Jumat, 01 Januari 2021

KEHIDUPAN MASYARAKAT PADA MASA ISLAM

 

Agama Islam masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai, kemudian diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran Islam. Berkaitan dengan kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya terdapat beberapa teori yang mendukungnya. Berikut ini diuraikan tentang hal tersebut.

 

1.     BUKTI KRONOLOGIS MASUKNYA ISLAM KE NUSANTARA

Indonesia adalah negara yang memiliki penganut Islam terbesar di dunia. Masuknya agama Islam ke Nusantara belum diketahui secara pasti. Namun ada beberapa pendapat tentang kapan masuknya agama Islam ke Nusantara. Pendapat tersebut didasarkan pada bukti-bukti yang telah di temukan. Berikut ini kronologi masuknya Islam ke Nusantara.

 

  1. Abad ke-7 Masehi (Abad 1 Hijriah)

Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para da’i yang datang ke Indonesia berasal dari Jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) da’wah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.

Sampainya da’wah di Indonesia melalui para pelaut atau pedagang-pedagang sambil membawa dagangannya juga membawa akhlak Islami sekaligus memperkenalkan nilai-nilai yang Islami.

Sumber sejarah yang menginformasikan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi adalah sebagai berikut :

a.     Berita Cina Zaman Dinasti Tang yang menerangkan bahwa pada tahun 674 M, orang-orang Arab telah menetap di Kanton. Groeneveldt berpendapat bahwa pada waktu yang sama kelompok orang Arab yang beragama Islam mendirikan perkampungan di pantai barat Sumatra. Perkampungan tersebut namanya Barus/Fansur.

b.     Pada waktu Sriwijaya mengembangkan kekuasaan sekitar abad ke-7 dan 8, para pedagang Muslim telah ada yang singgah di kerajaan itu sehingga diduga beberapa orang di Sumatra telah memasuki Islam.

c.     Pada tahun 674 M, Raja Ta-Shih mengirim duta ke kerajaan Holing untuk membuktikan keadilan, kejujuran, dan ketegaran Ratu Sima.

 

  1. Abad ke-11 Masehi

Berdasarkan penelitian sejarah telah ditemukan sebuah makan Islam di Leran, Gresik. Pada batu nisan dari makam tersebut tertulis nama seorang wanita, yaitu Fatimah binti Maimun. Pada makam itu terdapat prasasti huruf Arab yang berangka tahun (dimasehikan 1082). Artinya, dapat dipastikan bahwa pada akhir abad ke-11 Islam telah masuk ke Indonesia. Dengan demikian, dapat diduga bahwa Islam telah masuk dan berkembang di Indonesia sebelum tahun 1082.

 

Fatimah binti Maimun bin Hibatullah adalah seorang perempuan beragama Islam yang wafat pada hari Jumat, 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M). Batu nisannya ditulis dalam bahasa Arab dengan huruf kaligrafi bergaya Kufi, serta merupakan nisan kubur Islam tertua yang ditemukan di Nusantara. Makam tersebut berlokasi di desa Leran, Kecamatan Manyar, sekitar 5 km arah utara kota Gresik, Jawa Timur.

Temuan batu nisan tersebut merupakan salah satu data arkeologis yang berkenaan dengan keberadaan komunitas Muslim pertama di kawasan pantai utara Jawa Timur. Gaya Kufi tersebut menunjukkan di antara pendatang di kawasan pantai tersebut, terdapat orang-orang yang berasal dari Timur Tengah dan bahwa mereka juga merupakan pedagang, sebab nisan kubur dengan gaya Kufi serupa juga ditemukan di Phanrang, Champa selatan. Hubungan perdagangan Champa-Jawa Timur tersebut adalah bagian dari jalur perdagangan komunitas Muslim pantai pada abad ke-11 yang membentang di bagian selatan Cina, India, dan Timur Tengah.

Sumber tertulis tertua yang menulis legenda mengenai seorang putri dari Leran ialah Sajarah Banten, yang ditulis tahun 1662 atau 1663. Disebutkan bahwa pada masa Islamisasi Jawa, seorang bernama Putri Suwari dari Leran ditunangkan dengan raja terakhir dari Majapahit.

 

  1. Abad ke-13 Masehi

Sumber sejarah yang menyatakan agama Islam mulai masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M adalah sebagai berikut.

a.     Catatan perjalanan Marcopolo yang menerangkan bahwa ia pernah singgah di  Perlak pada tahun 1292 M dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam.

 

b.     Ditemukannya nisan makam Raja Samudra Pasai Sultan Malik Al-Saleh yang berangka tahun 1297 M.

 

c.     Berita Ibnu Batutah

Dalam perjalanannya ke Cina, Ibnu Batutah singgah di Samudra Pasai pada tahun 1345 M. Ia menceritakan bahwa Raja Samudra Pasai giat menyebarkan agama Islam.  

 

  1. Abad ke-15 Masehi

Sumber sejarah yang menyatakan agama Islam mulai masuk ke Nusantara pada abad ke-15 M adalah sebagai berikut.

a.     Catatan Ma-Huan seorang Musafir Cina Islam, memberitakan bahwa pada abad ke-15 M sebagian besar masyarakat Pantai Utara Jawa Timur telah memeluk Islam.

b.     Pemakaman muslim kuno di Troloyo dan Trowulan. Makam yang berangka tahun 1457 M membuktikan adanya bangsawan Majapahit yang sudah memeluk agama Islam pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.

c.     Makam salah seorang Walisanga di daerah Gresik. Pada batu nisannya tertulis nama Malik Ibrahim (Bangsa Persia) yang wafat pada tahun 1419 M.

d.     Suma Oriental dari Tome Pires, catatan musafir Portugal ini memberitakan mengenai penyebaran agama Islam antara tahun 1512 M sampai tahun 1515 M di Sumatra, Kalimantan, Jawa sampai Kepulauan Maluku. 


1.     GOLONGAN PEMBAWA ISLAM DI NUSANTARA

 

Sejarah mencatat, kepulauan Nusantara merupakan daerah yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Hal tersebut membuat banyak pedagang dari berbagai penjuru dunia datang ke Nusantara untuk membeli rempah-rempah yang akan dijual kembali ke daerah asal mereka. Termasuk para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat. Selain berdagang, para pedagang muslim tersebut juga berdakwah untuk mengenalkan agama Islam kepada penduduk lokal.

Adanya interaksi antara pedagang dari penjuru dunia dengan intensitas yang tinggi, memunculkan beragam teori mengenai siapakah sebenarnya yang memperkenalkan agama Islam kepada penduduk Nusantara. Adapun teori yang menjelaskan mengenai masuknya Islam ke Nusantara adalah sebagai berikut.

 

1.     Teori Gujarat

Teori yang dipelopori oleh Snouck Hurgronje ini menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Kambay (Gujarat), India. Ia berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara bukan dari Arab. Melainkan dari Gujarat/India. Hubungan langsung antara Nusantara dan Arab baru terjadi pada masa kemudian yaitu contohnya hubungan utusan dari Mataram dan Banten ke Mekah pada pertengahan abad ke-7 M. Pendapat tersebut didasarkan  pula kepada unsur-unsur Islam di Nusantara yang menunjukkan persamaannya dengan India.

Dasar dari teori ini adalah:

a.    Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.

b.    Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.

c.     Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai, yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.

 

Menurut pendapat Prof. DR. Azyumardi Azra (Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah), teori Gujarat yang dipopulerkan oleh Snouck Hurgronje tidak benar. Dia mengatakan Islam dibawa oleh pedagang yang datang dari Gujarat pada abad ke- 12 atau abad ke-13. Padahal masa itu, Gujarat dikuasai oleh kerajaan Hindu yang kerap mengusir kapal-kapal pedagang muslim yang singgah.

 

2.     Teori Persia

Teori Persia menyatakan bahwa agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Persia (sekarang Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:

a.    Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat dijunjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.

b.    Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda tanda bunyi harakat.

c.     Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.

d.    Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Di Persia terdapat suku bangsa ”Leren”.

Pendukung teori Persia adalah  P.A. Hoesein Djajadiningrat, Haji Muhammad Said, J.C. Van Leur, M. Dahlan Mansur dan Haji Abu Bakar Aceh. 

 

3.     Teori Mekkah

Teori ini adalah teori baru yang muncul untuk menyanggah bahwa Islam baru sampai di Indonesia pada abad ke-13 dan dibawa oleh orang Gujarat. Teori ini mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah (Arab) sebagai pusat agama Islam sejak abad ke-7.

Dasar teori ini adalah:

a.    Pada abad ke-7 yaitu tahun 674 M dipantai barat Sumatra sudah terdapat perkampungan Islam (Arab) dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.

b.    Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, di mana pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu di Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.

c.     Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al-Maliki yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.

Pendukung teori Mekah ini adalah Buya Hamka, Alwi Shihab, Ahmad Mansur Suryanegara, Fazlur Rahman, Crawford, Niemann, De Holander.

Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad ke-13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya Agama Islam ke Nusantara terjadi sebelumnya, yaitu abad ke-7 M dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.

 

1.     PERAN PENYEBARAN ISLAM DI NUSANTARA

1.     Masuknya Islam ke Indonesia

Masuknya agama Islam ke Indonesia dilakukan oleh pedagang dan para ulama.

a.    Peran Pedagang

Kaum pedagang memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam, baik pedagang dari luar Indonesia maupun para pedagang Indonesia. Para pedagang itu datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para pedagang. Di samping itu, bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi para pedagang. Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan.

Di antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Maka, mulailah ada penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam. Lama-kelamaan penganut agama Islam makin banyak. Bahkan kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.

Penduduk setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang, juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat Indonesia. Di samping itu para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang menikah dengan penduduk setempat sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak yang Islam.

Hal ini berlangsung terus selama bertahun-tahun sehingga akhirnya muncul sebuah komunitas Islam, yang setelah kuat akhirnya membentuk sebuah pemerintahaan Islam. Dari situlah lahir kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.

 

b.    Peran Para Ulama

Para ulama menyebarkan Islam dengan cara:

1)    Ulama keliling menyebarkan agama Islam (dengan pendekatan akulturasi dan sinkretisasi/lambang-lambang budaya).

2)    Pendidikan pesantren, melalui lembaga/sistem pendidikan pondok pesantren, kyai sebagai pemimpin, dan santri sebagai murid.

 

Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisanga (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik takhta. Mereka juga adalah penasihat sultan.

Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut.

a)    Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), merupakan wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Beliau dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.

b)    Sunan Ampel (Raden Rahmat), menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.

c)     Sunan Derajad (Syarifudin), merupakan anak dari Sunan Ampel. Beliau menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Beliau seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.

d)    Sunan Bonang (Makdum Ibrahim), anak dari Sunan Ampel. Beliau menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Beliau merupakan sunan yang sangat bijaksana.

e)    Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.

f)      Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.

g)    Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.

h)    Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.

i)      Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.

 

Penyebaran agama Islam di Jawa selain dilakukan oleh Walisanga juga dilakukan oleh para ulama, seperti Syekh Siti Jenar (Demak), Sunan Tembayat (Klaten), Syekh Yusuf (Banten), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Panggung (Tegal), dan Syekh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Di Minangkabau terdapat ulama Syekh Burhanuddin, di Aceh Syekh Abdurrauf Al Fanhury.

Islam selain berkembang pesat di Pulau Jawa juga berkembang di  pulau lainnya di Indonesia. Dakwah Islam itu juga dilakukan oleh beberapa ulama besar, seperti; Datori Bandang (Gowa, Makassar), Dato Sulaiman (Sulawesi Tengah dan Utara), Tuan Tunggang ri Parangan (Kalimantan Timur) dan Penghulu Demak (Banjarmasin dan Kalimantan Selatan).

 

2.     Saluran Masuknya Islam di Indonesia

Masuknya Islam di Indonesia melalui saluran berikut ini.

a.    Perdagangan

Proses masuknya Islam pada awalnya adalah melalui perdagangan. Kesibukan lalu-lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 membuat pedagang-pedagang Muslim Arab, Persia dan India turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara, dan timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mereka berhasil mendirikan masjid dan mendatangkan ulama-ulama dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak. Di beberapa tempat penguasa-penguasa Jawa yang menjabat sebagai Bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan karena hanya faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi karena faktor hubungan ekonomi drengan pedagang-pedagang muslim.

b.    Pendidikan

Jalur ini dilakukan melalui pendirian pondok-pondok pesantren. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing atau berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan Agama Islam.

c.     Pernikahan

Masuknya Islam ke Indonesia antara lain melalui pernikahan antara penduduk pribumi dengan pedagang muslim. Dari perkawinan tersebut melahirkan generasi muslim.

d.    Politik

Pengaruh kekuasaan raja sangat besar dalam proses penyebaran agama Islam. Seorang raja yang sudah memeluk agama Islam, biasanya akan diikuti oleh rakyatnya.

e.    Kesenian

Perintis penyebaran agama Islam melalui kesenian adalah Sunan Kalijaga, antara lain melalui seni gamelan dan wayang. Beliau tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam cerita itu disisipkan ajaran nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lainnya juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.

f.      Tasawuf

Tasawuf adalah cara untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Para ahli tasawuf yang disebut sufi hidup mengembara. Dalam gaya hidup yang sederhana, mereka berusaha untuk menghayati penderitaan hidup masyarakatnya. Mereka memperkenalkan agama Islam dari satu daerah ke daerah yang lain.

Para sufi memiliki keahlian yang dapat membantu kehidupan masyarakat misalnya ahli dalam menyembuhkan penyakit. Selain menguasai pengetahuan agama yang mendalam, para sufi juga menguasai hal-hal yang bersifat mistik. Pengetahuan mereka tentang mistik inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia yang masih menganut kebudayaan Hindu-Buddha tertarik. Jadi penyebaran agama Islam yang dilakukan para sufi, telah disesuaikan dengan budaya yang berkembang pada masa itu. Ahli-ahli tasawuf itu antara lain Hamzah Fansuri dari Aceh dan Sunan Panggung dari Jawa Tengah.

.

3.     Faktor Pendukung Islam Cepat Berkembang di Indonesia

Faktor pendukung agama Islam cepat berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut.

a.    Syarat masuk Islam sangat mudah, yaitu cukup mengucapkan kalimat Syahadat.

b.    Ajarannya sederhana dan mudah dimengerti.

c.     Agama Islam tidak mengenal kasta.

d.    Disebarkan secara damai tanpa paksaan dan kekerasan.

e.    Upacara-upacara keagamaannya sederhana.

f.      Faktor politik yang turut memperlancar penyebaran agama Islam di Indonesia adalah runtuhnya Kerajaan Majapahit (1478) sebagai kerajaan Hindu dan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis 1511.

 

1.     KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

Kerajaan-kerajaan Islam yang muncul di wilayah Indonesia seperti berikut ini.

 

1.     Kerajaan Perlak

 

Perlak adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia, dengan masa pemerintahan cukup panjang. Kerajaan Perlak yang berlokasi di Aceh Timur, daerah Perlak di Aceh sekarang. Perlak disebut sebagai kerajaan Islam pertama (tertua) di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Kesimpulan dari Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980, di Rantau Kualasimpang itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy.

Keberadaan Kesultanan Perlak juga dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan sejarah, seperti mata uang Perlak, stempel kesultanan, dan makam raja-raja Benoa. Di samping itu, disebutkan bahwa raja terakhir yang memerintah Perlak adalah Sultan Makhdum Alaudin Malik Abdul Aziz Syah Johan.

Kerajaan yang berdiri pada tahun 840 ini berakhir pada tahun 1292 karena bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai. Sejak berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan Samudra Pasai, terdapat 19 orang raja yang memerintah. Raja yang pertama ialah Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225 – 249 H / 840 – 964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul Aziz pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah.

Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).

Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan menikahkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura sekarang). Pernikahan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian bergelar Sultan Muhammad Syah.

Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.

Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan.

 

1.     Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan Samudera Pasai berdiri sekitar abad ke-13 M. kerajaan ini terletak di sekitar Lhokseumawe, Provinsi Naggroe Aceh Darussalam.

Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Malik as-Saleh (1290 – 1297). Sebelum menganut agama Islam bernama Meurah Silu, putera Meurah Gajah, bangsawan dari Persia. Kerajaan Samudera Pasai pernah dikunjungi Marcopolo, seorang saudagar Venesia (Italia).

Pada tahun 1297 Malik as-Saleh meninggal dan digantikan oleh putranya yakni Sultan Muhammad Malik at-Thahir (1297 – 1326). Sultan Malik at-Thahir kemudian digantikan oleh Sultan Mahmud Malik as-Zahir sebagai raja ke-3 (1326 – 1345). Semasa pemerintahannya, seorang musafir dari Maroko yang bernama Ibnu Battuta singgah di Samudera Pasai, dalam perjalannnya dari Delhi ke Cina. Ibnu Battuta menceritakan bahwa Sultan sangat baik terhadap ulama dan rakyatnya. Samudera Pasai adalah kerajaan dagang yang maju, kerajaannnya makmur. Raja terakhir Samudera Pasai adalah Zainal Abidin (1523 – 1524). Selanjutnya Samudera Pasai berada di bawah kekuasaan Aceh.

Berikut ini gambaran tentang kehidupan masyarkat di Kerjaan Samudra Pasai.

a.   Kehidupan Politik

Menurut Marco Polo, raja pertama Kerajaan Samudra Pasai adalah Marah Silu atau Sultan Malik al Saleh (1285—1297). Raja berikutnya berturut-turut adalah Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al Thahir 1(1297-1326), Sultan Ahmad yang bergelar Sultan Malik al Thahir 1I(1346-1383), Sultan Zain al Abidin Malik az Zahir (1383-1405), Sultanah Nahrisyah (1405—1412), Abu Zaid Malik az Zahir (1412), dan Mahmud Malik az Zahir (1513-1524). Catatan mengenai Kerajaan Samudra Pasai banyak berasal dari Ibnu Batutah yang pernah datang berkunjung pada tahun 1345. Ia memberitakan bahwa Samudra Pasai telah menjalin komunikasi dan hubungan diplomasi dengan Kerajaan Delhi. Rajanya sangat dihormati rakyat dan menjadi pemimpin agama dengan dibantu seorang patih yang bergelar Amir.

Pada masa pemerintahan Sultan Malik al Saleh, Samudra Pasai telah mempunyai hubungan diplomatik dengan Cina. Hal itu diberitakan dalam sejarah Dinasi Yuan dan Cina. Berita itu menyatakan bahwa pada tahun 1282 seorang utusan Cina bertemu dengan salah seorang menteri dari kerajaan Sumatra. Mereka sepakat agar raja Samudra mengirimkan dutanya ke Cina. Hubungan luar negeri lainnya adalah dengan negara di Timur Tengah. Menurut berita Ibnu Batutah yang berkunjung ke Samudra Pasai pada masa Sultan Malik al Thahir II (1346-1383), menyatakan bahwa terdapat beberapa ahli agama datang ke Samudra Pasai, di antaranya Qadi Sharif Amir Sayyid dari Persi (Iran) dan Taj al Din dari Istahan. Adapun hubungan perdagangan dilakukan dengan banyak negara, antara lain Turki, Iran, Gujarat, Arab, Melayu, Jawa, dan Siam.

 

b.   Kehidupan Ekonomi dan Sosial

Kehidupan ekonomi Kerajaan Samudra Pasai banyak dipengaruhi oleh, aktivitas perdagangan karena letaknya yang strategis. Posisi geografis Samudra Pasai sangat strategis karena berbatasan dengan Selat Malaka dan berada pada jalur perdagangan internasional melalui Samudra Hindia antara Jazirah Arab, India, dan Cina. Komoditas dari Kerajaan Samudra Pasai yang diperdagangkan, antara lain lada, kapur barus, dan emas. Untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar berupa mata uang elnas yang disebut deureuham atau dirham. Kerajaan Samudra Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan daerah di ujung Pulau Sumatra.

Perdagangan di Samudra Pasai berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Malik al Thahir II. Menurut Ibnu Batutah, perdagangan di Samudra Pasai semakin ramai dan maju karena didukung oleh armada laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman dan nyaman berdagang di Samudra Pasai. Kemajuan dalam bidang ekonomi membawa dampak pada kehidupan masyarakat Samudra Pasai yang makmur. Kehidupan masyarakatnya diwarnai dengan semangat kebersamaan dan hidup saling menghormati sesuai dengan ajaran Islam. Hubungan antara sultan dengan rakyat terjalin baik. Sultan biasa melakukan musyawarah dan bertukar pikiran dengan para ulama. Selain itu, sultan juga sangat hormat pada para tamu yang datang. Bahkan, beliau sering memberikan cenderamata kepada para tamu kerajaan.

Pada abad ke- 14, Samudra Pasai menjadi pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Malaka berkembang menjadi kerajaan yang bercorak Islam setelah berhubungan baik dengan Samudra Pasai, apalagi setelah terjadi pernikahan antara putra sultan dari Pasai dengan Malaka. Dalam hikayat Patani diceritakan mengenal pengislaman Raja Patani yang bernama Paya Tu Naqpa. Pengislaman itu dilakukan oleh seorang dari Pasai bernama Syaikh Sa’id setelah berhasil menyembuhkan penyakit Raja Patani. Setelah masuk Islam, Raja Patani berganti nama menjadi Sultan Ismail Syah Zilullah Fil Alam. Putra-putra raja tersebut akhirnya mengikuti ayahnya masuk Islam.

 

c. Berakhirnya Kerajaan Samudra Pasai 

Kerajaan Samudra Pasai dapat dikatakan sebagai awal bangkitnya kekuasaan Islam di Indonesia sebab Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam yang penting di Indonesia. Secara ekonomi, raja-raja Samudra Pasai berusaha mengembangkan terus kerajaannya sebagai pusat pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Samudra Pasai berkembang sampai abad ke-16. Munculnya Kerajaan Malaka menyebabkan Samudra Pasai kehilangan peranannya dalam perdagangan dan penyebaran agama Islam. Selain itu, munculnya Kerajaan Aceh menyebabkan makin mundurnya Kerajaan Samudra Pasai. Karena semakin lemah, maka pada tahun 1522 Kerajaan Samudra Pasai diduduki Portugis. 

 

 

1.     Kerajaan Aceh

 

Kerajaan Aceh sangat terkenal dan gigih dalam melawan para penjajah. Pada awalnya, Kerajaan Aceh Darussalam adalah daerah taklukan Kerajaan Pedir. Kerajaan Aceh Darussalam mulai berkembang pesat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, para pedagang muslim yang pedagang di Malaka pindah ke bandar laut Aceh Darussalam. Dengan demikian, Aceh Darussalam segera berkembang dan mampu lepas dari Kerajaan Pedir pada tahun 1520.

a.   Kehidupan Politik

Sultan pertama yang memerintah dan sekaligus sebagai pendiri Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ibrahim atau Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Aceh Darussalam berusaha memperluas pengaruh dengan merebut daerah-daerah sekitarnya. Pada tahun 1524, Pedir dan Samudra Pasai ditaklukkan. Setelah Sultan Ali Mughayat Syah wafat, takhta Kerajaan Aceh Darussalam berturut-turut digantikan oleh Sultan Alaudin Ri’ayat Syah al Kahar (1537-1571), Sultan Alaudin Mansur Syah (1571-1585), Sultan Alaudin Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah (memerintah hingga tahun 1588), dan Sultan Alaudin Riayat Syah ibn Firman Syah. Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah ibn Firman Syah, orang-orang Belanda dan Inggris diterima baik sebagai mitra perdagangan lada. Setelah Sultan Alaudin Riayat Syah ibn Firman Syah wafat, sultan yang memerintah selanjutnYa adalah Sultan Muda yang memerintah Aceh Darussalam sampai tahun 1607. Berikutnya adalah Sultan Iskandar Muda yang memerintah selama 29 tahun (1607-1636). Sejak Sultan Au Mughayat Syah, Aceh Darussalam berusaha merebut Malaka. dan tangan Portugis. Serangan Aceh Darussalam terhadap Malaka dilakukan beberapa kali. 

Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar, secara perlahan Aceh Darussalam berkembang menjadi kerajaan yang kuat. Ia mengembangkan dan memperkuat angkatan peräng. Hubungan diplomatik dengan luar negeri mulai dijalankan, misalnya dengan negara Islam di Timur Tengah (Turki). Hubungan ini dilakukan untuk mempererat hubungan politik dan memajukan hubungan perdagangan. Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar juga mengirim utusan ke Konstantinopel untuk meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan Portugis. Dengan kekuatan militer yang semakin besar, Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar mulai meluaskan kekuasaannya. Beberapa kerajaan di lingkungan Aceh satu persatu ditaklukkan, seperti Kerajaan Babat, Aru, dan Barat. 

Dengan bantuan tentara dan peralatan perang dan Turki (1537-1568) tentara Aceh Darussalam menyerang Johar dan Malaka. Setelah Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar wafat, para penggantinya meneruskan usaha-usaha untuk memperkuat pengaruhnya dengan menyerang Johar dan mengadakan hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam di Jawa. Pada masa pemerintah Sultan Iskandar Muda, perlawanan terhadap Portugis dimulai kembali. Aceh Darussalam berusaha menguasai kembali daerah-daerahnya yang telah direbut Portugis. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh Darussalarn mengalami puncak Kejayaan. Pada tahun 1636, Sultan Iskandar Muda meninggal. Takhta Kerajaan Aceh Darussalam selanjutnya digantikan Iskandar Thani yangberkuasa pada tahun 1636-1641. Pada masa Sultan Iskandar Thani, daerah-daerah kekuasaan yang jauh dari pemerintah pusat banyak yang berusaha lepas dari kekuasaanya Kerajaan Aceh Darussalam. 

 

b.   Kehidupan Ekonomi

Letak Aceh Darussalam yang strategis menyebabkan perdagangan maju pesat. Bidang perdagangan yang maju tersebut menjadikan Aceh Darussalam makin makmur. Setelah dapat menaklukan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh Darussalam makin bertambah makmur. Dengan kekayaan yang melimpah, Aceh Darussalam mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat. Sumber pemasukan utama Kerajaan Aceh Darussalam adalah lada dan emas. Mata pencaharian utama penduduk Aceh Darussalam adalah bidang perdagangan, terutama perdagangan lada dan emas. Selain berdagang, rakyat Aceh Darussalam juga menggantungkan diri pada sektor kelautan dan pertanian. 

 

c. Kehidupan Sosial dan Budaya

Kebudayaan masyarakat di Kerajaan Aceh Darussalam juga makin bertambah maju karena sering berhubungan dengan bangsa lain. Kemajuan tersebut terbukti dengan adanya hukum adat yang dilandasi ajaran Islam yang disebut Hukum Adat Makuta Alam. Menurut Hukum Adat Makuta Alam, pengangkatan sultan haruslah Semufakat hukum dengan adat. Dalam menjalankan kekuasaan, sultan mendapat pengawasan dan alim ulama, kadi, dan dewan kehakiman. Mereka bertugas memberi peringatan kepada sultan terhadap pelanggaran adat dan hukum yang dilakukan. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda muncul ahli tasawuf yang terkenal, yaitu Hamzah Fansyuri dan muridnya Syamsudin as Sumatrani. Mereka banyak sekali menulis buku berbentuk prosa ataupun syair. 

Pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Thani, muncul ahli tasawuf terkenal dari Gujarat yang bernama Nurruddin ar Raniri. Hasil kàryanya yang terkenal adalah Bustanus Salatin yang berisi sejarah Aceh Darussalam. Ajaran Nurrudin ar Raniri bertentangan dengan ajaran Hamzah Fansyuri dan Syamsudin as Samatrani. Hal itu menyebabkan. perpecahan di Kerajaan Aceh Darussaiam. Pada tähun 1641, Sultan Iskandar Thani wafat. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal, Aceh Darussalam mengalami kemunduran di berbagai bidang.

 

1.     Kerajaan Demak

 

Demak pada awalnya merupakan sebuah kadipaten yang ada di bawah kekuasaan dari Kerajaan Majapahit. Di saat Majapahit runtuh, maka Demak kemudian mulai memisahkan diri dari ibu kota di Bintoro. Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam yang pertama ada di Jawa. Kerajaan Demak mulai didirikan oleh Raden Patah. Letak kerajaan Demak ini sangatlah strategis karena terletak antara Bergota sebagai pelabuhan dari kerajaan Mataram Kuno dan Jepara, hal tersebut telah menempatkan Demak menjadi kerajaan yang sangat besar pengaruhnya di Nusantara. Pendiri kerajaan Demak ialah Raden Patah seorang putra dari Brawijaya V yang berasal dari Majapahit dengan putri yang berasal dari Campa. Daerah kekuasaan Demak ini mencakup Palembang, Banjar, dan Maluku serta bagian utara pada pantai Pulau Jawa.

 

a.   Kehidupan Politik

Raja pertama yang bertakhta di Kerajaan Demak ialah Raden Patah yang memiliki gelar yaitu Senapati Jumbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Di tahun 1507, Raden Patah akhirnya digantikan oleh seorang putranya yang bernama Pati Unus. Sebelum dia menjadi Raja, Pati Unus sudah pernah memimpin armada laut Kerajaan Demak untuk menyerang Portugis yang ada di Malaka. Namun, usaha Pati Unus tersebut masih mengalami kegagalan. Berkat keberaniannya dalam menyerang Portugis yang ada di Malaka tersebut, akhirnya Pati Unus dijuluki sebagai Pangeran Sabrang Lor. Di tahun 1521, Pati Unus wafat dan takhtanya digantikan oleh adiknya memiliki nama Trenggana. Di masa kekuasaan dari Sultan Trenggana, kerajaan Demak mulai mencapai puncak kejayaannya.

Sesudah berkuasa, kemudian Sultan Trenggana mulai meneruskan upaya dalam menahan pengaruh dari Portugis yang tengah berusaha untuk menjalin kerja sama bersama Kerajaan Sunda atau Pajajaran. Ketika itu, Raja Samiam yang berasal dari Kerajaan Sunda telah memberikan izin untuk membangun kantor dagangnya di Sunda Kelapa. Oleh karena itu, Sultan Trenggana akhirnya mengeluarkan utusan yaitu Fatahillah atau Faletehan untuk bisa mencegah supaya Portugis tak menguasai wilayah Sunda Kelapa dan Banten. Sunda Kelapa adalah wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda. Pada saat itu, Portugis mendirikan benteng yang ada di Sunda Kelapa. Namun, kerajaan Demak tak senang dengan adanya kehadiran orang-orang Portugis tersebut. Akhirnya, Fatahillah kemudian berhasil dalam mengalahkan Portugis. Banten dan Cirebon akhirnya dapat dikuasai oleh Fatahillah bersama pasukannya. Berkat jasanya ini, untuk mengenang kemenangan tersebut maka Sunda Kelapa mulai diganti menjadi Jayakarta di tanggal 22 Juni 1527. Dan itu membuat Sultan Trenggana menjadi Raja terbesar yang ada di Demak.

Pasukan Demak mulai terus bergerak mengarah ke pedalaman dan berhasil dalam menundukkan beberapa wilayah yang berada di timur. Daerah-daerah yang masih memiliki corak Hindu dan Buddha yang ada di Jawa Timur kemudian satu persatu dikalahkan yakni Wirosari dan Tuban pada tahun 1528, Madiun pada tahun 1529, Lamongan, Blitar, Pasuruan dan Wirosobo pada tahun 1541 sampai dengan 1542. Mataram, Madura, dan Pajang pun jatuh dalam kekuasaan Kerajaan Demak. Untuk dapat memperkuat kedudukannya maka Sultan Trenggana menikahkan putrinya bersama dengan Pangeran Langgar yang menjadi Bupati Madura. Selanjutnya, Putra Bupati Pengging yaitu Tingkir juga diambil sebagai menantu Sultan Trenggana dan diangkatlah dia menjadi Bupati di Pajang.

Di tahun 1546, Sultan Trenggana akhirnya wafat di medan pertempuran ketika melakukan penyerangan di Pasuruan. Sejak wafatnya Sultan Trenggana, maka Kerajaan Demak dilanda persengketaan dalam memperebutkan kekuasaan yang ada di kalangan keluarga kerajaan. Pengganti Sultan Trenggana ialah Pangeran Mukmin atau Pangeran Prawoto sebagai putra tertua dari Sultan Trenggana akan tetapi Pangeran Prawoto kemudian dibunuh oleh Arya Penangsang yaitu Bupati Jipang. Selanjutnya, takhta kerajaan Demak akhirnya diduduki oleh Arya Penangsang. Akan tetapi keluarga kerajaan tidak menyetujui atas naik takhtanya Arya Penangsang menjadi raja. Berkat bantuan dari Pangeran Hadiwijaya atau Jaka Tingkir maka keluarga kerajaan berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Sejak saat itulah, kerajaan demak akhrinya dipindahkan ke wilayah Pajang.

 

b.   Kehidupan Ekonomi

Kerajaan Demak sudah menjadi salah satu bandar pelabuhan yang ada di Nusantara. Demak memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian antarpulau. Demak mempunyai peran yang penting sebab memiliki daerah pertanian yang luas dan menjadi penghasil bahan makanan seperti beras. Selain itu, perdagangannya juga semakin meningkat. Komoditas yang banyak diekspor yaitu lilin, madu, dan beras. Barang-barang tersebut kemudian diekspor ke Malaka melewati Pelabuhan Jepara. Kegiatan perdagangan maritim tersebut telah menyebabkan Kerajaan Demak memperoleh keuntungan sangat besar. Banyak kapal yang berlalu lalang di kawasan Laut Jawa dalam memasarkan komoditasnya tersebut.

c.   Kehidupan Sosial dan Budaya

Kehidupan budaya dan sosial masyarakat yang ada di Demak sudah teratur sesuai dengan hukum Islam sebab pada dasarnya Demak ialah tempat berkumpulnya para Wali Sanga. Adapun hasil kebudayaan dari kerajaan Demak yang berhubungan dengan Islam dan hingga saat ini masih berdiri kokoh ialah Masjid Agung Demak. Masjid tersebut adalah lambang kebesaran kerajaan Demak yang menjadi kerajaan Islam di Indonesia.

Masjid Agung Demak, selain memiliki banyak ukiran yang menunjukkan ciri-ciri Islam juga mempunyai keistimewaan yakni terdapat salah satu tiangnya terbuat dari kumpulan sisa-sisa kayu bekas pada pembangunan masjid yang akhirnya disatukan. Selain  Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga menjadi peletak atas dasar-dasar perayaan Sekaten yang ada di masa Kerajaan Demak. Perayaan tersebut diadakan oleh Sunan Kalijaga dalam menarik minat masyarakat agar bersedia untuk masuk Islam. Sekaten tersebut kemudian menjadi sebuah tradisi atau kebudayaan yang secara terus menerus dipelihara hingga saat ini, terutama yang ada didaerah Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta.

 

 

1.     Kerajaan Pajang

 

Munculnya Kerajaan Pajang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Jaka Tingkir atau Pangeran Hadiwijaya. Setelah berhasil mengalahkan Arya Penangsang, Hadiwijaya memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang.

Kerajaan Pajang berdiri pada tahun 1568 dengan raja pertama yakni Pangeran Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Sultan Hadiwijaya memerintah Kerajaan Pajang dari tahun 1568 sampai dengan tahun 1582. Hadiwijaya adalah seorang raja yang menghargai jasa para pengikutnya, terutama pada waktu pertempuran melawan Arya Penangsang. 

Pengikut Sultan Hadiwijaya ketika melawan Arya Penangsang, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi diberi hadiah oleh Hadiwijaya. Ki Ageng Pemahanan menerima hadiah tanah di daerah Mataram. Ki Penjawi diberi hadiah berupa tanah di daerah Pati. Kedua orang pengikut itu sekaligus diangkat sebagai bupati di daerahnya masing-masing.

Ki Ageng Pemanahan sebagai bupati di Mataram memiliki seorang putra bernama Sutawijaya. Sutawijaya sangat berbakat di bidang kemiliteran sehingga dijadikan anak angkat Sultan Hadiwijaya dan disaudarakan dengan putra mahkota, Pangeran Benawa. Pada tahun 1575, Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia. Oleh Sultan Hadiwijaya, Sutawijaya diangkat sebagai penganti Bupati Mataram. 

Sementara itu, daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang, antara lain Pati, Pemalang. Selarong (Banyumas), Krapyak (Kedu Selatan), Mataram (Yogyakarta), dan beberapa daerah di Jawa Timur, seperti Tuban, Surabaya, Madium, Blitar, dan Kediri. Bergesernya pusat pemerintahan Kerajaan Pajang dari pesisir ke pedalaman berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian. Perhatian terhadap pengembangan kegiatan pertanian makin meningkat. Hasil-hasil di bidang pertanian juga makin meningkat. Hasil-hasil pertanian itu, antara lain beras, gula, dan palawija. Dengan demikian, ciri-ciri sebagai kerajaan agraris mulai tampak. Kegiatan pelayaran dan perdagangan juga masih berlangsung, tetapi kurang mendapat perhatian dari penguasa. 

 

Perpindahan pusat pemerintahan dari pesisir ke pedalaman juga berpengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat. Penyebaran agama Islam berkembang ke arah pedalaman. Sistem kehidupan feodal mulai terasa. Sultan memiliki kekuasaan dan kedudukan yang sangat tinggi, sementara rakyat begitu patuh kepada rajanya. Berbeda dengan kehidupan masyarakat pesisir yang lebih bebas dan dinamis, masyarakat di pedalaman hidup dengan penuh kehati-hatian. Mereka mengutamakan kebersamaan atau kegotongroyongan. Sikap pasrah dan tunduk kepada pemimpin menjadi ciri masyarakat petani. 

Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Arya Panggiri yang menjadi adipati di Demak, berusaha merebut Pajang. Putra Sultan Hadiwijaya yang bernama Pangeran Benawa dapat disingkirkan. Selanjutnya, Arya Panggiri naik takhta Pajang untuk melanjutkan darah keturunan Demak. Arya Panggiri ternyata kurang mendapat dukungan rakyat Pajang, sebab ia bukan keturunan Hadiwijaya. Hal itu merupakan kesempatan bagi Pangeran Benawa untuk merebut kembali kekuasaannya. Dengan bantuan Sutawijaya, Arya Panggiri berhasil dikalahkan. Pada tahun 1586, Pajang diambil alih oleh Sutawijaya dan pusat pemerintahannya dipindahkan ke Mataram.

 

Keberadaan Kerajaan Pajang dapat kita lihat melalui beberapa peninggalan yang hingga saat ini masih dapat ditemukan di daerah Pajang, yaitu sebagai berikut.

a.   Masjid

Masjid Laweyan merupakan bangunan yang didirikan oleh Joko Tingkir yang merupakan raja pertama Kerajaan Pajang.Masjid Laweyan dibangun sekitar tahun 1546. Arsitektur masjid ini sangat kental akan unsur tradisional Jawa, Eropa (Indisch), Cina, dan Islam. Ruang masjid dibagi menjadi tiga, yakni ruang induk (utama) dan serambi yang dibagi menjadi serambi kanan dan serambi kiri. Pengaruh Kerajaan Surakarta terlihat dari berubahnya bentuk masjid menyerupai bangunan Jawa yang terdiri atas pendopo atau bangunan utama dan serambi. Ada dua serambi, yakni kanan dan kiri.

b.   Makam

Salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Pakang adalah makam Ki Ageng Henis. Makam tersebut berada di sebelah Masjid Laweyan. Ki Ageng Henis merupakan penasihat spiritual Kerajaan Pajang. Beliau merupakan keturunan Raja Majapahit dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng-Ki Ageng Getas Pandawa lalu Ki Ageng Selo. Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis menjadi raja-raja di Kraton Kasunanan dan Mataram.

c.   Batik

Keberadaan tradisi membatik di daerah Laweyan merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Pajang. Pada masa awal berdirinya Kerajaan Pajang, teknik batik dikenalkan oleh Ki Ageng Henis.

 

 

1.     Kerajaan Mataram

 

 

Berdirinya kerajaan Mataram Islam erat kaitannya dengan keberhasilan Sutawijaya dalam mengalahkan Aria Penangsang dari Jipang. Atas jasanya tersebut, Sutawijaya dihadiahi Hutan Mentaok oleh Sultan Hadiwijaya. Pada awalnya, alas Mentoak tersebut dipimpin oleh Ki Ageng Pemanahan (ayahnya). Setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal, Hutan Mentaok atau Mataram diserahkan kepada Sutawijaya. Dalam mencapai tujuannya menjadi raja seluruh Jawa, Sutawijaya dibantu oleh pamannya, yaitu Ki Juru Martani. 

 

a.   Kehidupan Politik

Setelah berhasil memindahkan pusat kerajaan dari Pajang ke Mataram, Sutawijaya dinobatkan menjadi Raja mataram. Ia bergelar Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama atau lebih dikenal sebagai Panembahan Senapati. Ia memerintah Mataram mulai tahun 1586. Pada masa pemerintahannya, banyak terjadi pemberontakan di pesisir pantai utara Jawa. Beberapa daerah menentang usaha Senapati dalam memperluas wilayah kekuasaannya. Hal ini disebabkan Panembahan Senapati melakukan perluasan kekuasaan hingga ke Surabaya, Ponorogo, Madiun, Pasuruan, Panarukan, Blambangan, Cirebon, dan Galuh. Walaupun dengan susah payah, Panembahan Senapati terus berusaha menundukkan bupati-bupati yang menentangnya. Pada tahun 1595, Cirebon dan Galuh di Jawa Barat dapat dikalahkan oleh Mataram Islam. Pada akhir masa pemerintahan Panembahan Senapati, Mataram telah berhasil meletakkan landasan kekuasaannya mulai dari Galuh (Jawa Barat) sampai ke Pasuruan di Jawa Timur.

Pada tahun 1601, Panembahan Senapati meninggal. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Mas Jolang. Setelah diangkat menjadi raja, Mas Jolang bergelar Panembahan Seda Ing Krapyak (1601-1613). Pada masa ini dilakukan pembangunan Kota Gede dan Taman Panalaya, dan Kompleks Pemakaman Kota Gede. Saat berkuasa, Mas Jolang harus menghadapi berbagai pemberontakan. Tidak semua pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan. Pada tahun 1631, Mas Jolang wafat dan posisinya digantikan oleh putranya Mas Rangsang. Setelah menjadi raja, Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Senapati Ing Alaga Ngabdurrahman Kalifatullah atau lebih dikenal sebagai Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1631-1645), Mataram mencapai puncak kejayaan.

Mas Rangsang adalah raja Mataram pertama yang berani menggunakan gelar sultan. Hal itu sebagai lambang keberanian dan kebesaran jiwanya dalam menghadapi segala rintangan untuk melanjutkan cita-cita Panembahan Senapati. Pada masa Sultan Agung, dilakukan pembangunan kompleks makam raja-raja Mataram yang kemudian diberi nama Imogiri selesai dibangun tahun 1632. Sultan Agung berusaha untuk menyatukan Jawa di bawah kekuasaannya. Pada saat Sultan Agung berkuasa, para bupati di daerah pesisir tidak mau tunduk kepada Kerajaan Mataram Islam. Mereka adalah Bupati Pati, Lasem, Tuban, Surabaya, Madura, Blora, Madiun, dan Bojonegoro. Kerajaan Cirebon dan Banten (di Jawa Barat) juga tidak bersedia tunduk pada Mataram. Untuk menundukkan rintangan itu, Sultan Agung mempersiapkan sejumlah besar pasukan, persenjataan, dan armada laut serta penggemblengan fisik dan mental.

Mulai tahun 1615, Sultan Agung menggempur pertahanan daerah pesisir. Satu demi satu daerah, seperti Semarang, Jepara (1616), Demak, Lasem, Tuban (1619), dan Madura (1624) dapat ditundukkan Mataram. Daerah pedalaman (Madiun, Ponorogo, Blora, dan Bojonegoro) pun tunduk kepada Mataram, tetapi Surabaya belum berhasil ditundukkan. Pada tahun 1625, Surabaya akhirnya berhasil ditundukkan oleh pasukan Mataram. Setelah Surabaya jatuh, Sultan Agung menjadi raja seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, Cirebon, dan Blambangan. Sultan Agung mencoba merebut Batavia dari tangan VOC (Belanda) pada tahun 1628 dan 1629. Namun, usaha Sultan Agung mengalami kegagalan karena kapal-kapal pengangkut beras perbekalan ditenggelamkan VOC dan gudang-gudang beras Mataram dibakar oleh mata-mata VOC. Penyerangan tersebut tidak berhasil, tetapi dapat membendung pengaruh VOC di Jawa.

Sultan Agung membagi sistem pemerintahan Kerajaan Mataram seperti berikut.

1)   Kutanegara, daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh Patih Lebet (Patih Dalam) yang dibantu Wedana Lebet (Wedana Dalam).

2)   Negara Agung, daerah sekitar Kutanegara. Pelaksanaan pemerintahan dipegang Patih Jawi (Patih Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).

3)   Mancanegara, daerah di luar Negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati.

4)   Pesisir, daerah pesisir. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati atau syahbandar.

 

Pada tahun 1645, Sultan Agung wafat dan kedudukannya digantikan secara berturut-berturut oleh Amangkurat I (1646-1677), Amangkurat II (1677-1703), Amangkurat III (1703-1705), Paku Buwana I (1705-1719), Amangkurat IV (1719-1725),  dan Paku Buwana II (1725-1749). Setelah masa pemerintahan Paku Buwana II, Kerajaan Mataram pecah menjadi dua wilayah kerajaan berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755). Kedua wilayah kerajaan itu adalah Kesultanan Yogyakarta (Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat) yang diperintah oleh Sultan Hamengku Buwana I (Pangeran Mangkubumi ) dan Kasunanan Surakarta (Kasunanan Surakarta Hadiningrat) yang diperintah oleh Sunan Paku Buwana III.

 

b.   Kehidupan Ekonomi dan Sosial

Karena letaknya berada di pedalaman Jawa, kehidupan ekonomi Kerajaan Mataram Islam banyak bertumpu pada sektor pertanian. Basis pertanian itu terletak di Jawa bagian tengah dengan komoditas utama beras. Pada abad ke-17, Mataram merupakan pengekspor beras terbesar di Nusantara. Selain mengandalkan sektor pertanian, Mataram juga menguasai bidang perdagangan dengan komoditas utamanya beras dan palawija. Ciri kehidupan Kerajaan Mataram adalah sistem feodal yang didasarkan atas sistem agraris. Para pejabat dan bangsawan keraton diberi imbalan berupa tanah lungguh sebagai sumber ekonomi. Selanjutnya, tanah lungguh tersebut digarap oleh para penduduk yang menyerahkan sebagian hasil pertaniannya kepada penguasa sebagai imbalan. Ikatan antara bangsawan dan rakyat tersebut disebut sistem patron-klin.

 

c.   Kehidupan Budaya            

Berbeda dengan kerajaan Islam lainnya yang bercorak maritin, Kerajaan Mataram Islam lebih bercorak agraris dengan ciri feodal. Raja merupakan pemilik seluruh tanah kerajaan beserta seluruh isinya. Sultan juga berperan sebagai panatagama atau pengatur kehidupan agama Islam bagi masyarakatnya. Kehidupan budaya pada masa Kerajaan Mataram berkembang pesat baik di bidang seni sastra, bangunan, lukis, dan ukir. Pada masa kekuasaan Sultan Agung terjadi perubahan perhitungan tahun Jawa Hindu (Saka) menjadi tahun Islam (Hijrah). Perhitungan tahun Islam tersebut berdasarkan pada peredaran bulan dan dimulai sejak tahun 1633. Selain itu, Sultan Agung juga menyusun karya sastra yang cukup terkenal yang disebut kitab Sastra Gending dan menyusun kitab undang-undang baru yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan hukum adat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.

1.     Kerajaan Banten

 

Pada awalnya Banten merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran. Daerah Banten berhasil dikuasai dan di-Islamkan oleh Fatahilah (panglima perang Demak). Pada tahun 1527, panglima Demak, Fatahilah berhasil merebut Sunda Kelapa dari tangan Pajajaran. Fatahillah kemudian memerintah Banten atas nama Demak sampai tahun 1552.

Banten segera tumbuh menjadi pelabuhan penting di Selat Sunda setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511). Hal itu disebabkan pedagang dari Gujarat, India, Timur Tengah, dan Arab enggan berlabuh di Malaka setelah dikuasai Portugis. 

a.   Kehidupan Politik 

Kehadiran Kerajaan Banten tidak bisa dilepaskan dari Kerajaan Demak. Namun dalam perkembangannya, Banten berusaha melepaskan diri dari Kerajaan Demak. Rajanya yang pertama adalah Sultan Maulana Hasanuddin (1551-1570). Di bawah pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, Banten cepat berkembang menjadi kerajaan yang besar. Wilayahnya meluas sampai ke Lampung, Bengkulu, dan Palembang. Setelah Sultan Maulana Hasanuddin mangkat pada tahun 1670, Banten diperintah oleh Panembahan Yusuf (1570-1580). Pada tahun 1579, Panembahan Yusuf berhasil menaklukkan Pakuan dan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, keadaan Banten aman dan tenteram karena kehidupam masyarakatnya diperhatikan. Misalnya, Sultan melaksanakan pembangunan kota, membuat benteng, dan membangun istana. 

Bidang pertanian juga diperhatikan  dengan membangun saluran-saluran irigasi. Sultan Maulana Yusuf mangkat pada tahun 1580. Raja Banten Selanjutnya adalah Maulana Muhammadd (1580-1596) yang bergelar Kanjeng Ratu Banten. Maulana Muhammad gugur dalam penyerangan ke Palembang. Pengganti Sultan Maulana Muhammad adalah putranya yang bernama Abdul Mufakir (1596-1640) dan Abumali Ahmad Rahmatullah (1640-1651). Pada masa pemerintahan Abdul Mufakir, armada Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman tiba di Banten. Banten mengalami zaman kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Untuk memperkuat pertahanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa membuat keratin di Tirtayasa, membuat jalan darat dari Pontang ke Tirtayasa dan membuka areal persawahan di jalur tersebut, serta membuka permukiman-permukiman baru di sebelah barat Banten, yaitu Tangerang. 

Dalam bidang perdagangan, Sultan Ageng Tirtayasa menjalankan politik perdagangan bebas. Melalui perdagangan bebas, pelabuhan Kerajan Banten terbuka bagi semua pedagang, baik pedagang dari wilayah Nusantara maupun pedagang asing. Politik perdagangan bebas yang diterapkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa sangat merugikan perdagangan monopoli yang dilakukan oleh VOC. Akibatnya, VOC berusaha keras menguasai Kerajaan Banten dengan cara menjalankan politik adu domba. VOC mengadu domba Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya sendiri yang bernama Sultan Abdul Kahar atau Sultan Haji. Melalui politik adu domba tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa dapat ditawan oleh VOC pada tahun 1683. Kemudian, Sultan Ageng Tirtayasa ditawan di Batavia hingga meninggal dunia pada tahun 1692. Setelah itu, Sultan Haji berkuasa menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji hanya memegang kekuasaan semu karena kekuasaan Banten sudah berada dalam genggaman VOC. Selanjutnya, Banten mengalami kemunduran karena tersisih oleh Batavia yang berada di bawah Banten sebagai negara yang berdaulat pun berakhir. 

 

b.   Kehidupan Ekonomi dan Sosial

Banten menjadi pusat kegiatan perdagangan dan pelayaran di Indonesia bagian barat setelah Malaka jatuh pada tahun 1511. Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang banyak. Selain itu juga karena didukung oleh letaknya yang strategis di sekitar Selat Sunda dan Selat Malaka. Pelabuhan Banten saat itu merupakan pelabuhan ekspor untuk perdagangan lada. Pedagang Persia, Gujarat, Arab, Cina, dan India setelah berlabuh di Aceh, banyak yang meneruskan pelayarannya melalui pantai barat Sumatra menuju Banten. Pedagang dari Kalimantan, Makassar, Nusa Tenggara, dan Maluku juga banyak yang datang ke Banten. Dengan demikian, Banten menjadi saingan berat bagi Malaka dalam perdagangan. 

Sejak Banten menjadi kerajaan yang bercorak Islam, kehidupan sosial masyarakat Banten juga secara perlahan dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan ibu kota kerajaan, tetapi meluas hingga ke pedalaman. Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, kota benteng, dan istana dibangun agar lebih tertata rapi. Bidang pertanian juga diperhatikan, misalnya dengan membangun saluran-saluran irigasi. Dengan demikian, kehidupan sosial masyarakatnya dapat lebih baik. 

 

c.   Kehidupan Budaya

Sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam, Kerajaan Banten memiliki banyak peninggalan budaya. Hal itu bisa dilihat dari peninggalan sejarahnya berupa Masjid Agung Banten. Masjid ini memperlihatkan akulturasi antara kebudayaan Indonesia, Cina, Islam, dan Eropa. Peninggaalan Kerajaan Banten yang merupakan benda dan membangun bersejarah lainnya, yaitu Keraton Surosowan dan Keraton Kaibon.

 

 

 

1.     Kerajaan Cirebon

Kerajaan Cirebon didirikan oleh salah seorang anggota Walisanga, yaitu Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah membawa kemajuan bagi Cirebon. Ketika Demak mengirimkan pasukannya di bawah Fatahilah (Faletehan) untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah memberikan bantuan sepenuhnya. Bahkan pada tahun 1524, Fatahillah diambil menantu oleh Syarif Hidayatullah. Setelah Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah meminta Fatahillah untuk menjadi Bupati di Jayakarta.

Syarif Hidayatullah kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Pasarean. Inilah raja yang menurunkan raja-raja Cirebon selanjutnya.

Pada tahun 1679, Cirebon terpaksa dibagi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Dengan politik de vide at impera yang dilancarkan Belanda yang pada saat itu sudah berpengaruh di Cirebon, kasultanan Kanoman dibagi dua menjadi Kasultanan Kanoman dan Kacirebonan. Dengan demikian, kekuasaan Cirebon terbagi menjadi 3, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Cirebon berhasil dikuasai VOC pada akhir abad ke-17.

1.     Kerajaan Makassar

 

Kerajaan Makassar terdiri dari kerajaan, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kemudian kerajaan bersatu di bawah pimpinan raja Goa, yaitu Daeng Manrabbia yang bergelar Sultan Alauddin. Sedangkan raja Tallo, yaitu Kraeng Mattoaya yang bergelar Sultan Abdullah menjadi Mangkubumi. Kedua kerajaan bersatu itu kemudian memperoleh sebutan Kesultanan Makassar. Pusat kerajaan Makassar terletak di Sombaopu, sebuah kota pelabuhan transito di Sulawesi Selatan yang ramai.

Kerajaan Makassar mencapai puncak kejayaan di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin (1653 – 1669). Makassar memperluas kekuasaan ke seluruh Sulawesi Selatan. Kemudian dalam rangka memantapkan posisinya sebagai pusat perdagangan, Makassar menanamkan pengaruhnya ke Nusa Tenggara. Akibatnya, pelayaran dan perdagangan di kawasan sekitar Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara berada di bawah kekuasaan Makassar.

Situasi itu mengkhawatirkan VOC Belanda yang berkedudukan di Ambon. VOC memaksakan untuk monopoli perdagangan, sehingga pecah perang besar antara VOC dengan Sultan Hasanuddin. VOC menjalin kerja sama dengan raja Bone, yaitu Aru Palaka. Akhirnya, VOC dapat menanamkan pengaruhnya di Makassar melalui Perjanjian Bongaya (1667) yang isinya, antara lain:

1)    Belanda memperoleh monopoli dagang rempah-rempah di Makassar;

2)    Belanda mendirikan benteng pertahanan di Makassar;

3)    Makassar harus melepaskan daerah kekuasaannya berupa daerah di luar Makassar;

4)    Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.

Meskipun sebagai pihak yang kalah, Sultan Hasanuddin disegani oleh VOC karena keberaniannya. Ia dijuluki de Haan van de Oosten, yang berarti “Ayam Jantan dari Timur”.

 

1.     Kerajaan Ternate dan Tidore

Ternate merupakan kerajaan Islam di timur yang berdiri pada abad ke-13 dengan raja Zainal Abidin (1486-1500). Zainal Abidin adalah murid dari Sunan Giri di Kerajaan Demak. Kerajaan Tidore berdiri di pulau lainnya dengan Sultan Mansur sebagai raja.

Kerajaan yang terletak di Indonesia Timur menjadi incaran para pedagang karena Maluku kaya akan rempah-rempah. Kerajaan Ternate cepat berkembang berkat hasil rempah-rempah terutama cengkih.

Ternate dan Tidore hidup berdampingan secara damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung selamanya. Setelah Portugis dan Spanyol datang ke Maluku, kedua kerajaan berhasil diadu domba. Akibatnya, antara kedua kerajaan tersebut terjadi persaingan. Portugis yang masuk Maluku pada tahun 1512 menjadikan Ternate sebagai sekutunya dengan membangun benteng Sao Paulo. Spanyol yang masuk Maluku pada tahun 1521 menjadikan Tidore sebagai sekutunya.

Dengan berkuasanya kedua bangsa Eropa itu di Tidore dan Ternate, terjadi pertikaian terus-menerus. Hal itu terjadi karena kedua bangsa itu sama-sama ingin memonopoli hasil bumi dari kedua kerajaan tersebut. Di lain pihak, ternyata bangsa Eropa itu bukan hanya berdagang tetapi juga berusaha menyebarkan ajaran agama mereka. Penyebaran agama ini mendapat tantangan dari Raja Ternate, Sultan Khairun (1550-1570). Ketika diajak berunding oleh Belanda di benteng Sao Paulo, Sultan Khairun dibunuh oleh Portugis.

Setelah sadar bahwa mereka diadu domba, hubungan kedua kerajaan membaik kembali. Sultan Khairun kemudian digantikan oleh Sultan Baabullah (1570-1583). Pada masa pemerintahannya, Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keberhasilan itu tidak terlepas dari bantuan Sultan Tidore. Sultan Khairun juga berhasil memperluas daerah kekuasaan Ternate sampai ke Filipina.

Sementara itu, Kerajaan Tidore mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Sultan Nuku. Sultan Nuku berhasil memperluas pengaruh Tidore sampai ke Halmahera, Seram, bahkan Kai di selatan dan Misol di Irian.

 

Dengan masuknya Spanyol dan Portugis ke Maluku, kehidupan beragama dan bermasyarakat di Maluku jadi beragam: ada Katolik, Protestan, dan Islam. Pengaruh Islam sangat terasa di Ternate dan Tidore. Pengaruh Protestan sangat terasa di Maluku bagian tengah dan pengaruh Katolik sangat terasa di sekitar Maluku bagian selatan.

Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah yang sangat terkenal bahkan sampai ke Eropa. Itulah komoditi yang menarik orang-orang Eropa dan Asia datang ke Nusantara. Para pedagang itu membawa barang-barangnya dan menukarkannya dengan rempah-rempah. Proses perdagangan ini pada awalnya menguntungkan masyarakat setempat. Namun, dengan berlakunya politik monopoli perdagangan, terjadi kemunduran di berbagai bidang, termasuk kesejahteraan masyarakat.

 

A.    PENINGGALAN SEJARAH YANG BERCORAK ISLAM DI INDONESIA

Peninggalan sejaran yang bercorak Islam di Indonesia adalah sebagai berikut.

  1. Masjid, yaitu tempat peribadatan/sholat umat.

Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk masjid, dapat kita lihat antara lain pada beberapa masjid berikut.

1)    Masjid Banten (bangun beratap tumpang)

2)    Masjid Demak (dibangun para wali)

3)    Masjid Kudus (memiliki menara yang bangun dasarnya serupa meru)

4)    Masjid Keraton Surakarta, Yogyakarta, Cirebon (beratap tumpang)

5)    Masjid Agung Pondok Tinggi (beratap tumpang)

6)    Masjid tua di Kotawaringin, Kalimantan Tengah (dibangun ulama penyebar siar pertama di Kalteng)

7)    Masjid Raya Aceh, Masjid Raya Deli (dibangun zaman Sultan Iskandar Muda)

 

  1. Keraton, berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja beserta keluarganya. Contoh, Keraton Cirebon, Istana Raja Gowa, Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, dan Istana Mangkunegaran.

 

  1. Batu nisan, yaitu tanda kubur. Contoh, batu nisan Malik as-Saleh (Lhokseumawe Aceh Utara), batu nisan Ratu Nahrasiyah (Samudera Pasai), dan batu nisan Fatimah binti Maimun (Leran, Gresik, Jawa Timur).
  2. Kaligrafi, yaitu seni menulis Arab yang indah. Seni kaligrafi yang bernafaskan Islam merupakan rangkaian dari ayat-ayat suci Al Quran.
  3. Karya Sastra, seperti Hikayat, Babad, Syair dan Suluk.
  4. Seni tari/pertunjukan, misalnya seni suara Sholawat Nabi, tari Debus, dan tari Seudati, di Aceh.
  5. Para pemikir Islam, seperti para sastrawan Islam yang giat menyebarkan agama Islam yaitu:

1)    Hamzah Fansuri, seorang ahli tasawuf dari Bagus, Aceh, giat menyebarkan agama Islam di Aceh dan sekitarnya. Hasil karyanya, yaitu Syair Burung Pingai dan Syair Perahu.

2)    Nuruddin ar Raniri adalah seorang ulama dair Gujarat, dan juga giat menyebarkan agama Islam di Aceh dan sekitarnya. Hasil karyanya, yaitu Tajus Salatina dan Bustanus Salatina.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar