berhasil mendirikan masjid dan mendatangkan ulama-ulama dari luar
sehingga jumlah mereka menjadi banyak. Di beberapa tempat penguasa-penguasa
Jawa yang menjabat sebagai Bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara
Jawa banyak yang masuk Islam, bukan karena hanya faktor politik dalam negeri yang
sedang goyah, tetapi karena faktor hubungan ekonomi drengan pedagang-pedagang muslim.
b. Pendidikan
Jalur ini dilakukan
melalui pendirian pondok-pondok pesantren. Di pesantren
atau pondok itu, calon ulama, guru agama dan kiai mendapat pendidikan agama.
Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing atau
berdakwah ke tempat
tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden
rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren
ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan Agama Islam.
c. Pernikahan
Masuknya Islam ke
Indonesia antara lain melalui pernikahan antara penduduk pribumi dengan
pedagang muslim. Dari perkawinan tersebut melahirkan generasi muslim.
d. Politik
Pengaruh kekuasaan raja
sangat besar dalam proses penyebaran agama Islam. Seorang raja yang sudah
memeluk agama Islam, biasanya akan diikuti oleh rakyatnya.
e. Kesenian
Perintis penyebaran agama
Islam melalui kesenian adalah Sunan Kalijaga, antara lain melalui seni gamelan dan wayang.
Beliau tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton
untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang
masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam cerita itu disisipkan
ajaran nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lainnya juga dijadikan alat
Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni bangunan dan
seni ukir.
f. Tasawuf
Tasawuf adalah cara untuk
mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Para ahli tasawuf yang disebut sufi
hidup mengembara. Dalam gaya hidup yang sederhana, mereka berusaha untuk
menghayati penderitaan hidup masyarakatnya. Mereka memperkenalkan agama Islam
dari satu daerah ke daerah yang lain.
Para sufi memiliki
keahlian yang dapat membantu kehidupan masyarakat misalnya ahli dalam
menyembuhkan penyakit. Selain menguasai pengetahuan agama yang mendalam, para
sufi juga menguasai hal-hal yang bersifat mistik. Pengetahuan mereka tentang
mistik inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia yang masih menganut
kebudayaan Hindu-Buddha tertarik. Jadi penyebaran agama Islam yang dilakukan
para sufi, telah disesuaikan dengan budaya yang berkembang pada masa itu.
Ahli-ahli tasawuf itu antara lain Hamzah Fansuri dari Aceh dan Sunan Panggung
dari Jawa Tengah.
.
3. Faktor Pendukung Islam Cepat Berkembang di Indonesia
Faktor
pendukung agama Islam cepat berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut.
a. Syarat masuk Islam sangat mudah, yaitu cukup mengucapkan kalimat Syahadat.
b. Ajarannya sederhana dan mudah dimengerti.
c. Agama Islam tidak mengenal kasta.
d. Disebarkan secara damai tanpa paksaan dan kekerasan.
e. Upacara-upacara keagamaannya sederhana.
f.
Faktor politik yang turut
memperlancar penyebaran agama Islam di Indonesia adalah runtuhnya Kerajaan
Majapahit (1478) sebagai kerajaan Hindu dan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis
1511.
1. KERAJAAN-KERAJAAN
ISLAM DI INDONESIA
Kerajaan-kerajaan Islam yang muncul di wilayah
Indonesia seperti berikut ini.
1. Kerajaan Perlak
Perlak
adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia, dengan masa pemerintahan cukup
panjang. Kerajaan Perlak yang berlokasi di Aceh Timur, daerah Perlak di Aceh
sekarang.
Perlak
disebut sebagai kerajaan Islam pertama (tertua) di Nusantara, bahkan di Asia
Tenggara. Kesimpulan dari Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh
dan Nusantara tahun 1980, di Rantau Kualasimpang itu didasarkan pada satu
dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu
Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy.
Keberadaan Kesultanan
Perlak juga dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan sejarah, seperti mata
uang Perlak, stempel kesultanan, dan makam raja-raja Benoa. Di samping itu,
disebutkan bahwa raja terakhir yang memerintah Perlak adalah Sultan Makhdum
Alaudin Malik Abdul Aziz Syah Johan.
Kerajaan
yang berdiri pada tahun 840 ini berakhir pada tahun 1292 karena bergabung
dengan Kerajaan Samudra Pasai. Sejak berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan
Samudra Pasai, terdapat 19 orang raja yang memerintah. Raja yang pertama ialah
Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225 – 249 H / 840 – 964 M).
Sultan bernama asli Saiyid Abdul Aziz pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan
menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah
menjadi Bandar Khalifah.
Kerajaan
ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik
Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).
Pada
masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam
bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan menikahkan dua
putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari
Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura
sekarang). Pernikahan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian
bergelar Sultan Muhammad Syah.
Sultan
Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan
oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692
H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak
disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malikul Dhahir
yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak
merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang
sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak
(kupang), dan dari tembaga atau kuningan.
1. Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan
Samudera Pasai berdiri sekitar abad ke-13 M. kerajaan ini terletak di sekitar
Lhokseumawe, Provinsi Naggroe Aceh Darussalam.
Kerajaan
Samudera Pasai didirikan oleh Malik as-Saleh (1290 – 1297). Sebelum menganut
agama Islam bernama Meurah Silu, putera Meurah Gajah, bangsawan dari Persia.
Kerajaan Samudera Pasai pernah dikunjungi Marcopolo, seorang saudagar Venesia
(Italia).
Pada
tahun 1297 Malik as-Saleh meninggal dan digantikan oleh putranya yakni Sultan
Muhammad Malik at-Thahir (1297 – 1326). Sultan Malik at-Thahir kemudian
digantikan oleh Sultan Mahmud Malik as-Zahir sebagai raja ke-3 (1326 – 1345).
Semasa pemerintahannya, seorang musafir dari Maroko yang bernama Ibnu Battuta
singgah di Samudera Pasai, dalam perjalannnya dari Delhi ke Cina. Ibnu Battuta
menceritakan bahwa Sultan sangat baik terhadap ulama dan rakyatnya. Samudera
Pasai adalah kerajaan dagang yang maju, kerajaannnya makmur. Raja terakhir
Samudera Pasai adalah Zainal Abidin (1523 – 1524). Selanjutnya Samudera Pasai
berada di bawah kekuasaan Aceh.
Berikut
ini gambaran
tentang kehidupan masyarkat di Kerjaan Samudra Pasai.
a. Kehidupan Politik
Menurut Marco Polo,
raja pertama Kerajaan Samudra Pasai adalah Marah Silu atau Sultan Malik al
Saleh (1285—1297). Raja berikutnya berturut-turut adalah Sultan Muhammad yang
bergelar Sultan Malik al Thahir 1(1297-1326), Sultan Ahmad yang bergelar Sultan
Malik al Thahir 1I(1346-1383), Sultan Zain al Abidin Malik az Zahir
(1383-1405), Sultanah Nahrisyah (1405—1412), Abu Zaid Malik az Zahir (1412),
dan Mahmud Malik az Zahir (1513-1524). Catatan mengenai Kerajaan Samudra Pasai
banyak berasal dari Ibnu Batutah yang pernah datang berkunjung pada tahun 1345.
Ia memberitakan bahwa Samudra Pasai telah menjalin komunikasi dan hubungan
diplomasi dengan Kerajaan Delhi. Rajanya sangat dihormati rakyat dan
menjadi pemimpin agama dengan dibantu seorang patih yang bergelar Amir.
Pada masa pemerintahan
Sultan Malik al Saleh, Samudra Pasai telah mempunyai hubungan diplomatik dengan
Cina. Hal itu diberitakan dalam sejarah Dinasi Yuan dan Cina. Berita itu
menyatakan bahwa pada tahun 1282 seorang utusan Cina bertemu dengan salah
seorang menteri dari kerajaan Sumatra. Mereka sepakat agar raja Samudra
mengirimkan dutanya ke Cina. Hubungan luar negeri lainnya adalah dengan negara
di Timur Tengah. Menurut berita Ibnu Batutah yang berkunjung ke Samudra Pasai
pada masa Sultan Malik al Thahir II (1346-1383), menyatakan bahwa terdapat
beberapa ahli agama datang ke Samudra Pasai, di antaranya Qadi Sharif Amir
Sayyid dari Persi (Iran) dan Taj al Din dari Istahan. Adapun hubungan
perdagangan dilakukan dengan banyak negara, antara lain Turki, Iran, Gujarat,
Arab, Melayu, Jawa, dan Siam.
b. Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Kehidupan ekonomi
Kerajaan Samudra Pasai banyak dipengaruhi oleh, aktivitas perdagangan karena
letaknya yang strategis. Posisi geografis Samudra Pasai sangat strategis karena
berbatasan dengan Selat Malaka dan berada pada jalur perdagangan internasional
melalui Samudra Hindia antara Jazirah Arab, India, dan Cina. Komoditas dari
Kerajaan Samudra Pasai yang diperdagangkan, antara lain lada, kapur barus, dan
emas. Untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar
berupa mata uang elnas yang disebut deureuham atau dirham. Kerajaan Samudra
Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie,
Perlak, dan daerah di ujung Pulau Sumatra.
Perdagangan di Samudra
Pasai berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Malik al Thahir II.
Menurut Ibnu Batutah, perdagangan di Samudra Pasai semakin ramai dan maju
karena didukung oleh armada laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman
dan nyaman berdagang di Samudra Pasai. Kemajuan dalam bidang ekonomi membawa
dampak pada kehidupan masyarakat Samudra Pasai yang makmur. Kehidupan
masyarakatnya diwarnai dengan semangat kebersamaan dan hidup saling menghormati
sesuai dengan ajaran Islam. Hubungan antara sultan dengan rakyat terjalin baik.
Sultan biasa melakukan musyawarah dan bertukar pikiran dengan para ulama.
Selain itu, sultan juga sangat hormat pada para tamu yang datang. Bahkan,
beliau sering memberikan cenderamata kepada para tamu kerajaan.
Pada abad ke- 14,
Samudra Pasai menjadi pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Malaka
berkembang menjadi kerajaan yang bercorak Islam setelah berhubungan baik dengan
Samudra Pasai, apalagi setelah terjadi pernikahan antara putra sultan dari
Pasai dengan Malaka. Dalam hikayat Patani diceritakan mengenal pengislaman Raja
Patani yang bernama Paya Tu Naqpa. Pengislaman itu dilakukan oleh seorang dari
Pasai bernama Syaikh Sa’id setelah berhasil menyembuhkan penyakit Raja Patani.
Setelah masuk Islam, Raja Patani berganti nama menjadi Sultan Ismail Syah Zilullah
Fil Alam. Putra-putra raja tersebut akhirnya mengikuti ayahnya masuk Islam.
c.
Berakhirnya Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai
dapat dikatakan sebagai awal bangkitnya kekuasaan Islam di Indonesia sebab
Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam yang penting di Indonesia. Secara
ekonomi, raja-raja Samudra Pasai berusaha mengembangkan terus kerajaannya
sebagai pusat pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Samudra Pasai berkembang
sampai abad ke-16. Munculnya Kerajaan Malaka menyebabkan Samudra Pasai
kehilangan peranannya dalam perdagangan dan penyebaran agama Islam. Selain itu,
munculnya Kerajaan Aceh menyebabkan makin mundurnya Kerajaan Samudra Pasai.
Karena semakin lemah, maka pada tahun 1522 Kerajaan Samudra Pasai diduduki
Portugis.
1. Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh sangat
terkenal dan gigih dalam melawan para penjajah. Pada awalnya, Kerajaan
Aceh Darussalam adalah daerah taklukan Kerajaan Pedir. Kerajaan Aceh Darussalam
mulai berkembang pesat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, para pedagang muslim yang pedagang di
Malaka pindah ke bandar laut Aceh Darussalam. Dengan demikian, Aceh Darussalam
segera berkembang dan mampu lepas dari Kerajaan Pedir pada tahun 1520.
a. Kehidupan Politik
Sultan pertama yang
memerintah dan sekaligus sebagai pendiri Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan
Ibrahim atau Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Aceh Darussalam berusaha
memperluas pengaruh dengan merebut daerah-daerah sekitarnya. Pada tahun 1524,
Pedir dan Samudra Pasai ditaklukkan. Setelah Sultan Ali Mughayat Syah wafat,
takhta Kerajaan Aceh Darussalam berturut-turut digantikan oleh Sultan Alaudin
Ri’ayat Syah al Kahar (1537-1571), Sultan Alaudin Mansur Syah (1571-1585),
Sultan Alaudin Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah (memerintah hingga tahun
1588), dan Sultan Alaudin Riayat Syah ibn Firman Syah. Pada masa pemerintahan
Sultan Alaudin Riayat Syah ibn Firman Syah, orang-orang Belanda dan Inggris
diterima baik sebagai mitra perdagangan lada. Setelah Sultan Alaudin Riayat
Syah ibn Firman Syah wafat, sultan yang memerintah selanjutnYa adalah Sultan
Muda yang memerintah Aceh Darussalam sampai tahun 1607. Berikutnya adalah
Sultan Iskandar Muda yang memerintah selama 29 tahun (1607-1636). Sejak Sultan
Au Mughayat Syah, Aceh Darussalam berusaha merebut Malaka. dan tangan Portugis.
Serangan Aceh Darussalam terhadap Malaka dilakukan beberapa kali.
Pada masa pemerintahan
Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar, secara perlahan Aceh Darussalam berkembang
menjadi kerajaan yang kuat. Ia mengembangkan dan memperkuat angkatan peräng.
Hubungan diplomatik dengan luar negeri mulai dijalankan, misalnya dengan negara
Islam di Timur Tengah (Turki). Hubungan ini dilakukan untuk mempererat hubungan
politik dan memajukan hubungan perdagangan. Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar
juga mengirim utusan ke Konstantinopel untuk meminta bantuan dalam usaha
melawan kekuasaan Portugis. Dengan kekuatan militer yang semakin besar, Sultan
Alaudin Riayat Syah al Kahar mulai meluaskan kekuasaannya. Beberapa kerajaan di
lingkungan Aceh satu persatu ditaklukkan, seperti Kerajaan Babat, Aru, dan
Barat.
Dengan bantuan tentara
dan peralatan perang dan Turki (1537-1568) tentara Aceh Darussalam menyerang
Johar dan Malaka. Setelah Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar wafat, para
penggantinya meneruskan usaha-usaha untuk memperkuat pengaruhnya dengan
menyerang Johar dan mengadakan hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam di
Jawa. Pada masa pemerintah Sultan Iskandar Muda, perlawanan terhadap Portugis
dimulai kembali. Aceh Darussalam berusaha menguasai kembali daerah-daerahnya
yang telah direbut Portugis. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda,
Kerajaan Aceh Darussalarn mengalami puncak Kejayaan. Pada tahun 1636, Sultan
Iskandar Muda meninggal. Takhta Kerajaan Aceh Darussalam selanjutnya digantikan
Iskandar Thani yangberkuasa pada tahun 1636-1641. Pada masa Sultan Iskandar
Thani, daerah-daerah kekuasaan yang jauh dari pemerintah pusat banyak yang
berusaha lepas dari kekuasaanya Kerajaan Aceh Darussalam.
b. Kehidupan Ekonomi
Letak Aceh Darussalam
yang strategis menyebabkan perdagangan maju pesat. Bidang perdagangan yang maju
tersebut menjadikan Aceh Darussalam makin makmur. Setelah dapat menaklukan
Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh Darussalam makin bertambah makmur. Dengan
kekayaan yang melimpah, Aceh Darussalam mampu membangun angkatan bersenjata
yang kuat. Sumber pemasukan utama Kerajaan Aceh Darussalam adalah lada dan
emas. Mata pencaharian utama penduduk Aceh Darussalam adalah bidang
perdagangan, terutama perdagangan lada dan emas. Selain berdagang, rakyat Aceh
Darussalam juga menggantungkan diri pada sektor kelautan dan pertanian.
c. Kehidupan
Sosial dan Budaya
Kebudayaan masyarakat
di Kerajaan Aceh Darussalam juga makin bertambah maju karena sering berhubungan
dengan bangsa lain. Kemajuan tersebut terbukti dengan adanya hukum adat yang
dilandasi ajaran Islam yang disebut Hukum Adat Makuta Alam. Menurut Hukum Adat
Makuta Alam, pengangkatan sultan haruslah Semufakat hukum dengan adat. Dalam
menjalankan kekuasaan, sultan mendapat pengawasan dan alim ulama, kadi, dan dewan
kehakiman. Mereka bertugas memberi peringatan kepada sultan terhadap
pelanggaran adat dan hukum yang dilakukan. Pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda muncul ahli tasawuf yang terkenal, yaitu Hamzah Fansyuri dan
muridnya Syamsudin as Sumatrani. Mereka banyak sekali menulis buku berbentuk
prosa ataupun syair.
Pada saat pemerintahan
Sultan Iskandar Thani, muncul ahli tasawuf terkenal dari Gujarat yang bernama
Nurruddin ar Raniri. Hasil kàryanya yang terkenal adalah Bustanus Salatin yang
berisi sejarah Aceh Darussalam. Ajaran Nurrudin ar Raniri bertentangan dengan
ajaran Hamzah Fansyuri dan Syamsudin as Samatrani. Hal itu menyebabkan.
perpecahan di Kerajaan Aceh Darussaiam. Pada tähun 1641, Sultan Iskandar Thani
wafat. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal, Aceh Darussalam mengalami
kemunduran di berbagai bidang.
1. Kerajaan Demak
Demak pada awalnya
merupakan sebuah kadipaten yang ada di bawah kekuasaan dari Kerajaan Majapahit.
Di saat Majapahit runtuh, maka Demak kemudian mulai memisahkan diri dari ibu
kota di Bintoro. Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam yang pertama ada di Jawa.
Kerajaan Demak mulai didirikan oleh Raden Patah. Letak kerajaan Demak ini
sangatlah strategis karena terletak antara Bergota sebagai pelabuhan dari
kerajaan Mataram Kuno dan Jepara, hal tersebut telah menempatkan Demak menjadi
kerajaan yang sangat besar pengaruhnya di Nusantara. Pendiri kerajaan Demak
ialah Raden Patah seorang putra dari Brawijaya V yang berasal dari Majapahit
dengan putri yang berasal dari Campa. Daerah kekuasaan Demak ini mencakup
Palembang, Banjar, dan Maluku serta bagian utara pada pantai Pulau Jawa.
a. Kehidupan Politik
Raja pertama yang bertakhta
di Kerajaan Demak ialah Raden Patah yang memiliki gelar yaitu Senapati Jumbung
Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Di tahun 1507, Raden
Patah akhirnya digantikan oleh seorang putranya yang bernama Pati Unus. Sebelum
dia menjadi Raja, Pati Unus sudah pernah memimpin armada laut Kerajaan Demak
untuk menyerang Portugis yang ada di Malaka. Namun, usaha Pati Unus tersebut
masih mengalami kegagalan. Berkat keberaniannya dalam menyerang Portugis yang
ada di Malaka tersebut, akhirnya Pati Unus dijuluki sebagai Pangeran Sabrang
Lor. Di tahun 1521, Pati Unus wafat dan takhtanya digantikan oleh adiknya
memiliki nama Trenggana. Di masa kekuasaan dari Sultan Trenggana, kerajaan
Demak mulai mencapai puncak kejayaannya.
Sesudah berkuasa,
kemudian Sultan Trenggana mulai meneruskan upaya dalam menahan pengaruh dari
Portugis yang tengah berusaha untuk menjalin kerja sama bersama Kerajaan Sunda
atau Pajajaran. Ketika itu, Raja Samiam yang berasal dari Kerajaan Sunda telah
memberikan izin untuk membangun kantor dagangnya di Sunda Kelapa. Oleh karena
itu, Sultan Trenggana akhirnya mengeluarkan utusan yaitu Fatahillah atau
Faletehan untuk bisa mencegah supaya Portugis tak menguasai wilayah Sunda
Kelapa dan Banten. Sunda Kelapa adalah wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda. Pada
saat itu, Portugis mendirikan benteng yang ada di Sunda Kelapa. Namun, kerajaan
Demak tak senang dengan adanya kehadiran orang-orang Portugis tersebut.
Akhirnya, Fatahillah kemudian berhasil dalam mengalahkan Portugis. Banten dan
Cirebon akhirnya dapat dikuasai oleh Fatahillah bersama pasukannya. Berkat
jasanya ini, untuk mengenang kemenangan tersebut maka Sunda Kelapa mulai
diganti menjadi Jayakarta di tanggal 22 Juni 1527. Dan itu membuat Sultan
Trenggana menjadi Raja terbesar yang ada di Demak.
Pasukan Demak mulai
terus bergerak mengarah ke pedalaman dan berhasil dalam menundukkan beberapa
wilayah yang berada di timur. Daerah-daerah yang masih memiliki corak Hindu dan
Buddha yang ada di Jawa Timur kemudian satu persatu dikalahkan yakni Wirosari
dan Tuban pada tahun 1528, Madiun pada tahun 1529, Lamongan, Blitar, Pasuruan
dan Wirosobo pada tahun 1541 sampai dengan 1542. Mataram, Madura, dan Pajang
pun jatuh dalam kekuasaan Kerajaan Demak. Untuk dapat memperkuat kedudukannya
maka Sultan Trenggana menikahkan putrinya bersama dengan Pangeran Langgar yang
menjadi Bupati Madura. Selanjutnya, Putra Bupati Pengging yaitu Tingkir juga
diambil sebagai menantu Sultan Trenggana dan diangkatlah dia menjadi Bupati di
Pajang.
Di tahun 1546, Sultan
Trenggana akhirnya wafat di medan pertempuran ketika melakukan penyerangan di
Pasuruan. Sejak wafatnya Sultan Trenggana, maka Kerajaan Demak dilanda
persengketaan dalam memperebutkan kekuasaan yang ada di kalangan keluarga
kerajaan. Pengganti Sultan Trenggana ialah Pangeran Mukmin atau Pangeran
Prawoto sebagai putra tertua dari Sultan Trenggana akan tetapi Pangeran Prawoto
kemudian dibunuh oleh Arya Penangsang yaitu Bupati Jipang. Selanjutnya, takhta
kerajaan Demak akhirnya diduduki oleh Arya Penangsang. Akan tetapi keluarga
kerajaan tidak menyetujui atas naik takhtanya Arya Penangsang menjadi raja.
Berkat bantuan dari Pangeran Hadiwijaya atau Jaka Tingkir maka keluarga
kerajaan berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Sejak saat itulah, kerajaan
demak akhrinya dipindahkan ke wilayah Pajang.
b. Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Demak sudah
menjadi salah satu bandar pelabuhan yang ada di Nusantara. Demak memiliki peran
yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian antarpulau. Demak mempunyai
peran yang penting sebab memiliki daerah pertanian yang luas dan menjadi
penghasil bahan makanan seperti beras. Selain itu, perdagangannya juga semakin
meningkat. Komoditas yang banyak diekspor yaitu lilin, madu, dan beras.
Barang-barang tersebut kemudian diekspor ke Malaka melewati Pelabuhan Jepara.
Kegiatan perdagangan maritim tersebut telah menyebabkan Kerajaan Demak memperoleh
keuntungan sangat besar. Banyak kapal yang berlalu lalang di kawasan Laut Jawa dalam
memasarkan komoditasnya tersebut.
c. Kehidupan Sosial dan Budaya
Kehidupan budaya dan
sosial masyarakat yang ada di Demak sudah teratur sesuai dengan hukum Islam
sebab pada dasarnya Demak ialah tempat berkumpulnya para Wali Sanga. Adapun
hasil kebudayaan dari kerajaan Demak yang berhubungan dengan Islam dan hingga
saat ini masih berdiri kokoh ialah Masjid Agung Demak. Masjid tersebut adalah
lambang kebesaran kerajaan Demak yang menjadi kerajaan Islam di Indonesia.
Masjid Agung Demak,
selain memiliki banyak ukiran yang menunjukkan ciri-ciri Islam juga mempunyai
keistimewaan yakni terdapat salah satu tiangnya terbuat dari kumpulan sisa-sisa
kayu bekas pada pembangunan masjid yang akhirnya disatukan. Selain Masjid
Agung Demak, Sunan Kalijaga menjadi peletak atas dasar-dasar perayaan Sekaten
yang ada di masa Kerajaan Demak. Perayaan tersebut diadakan oleh Sunan Kalijaga
dalam menarik minat masyarakat agar bersedia untuk masuk Islam. Sekaten
tersebut kemudian menjadi sebuah tradisi atau kebudayaan yang secara terus
menerus dipelihara hingga saat ini, terutama yang ada didaerah Cirebon,
Yogyakarta, dan Surakarta.
1. Kerajaan Pajang
Munculnya Kerajaan
Pajang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Jaka Tingkir atau Pangeran Hadiwijaya.
Setelah berhasil mengalahkan Arya Penangsang, Hadiwijaya memindahkan pusat
Kerajaan Demak ke Pajang.
Kerajaan Pajang berdiri
pada tahun 1568 dengan raja pertama yakni Pangeran Hadiwijaya atau Jaka
Tingkir. Sultan Hadiwijaya memerintah Kerajaan Pajang dari tahun 1568 sampai
dengan tahun 1582. Hadiwijaya adalah seorang raja yang menghargai jasa para
pengikutnya, terutama pada waktu pertempuran melawan Arya Penangsang.
Pengikut Sultan
Hadiwijaya ketika melawan Arya Penangsang, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki
Penjawi diberi hadiah oleh Hadiwijaya. Ki Ageng Pemahanan menerima hadiah tanah
di daerah Mataram. Ki Penjawi diberi hadiah berupa tanah di daerah Pati. Kedua
orang pengikut itu sekaligus diangkat sebagai bupati di daerahnya
masing-masing.
Ki Ageng Pemanahan
sebagai bupati di Mataram memiliki seorang putra bernama Sutawijaya. Sutawijaya
sangat berbakat di bidang kemiliteran sehingga dijadikan anak angkat Sultan
Hadiwijaya dan disaudarakan dengan putra mahkota, Pangeran Benawa. Pada tahun
1575, Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia. Oleh Sultan Hadiwijaya, Sutawijaya
diangkat sebagai penganti Bupati Mataram.
Sementara itu,
daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang, antara lain Pati,
Pemalang. Selarong (Banyumas), Krapyak (Kedu Selatan), Mataram (Yogyakarta),
dan beberapa daerah di Jawa Timur, seperti Tuban, Surabaya, Madium, Blitar, dan
Kediri. Bergesernya pusat pemerintahan Kerajaan Pajang dari pesisir ke
pedalaman berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian. Perhatian terhadap
pengembangan kegiatan pertanian makin meningkat. Hasil-hasil di bidang
pertanian juga makin meningkat. Hasil-hasil pertanian itu, antara lain beras,
gula, dan palawija. Dengan demikian, ciri-ciri sebagai kerajaan agraris mulai
tampak. Kegiatan pelayaran dan perdagangan juga masih berlangsung, tetapi
kurang mendapat perhatian dari penguasa.
Perpindahan pusat
pemerintahan dari pesisir ke pedalaman juga berpengaruh terhadap pola kehidupan
masyarakat. Penyebaran agama Islam berkembang ke arah pedalaman. Sistem
kehidupan feodal mulai terasa. Sultan memiliki kekuasaan dan kedudukan yang
sangat tinggi, sementara rakyat begitu patuh kepada rajanya. Berbeda dengan
kehidupan masyarakat pesisir yang lebih bebas dan dinamis, masyarakat di
pedalaman hidup dengan penuh kehati-hatian. Mereka mengutamakan kebersamaan
atau kegotongroyongan. Sikap pasrah dan tunduk kepada pemimpin menjadi ciri
masyarakat petani.
Pada tahun 1582 Sultan
Hadiwijaya meninggal dunia. Arya Panggiri yang menjadi adipati di Demak,
berusaha merebut Pajang. Putra Sultan Hadiwijaya yang bernama Pangeran Benawa dapat
disingkirkan. Selanjutnya, Arya Panggiri naik takhta Pajang untuk melanjutkan
darah keturunan Demak. Arya Panggiri ternyata kurang mendapat dukungan rakyat
Pajang, sebab ia bukan keturunan Hadiwijaya. Hal itu merupakan kesempatan bagi Pangeran
Benawa untuk merebut kembali kekuasaannya. Dengan bantuan Sutawijaya, Arya
Panggiri berhasil dikalahkan. Pada tahun 1586, Pajang diambil alih oleh
Sutawijaya dan pusat pemerintahannya dipindahkan ke Mataram.
Keberadaan Kerajaan
Pajang dapat kita lihat melalui beberapa peninggalan yang hingga saat ini masih
dapat ditemukan di daerah Pajang, yaitu sebagai berikut.
a. Masjid
Masjid Laweyan
merupakan bangunan yang didirikan oleh Joko Tingkir yang merupakan raja pertama
Kerajaan Pajang.Masjid Laweyan dibangun sekitar tahun 1546. Arsitektur masjid
ini sangat kental akan unsur tradisional Jawa, Eropa (Indisch), Cina, dan
Islam. Ruang masjid dibagi menjadi tiga, yakni ruang induk (utama) dan serambi
yang dibagi menjadi serambi kanan dan serambi kiri. Pengaruh Kerajaan Surakarta
terlihat dari berubahnya bentuk masjid menyerupai bangunan Jawa yang terdiri
atas pendopo atau bangunan utama dan serambi. Ada dua serambi, yakni kanan dan
kiri.
b. Makam
Salah satu peninggalan
sejarah Kerajaan Pakang adalah makam Ki Ageng Henis. Makam tersebut berada di
sebelah Masjid Laweyan. Ki Ageng Henis merupakan penasihat spiritual Kerajaan
Pajang. Beliau merupakan keturunan Raja Majapahit dari silsilah Raja
Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng-Ki Ageng Getas Pandawa lalu Ki Ageng Selo.
Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis menjadi raja-raja di Kraton Kasunanan dan
Mataram.
c. Batik
Keberadaan tradisi
membatik di daerah Laweyan merupakan salah satu
peninggalan kebudayaan Pajang. Pada masa awal berdirinya Kerajaan Pajang,
teknik batik dikenalkan oleh Ki Ageng Henis.
1. Kerajaan Mataram
Berdirinya
kerajaan Mataram Islam erat kaitannya dengan keberhasilan Sutawijaya dalam
mengalahkan Aria Penangsang dari Jipang. Atas jasanya tersebut, Sutawijaya
dihadiahi Hutan Mentaok oleh Sultan Hadiwijaya. Pada
awalnya, alas Mentoak tersebut dipimpin oleh Ki Ageng Pemanahan (ayahnya).
Setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal, Hutan Mentaok atau Mataram diserahkan
kepada Sutawijaya. Dalam mencapai tujuannya menjadi raja seluruh Jawa, Sutawijaya
dibantu oleh pamannya, yaitu Ki Juru Martani.
a. Kehidupan Politik
Setelah
berhasil memindahkan pusat kerajaan dari Pajang ke Mataram, Sutawijaya
dinobatkan menjadi Raja mataram. Ia bergelar Panembahan Senapati Ing Alaga
Sayidin Panatagama atau lebih dikenal sebagai Panembahan Senapati. Ia
memerintah Mataram mulai tahun 1586. Pada masa pemerintahannya, banyak terjadi
pemberontakan di pesisir pantai utara Jawa. Beberapa daerah menentang usaha
Senapati dalam memperluas wilayah kekuasaannya. Hal ini disebabkan Panembahan
Senapati melakukan perluasan kekuasaan hingga ke Surabaya, Ponorogo, Madiun,
Pasuruan, Panarukan, Blambangan, Cirebon, dan Galuh. Walaupun dengan susah
payah, Panembahan Senapati terus berusaha menundukkan bupati-bupati yang
menentangnya. Pada tahun 1595, Cirebon dan Galuh di Jawa Barat dapat dikalahkan
oleh Mataram Islam. Pada akhir masa pemerintahan Panembahan Senapati, Mataram
telah berhasil meletakkan landasan kekuasaannya mulai dari Galuh (Jawa Barat)
sampai ke Pasuruan di Jawa Timur.
Pada
tahun 1601, Panembahan Senapati meninggal. Ia digantikan oleh putranya yang
bernama Mas Jolang. Setelah diangkat menjadi raja, Mas Jolang bergelar
Panembahan Seda Ing Krapyak (1601-1613). Pada masa ini dilakukan pembangunan
Kota Gede dan Taman Panalaya, dan Kompleks Pemakaman Kota Gede. Saat berkuasa,
Mas Jolang harus menghadapi berbagai pemberontakan. Tidak semua pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan. Pada tahun 1631, Mas Jolang
wafat dan posisinya digantikan oleh putranya Mas Rangsang. Setelah menjadi
raja, Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Senapati Ing Alaga Ngabdurrahman
Kalifatullah atau lebih dikenal sebagai Sultan Agung. Pada masa pemerintahan
Sultan Agung (1631-1645), Mataram mencapai puncak kejayaan.
Mas
Rangsang adalah raja Mataram pertama yang berani
menggunakan gelar sultan. Hal itu sebagai lambang keberanian dan kebesaran
jiwanya dalam menghadapi segala rintangan untuk melanjutkan cita-cita
Panembahan Senapati. Pada masa Sultan Agung, dilakukan pembangunan kompleks makam raja-raja Mataram yang kemudian diberi nama
Imogiri selesai dibangun tahun 1632. Sultan Agung berusaha untuk menyatukan
Jawa di bawah kekuasaannya. Pada saat Sultan Agung berkuasa, para bupati di
daerah pesisir tidak mau tunduk kepada Kerajaan Mataram Islam. Mereka adalah
Bupati Pati, Lasem, Tuban, Surabaya, Madura, Blora, Madiun, dan Bojonegoro.
Kerajaan Cirebon dan Banten (di Jawa Barat) juga tidak bersedia tunduk pada
Mataram. Untuk menundukkan rintangan itu, Sultan Agung mempersiapkan sejumlah
besar pasukan, persenjataan, dan armada laut serta penggemblengan fisik dan
mental.
Mulai
tahun 1615, Sultan Agung menggempur pertahanan daerah pesisir. Satu demi satu
daerah, seperti Semarang, Jepara (1616), Demak, Lasem, Tuban (1619), dan Madura
(1624) dapat ditundukkan Mataram. Daerah pedalaman (Madiun, Ponorogo, Blora, dan Bojonegoro) pun tunduk kepada Mataram, tetapi
Surabaya belum berhasil ditundukkan. Pada tahun 1625, Surabaya akhirnya
berhasil ditundukkan oleh pasukan Mataram. Setelah Surabaya jatuh, Sultan Agung
menjadi raja seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, Cirebon, dan Blambangan. Sultan
Agung mencoba merebut Batavia dari tangan VOC (Belanda) pada tahun 1628 dan
1629. Namun, usaha Sultan Agung mengalami kegagalan karena kapal-kapal
pengangkut beras perbekalan ditenggelamkan VOC dan gudang-gudang beras Mataram
dibakar oleh mata-mata VOC. Penyerangan tersebut tidak berhasil, tetapi
dapat membendung pengaruh VOC di Jawa.
Sultan Agung
membagi sistem pemerintahan Kerajaan
Mataram seperti berikut.
1) Kutanegara, daerah
pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh Patih Lebet (Patih Dalam)
yang dibantu Wedana Lebet (Wedana Dalam).
2) Negara Agung, daerah sekitar Kutanegara. Pelaksanaan pemerintahan dipegang Patih Jawi (Patih Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).
3) Mancanegara, daerah di
luar Negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati.
4) Pesisir, daerah pesisir.
Pelaksanaan pemerintahan dipegang
oleh para Bupati atau syahbandar.
Pada
tahun 1645, Sultan Agung wafat dan kedudukannya digantikan secara
berturut-berturut oleh Amangkurat I (1646-1677), Amangkurat II (1677-1703),
Amangkurat III (1703-1705), Paku Buwana I (1705-1719), Amangkurat IV
(1719-1725), dan Paku Buwana II (1725-1749).
Setelah masa pemerintahan Paku Buwana II, Kerajaan Mataram pecah menjadi dua
wilayah kerajaan berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755). Kedua wilayah kerajaan
itu adalah Kesultanan Yogyakarta (Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat) yang
diperintah oleh Sultan Hamengku Buwana I (Pangeran Mangkubumi ) dan Kasunanan
Surakarta (Kasunanan Surakarta Hadiningrat) yang diperintah oleh Sunan Paku
Buwana III.
b. Kehidupan Ekonomi
dan Sosial
Karena
letaknya berada di pedalaman Jawa, kehidupan ekonomi Kerajaan Mataram Islam
banyak bertumpu pada sektor pertanian. Basis pertanian
itu terletak di Jawa bagian tengah dengan komoditas utama beras. Pada abad
ke-17, Mataram merupakan pengekspor beras terbesar di Nusantara. Selain
mengandalkan sektor pertanian, Mataram juga menguasai bidang perdagangan dengan
komoditas utamanya beras dan palawija. Ciri kehidupan Kerajaan Mataram adalah
sistem feodal yang didasarkan atas sistem agraris. Para pejabat dan bangsawan
keraton diberi imbalan berupa tanah lungguh sebagai sumber ekonomi.
Selanjutnya, tanah lungguh tersebut digarap oleh para penduduk yang menyerahkan
sebagian hasil pertaniannya kepada penguasa sebagai imbalan. Ikatan antara
bangsawan dan rakyat tersebut disebut sistem patron-klin.
c. Kehidupan Budaya
Berbeda
dengan kerajaan Islam lainnya yang bercorak maritin, Kerajaan Mataram Islam
lebih bercorak agraris dengan ciri feodal. Raja merupakan pemilik seluruh tanah
kerajaan beserta seluruh isinya. Sultan juga berperan sebagai panatagama atau
pengatur kehidupan agama Islam bagi masyarakatnya. Kehidupan budaya pada masa
Kerajaan Mataram berkembang pesat baik di bidang seni sastra, bangunan, lukis,
dan ukir. Pada masa kekuasaan Sultan Agung terjadi perubahan perhitungan tahun
Jawa Hindu (Saka) menjadi tahun Islam (Hijrah). Perhitungan tahun Islam
tersebut berdasarkan pada peredaran bulan dan dimulai sejak tahun 1633. Selain
itu, Sultan Agung juga menyusun karya sastra yang cukup terkenal yang disebut
kitab Sastra Gending dan menyusun kitab undang-undang baru yang merupakan
perpaduan dari hukum Islam dengan hukum adat Jawa yang disebut Hukum Surya
Alam.
1. Kerajaan Banten
Pada
awalnya Banten merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran. Daerah
Banten berhasil dikuasai dan di-Islamkan oleh Fatahilah
(panglima perang Demak). Pada tahun 1527, panglima Demak, Fatahilah berhasil
merebut Sunda Kelapa dari tangan Pajajaran. Fatahillah kemudian memerintah
Banten atas nama Demak sampai tahun 1552.
Banten segera tumbuh
menjadi pelabuhan penting di Selat Sunda setelah Malaka jatuh ke tangan
Portugis (1511). Hal itu disebabkan pedagang dari Gujarat, India, Timur Tengah,
dan Arab enggan berlabuh di Malaka setelah dikuasai Portugis.
a. Kehidupan
Politik
Kehadiran Kerajaan
Banten tidak bisa dilepaskan dari Kerajaan Demak. Namun dalam perkembangannya,
Banten berusaha melepaskan diri dari Kerajaan Demak. Rajanya yang pertama
adalah Sultan Maulana Hasanuddin (1551-1570). Di bawah pemerintahan Sultan
Maulana Hasanuddin, Banten cepat berkembang menjadi kerajaan yang besar.
Wilayahnya meluas sampai ke Lampung, Bengkulu, dan Palembang. Setelah Sultan
Maulana Hasanuddin mangkat pada tahun 1670, Banten diperintah oleh Panembahan
Yusuf (1570-1580). Pada tahun 1579, Panembahan Yusuf berhasil menaklukkan
Pakuan dan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf,
keadaan Banten aman dan tenteram karena kehidupam masyarakatnya diperhatikan.
Misalnya, Sultan melaksanakan pembangunan kota, membuat benteng, dan membangun
istana.
Bidang pertanian juga
diperhatikan dengan membangun saluran-saluran irigasi. Sultan Maulana
Yusuf mangkat pada tahun 1580. Raja Banten Selanjutnya adalah Maulana Muhammadd
(1580-1596) yang bergelar Kanjeng Ratu Banten. Maulana Muhammad gugur dalam
penyerangan ke Palembang. Pengganti Sultan Maulana Muhammad adalah putranya
yang bernama Abdul Mufakir (1596-1640) dan Abumali Ahmad Rahmatullah
(1640-1651). Pada masa pemerintahan Abdul Mufakir, armada Belanda yang dipimpin
Cornelis de Houtman tiba di Banten. Banten mengalami zaman kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Untuk memperkuat pertahanan
Banten, Sultan Ageng Tirtayasa membuat keratin di Tirtayasa, membuat jalan
darat dari Pontang ke Tirtayasa dan membuka areal persawahan di jalur tersebut,
serta membuka permukiman-permukiman baru di sebelah barat Banten, yaitu
Tangerang.
Dalam bidang
perdagangan, Sultan Ageng Tirtayasa menjalankan politik perdagangan bebas.
Melalui perdagangan bebas, pelabuhan Kerajan Banten terbuka bagi semua
pedagang, baik pedagang dari wilayah Nusantara maupun pedagang asing. Politik
perdagangan bebas yang diterapkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa sangat merugikan
perdagangan monopoli yang dilakukan oleh VOC. Akibatnya, VOC berusaha keras
menguasai Kerajaan Banten dengan cara menjalankan politik adu domba. VOC mengadu
domba Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya sendiri yang bernama Sultan Abdul
Kahar atau Sultan Haji. Melalui politik adu domba tersebut, Sultan Ageng
Tirtayasa dapat ditawan oleh VOC pada tahun 1683. Kemudian, Sultan Ageng
Tirtayasa ditawan di Batavia hingga meninggal dunia pada tahun 1692. Setelah
itu, Sultan Haji berkuasa menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji
hanya memegang kekuasaan semu karena kekuasaan Banten sudah berada dalam
genggaman VOC. Selanjutnya, Banten mengalami kemunduran karena tersisih oleh
Batavia yang berada di bawah Banten sebagai negara yang berdaulat pun
berakhir.
b. Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Banten menjadi pusat
kegiatan perdagangan dan pelayaran di Indonesia bagian barat setelah Malaka
jatuh pada tahun 1511. Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran
yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang banyak. Selain itu juga
karena didukung oleh letaknya yang strategis di sekitar Selat Sunda dan Selat
Malaka. Pelabuhan Banten saat itu merupakan pelabuhan ekspor untuk perdagangan
lada. Pedagang Persia, Gujarat, Arab, Cina, dan India setelah berlabuh di Aceh,
banyak yang meneruskan pelayarannya melalui pantai barat Sumatra menuju Banten.
Pedagang dari Kalimantan, Makassar, Nusa Tenggara, dan Maluku juga banyak yang
datang ke Banten. Dengan demikian, Banten menjadi saingan berat bagi Malaka
dalam perdagangan.
Sejak Banten menjadi
kerajaan yang bercorak Islam, kehidupan sosial masyarakat Banten juga secara
perlahan dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan Islam. Pengaruh tersebut tidak
terbatas di lingkungan ibu kota kerajaan, tetapi meluas hingga ke pedalaman.
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, kota benteng, dan istana dibangun agar
lebih tertata rapi. Bidang pertanian juga diperhatikan, misalnya dengan membangun
saluran-saluran irigasi. Dengan demikian, kehidupan sosial masyarakatnya dapat
lebih baik.
c. Kehidupan Budaya
Sebagai salah satu
pusat penyebaran agama Islam, Kerajaan Banten memiliki banyak peninggalan
budaya. Hal itu bisa dilihat dari peninggalan sejarahnya berupa Masjid Agung
Banten. Masjid ini memperlihatkan akulturasi antara kebudayaan Indonesia, Cina,
Islam, dan Eropa. Peninggaalan Kerajaan Banten yang merupakan benda dan
membangun bersejarah lainnya, yaitu Keraton Surosowan dan Keraton Kaibon.
1. Kerajaan Cirebon
Kerajaan
Cirebon didirikan oleh salah seorang anggota Walisanga, yaitu Sunan Gunung Jati
dengan gelar Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah membawa kemajuan bagi
Cirebon. Ketika Demak mengirimkan pasukannya di bawah Fatahilah (Faletehan)
untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah memberikan bantuan
sepenuhnya. Bahkan pada tahun 1524, Fatahillah diambil menantu oleh Syarif
Hidayatullah. Setelah Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa,
Syarif Hidayatullah meminta Fatahillah untuk menjadi Bupati di Jayakarta.
Syarif Hidayatullah
kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Pasarean. Inilah raja
yang menurunkan raja-raja Cirebon selanjutnya.
Pada tahun 1679,
Cirebon terpaksa dibagi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Dengan
politik de vide at impera yang dilancarkan Belanda yang pada saat itu
sudah berpengaruh di Cirebon, kasultanan Kanoman dibagi dua menjadi Kasultanan
Kanoman dan Kacirebonan. Dengan demikian, kekuasaan Cirebon terbagi menjadi 3,
yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Cirebon berhasil dikuasai VOC pada
akhir abad ke-17.
1. Kerajaan Makassar
Kerajaan Makassar
terdiri dari kerajaan, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kemudian
kerajaan bersatu di bawah pimpinan raja Goa, yaitu Daeng Manrabbia yang
bergelar Sultan Alauddin. Sedangkan raja Tallo, yaitu Kraeng Mattoaya yang
bergelar Sultan Abdullah menjadi Mangkubumi. Kedua kerajaan bersatu itu
kemudian memperoleh sebutan Kesultanan Makassar. Pusat kerajaan Makassar
terletak di Sombaopu, sebuah kota pelabuhan transito di Sulawesi Selatan yang
ramai.
Kerajaan Makassar
mencapai puncak kejayaan di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin (1653 – 1669).
Makassar memperluas kekuasaan ke seluruh Sulawesi Selatan. Kemudian dalam
rangka memantapkan posisinya sebagai pusat perdagangan, Makassar menanamkan
pengaruhnya ke Nusa Tenggara. Akibatnya, pelayaran dan perdagangan di kawasan
sekitar Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara berada di bawah kekuasaan Makassar.
Situasi itu
mengkhawatirkan VOC Belanda yang berkedudukan di Ambon. VOC memaksakan untuk
monopoli perdagangan, sehingga pecah perang besar antara VOC dengan Sultan
Hasanuddin. VOC menjalin kerja sama dengan raja Bone, yaitu Aru Palaka.
Akhirnya, VOC dapat menanamkan pengaruhnya di Makassar melalui Perjanjian
Bongaya (1667) yang isinya, antara lain:
1)
Belanda memperoleh monopoli dagang
rempah-rempah di Makassar;
2)
Belanda mendirikan benteng pertahanan di
Makassar;
3)
Makassar harus melepaskan daerah kekuasaannya
berupa daerah di luar Makassar;
4)
Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.
Meskipun sebagai pihak yang kalah, Sultan
Hasanuddin disegani oleh VOC karena keberaniannya. Ia dijuluki de Haan van de
Oosten, yang berarti “Ayam Jantan dari Timur”.
1. Kerajaan Ternate dan Tidore
Ternate merupakan
kerajaan Islam di timur yang berdiri pada abad ke-13 dengan raja Zainal Abidin
(1486-1500). Zainal Abidin adalah murid dari Sunan Giri di Kerajaan Demak.
Kerajaan Tidore berdiri di pulau lainnya dengan Sultan Mansur sebagai raja.
Kerajaan yang terletak
di Indonesia Timur menjadi incaran para pedagang karena Maluku kaya akan
rempah-rempah. Kerajaan Ternate cepat berkembang berkat hasil rempah-rempah
terutama cengkih.
Ternate dan Tidore
hidup berdampingan secara damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung
selamanya. Setelah Portugis dan Spanyol datang ke Maluku, kedua kerajaan
berhasil diadu domba. Akibatnya, antara kedua kerajaan tersebut terjadi
persaingan. Portugis yang masuk Maluku pada tahun 1512 menjadikan Ternate
sebagai sekutunya dengan membangun benteng Sao Paulo. Spanyol yang masuk Maluku
pada tahun 1521 menjadikan Tidore sebagai sekutunya.
Dengan berkuasanya
kedua bangsa Eropa itu di Tidore dan Ternate, terjadi pertikaian terus-menerus.
Hal itu terjadi karena kedua bangsa itu sama-sama ingin memonopoli hasil bumi
dari kedua kerajaan tersebut. Di lain pihak, ternyata bangsa Eropa itu bukan
hanya berdagang tetapi juga berusaha menyebarkan ajaran agama mereka. Penyebaran
agama ini mendapat tantangan dari Raja Ternate, Sultan Khairun (1550-1570).
Ketika diajak berunding oleh Belanda di benteng Sao Paulo, Sultan Khairun
dibunuh oleh Portugis.
Setelah sadar bahwa
mereka diadu domba, hubungan kedua kerajaan membaik kembali. Sultan Khairun
kemudian digantikan oleh Sultan Baabullah (1570-1583). Pada masa
pemerintahannya, Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keberhasilan itu tidak
terlepas dari bantuan Sultan Tidore. Sultan Khairun juga berhasil memperluas daerah kekuasaan
Ternate sampai ke Filipina.
Sementara itu, Kerajaan
Tidore mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Sultan
Nuku. Sultan Nuku berhasil memperluas pengaruh Tidore sampai ke Halmahera,
Seram, bahkan Kai di selatan dan Misol di Irian.
Dengan masuknya Spanyol
dan Portugis ke Maluku, kehidupan beragama
dan bermasyarakat di Maluku jadi beragam: ada Katolik, Protestan, dan Islam.
Pengaruh Islam sangat terasa di Ternate dan Tidore. Pengaruh Protestan sangat
terasa di Maluku bagian tengah dan pengaruh Katolik sangat terasa di sekitar
Maluku bagian selatan.
Maluku adalah daerah
penghasil rempah-rempah yang sangat terkenal bahkan sampai ke Eropa. Itulah
komoditi yang menarik orang-orang Eropa dan Asia datang ke Nusantara. Para
pedagang itu membawa barang-barangnya dan menukarkannya dengan rempah-rempah.
Proses perdagangan ini pada awalnya menguntungkan masyarakat setempat. Namun,
dengan berlakunya politik monopoli perdagangan, terjadi kemunduran di berbagai
bidang, termasuk kesejahteraan masyarakat.
A. PENINGGALAN SEJARAH YANG BERCORAK ISLAM DI INDONESIA
Peninggalan sejaran yang
bercorak Islam di Indonesia adalah sebagai berikut.
- Masjid, yaitu tempat peribadatan/sholat
umat.
Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk
masjid, dapat kita lihat antara lain pada beberapa masjid berikut.
1)
Masjid Banten (bangun beratap tumpang)
2)
Masjid Demak (dibangun para wali)
3)
Masjid Kudus (memiliki menara yang bangun
dasarnya serupa meru)
4)
Masjid Keraton Surakarta, Yogyakarta, Cirebon
(beratap tumpang)
5)
Masjid Agung Pondok Tinggi (beratap tumpang)
6)
Masjid tua di Kotawaringin, Kalimantan Tengah
(dibangun ulama penyebar siar pertama di Kalteng)
7)
Masjid Raya Aceh, Masjid Raya Deli (dibangun
zaman Sultan Iskandar Muda)
- Keraton, berfungsi sebagai pusat
pemerintahan dan tempat tinggal raja beserta keluarganya. Contoh,
Keraton Cirebon, Istana Raja Gowa, Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta,
dan Istana Mangkunegaran.
- Batu nisan, yaitu tanda kubur. Contoh,
batu nisan Malik as-Saleh (Lhokseumawe Aceh Utara), batu nisan Ratu
Nahrasiyah (Samudera Pasai), dan batu nisan Fatimah binti Maimun (Leran,
Gresik, Jawa Timur).
- Kaligrafi, yaitu seni menulis Arab yang
indah. Seni kaligrafi yang bernafaskan Islam merupakan rangkaian dari
ayat-ayat suci Al Quran.
- Karya Sastra, seperti Hikayat, Babad,
Syair dan Suluk.
- Seni tari/pertunjukan, misalnya seni suara
Sholawat Nabi, tari Debus, dan tari Seudati, di Aceh.
- Para pemikir Islam, seperti para sastrawan
Islam yang giat menyebarkan agama Islam yaitu:
1)
Hamzah Fansuri, seorang ahli tasawuf dari
Bagus, Aceh, giat menyebarkan agama Islam di Aceh dan sekitarnya. Hasil
karyanya, yaitu Syair Burung Pingai dan Syair Perahu.
2)
Nuruddin ar Raniri adalah seorang ulama dair
Gujarat, dan juga giat menyebarkan agama Islam di Aceh dan sekitarnya. Hasil
karyanya, yaitu Tajus Salatina dan Bustanus Salatina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar