Sabtu, 02 Januari 2021

Pergerakan Nasional pada Masa Pendudukan Jepang

 

a.     Proses Penguasaan Indonesia

Pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang melakukan penyerangan terhadap pangkalan militer AS di Pearl Harbour. Setelah memborbardir Pearl Harbour. Jepang masuk ke negara-negara Asia dari berbagai pintu. Pada tanggal 11 Januari 1942, Jepang mendaratkan pasukannya di Tarakan, Kalimantan Timur. Jepang menduduki kota minyak Balikpapan pada tanggal 24 Januari. Selanjutnya, Jepang menduduki kota-kota lainya di Kalimantan.

Jepang berhasil menguasai Palembang pada tanggal 16 Februari 1942. Setelah menguasai Palembang, Jepang menyerang Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pusat pemerintahan Belanda. Batavia (Jakarta) sebagai pusat perkembangan Pulau Jawa berhasil dikuasai Jepang pada tanggal 1 Maret 1942. Setelah melakukan berbagai pertempuran, Belanda akhirnya menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang-Jawa Barat. Surat perjanjian serah terima kedua belah pihak ditandatangani oleh Letnan Jenderal Ter Poorten (Panglima Angkatan Perang Belanda) dan diserahkan kepada Letnan Jenderal Imamura (pimpinan pasukan Jepang). Sejak saat itu seluruh Indonesia berada di bawah kekuasan Jepang.

 

b.    Kebijakan Pemerintah Militer Jepang

Setelah menguasai Indonesia kemudian Jepang membagi Indonesia menjadi tiga wilayah pertahanan, yaitu:

1)    Wilayah I, Jawa Gunseikanbu bermarkas di Jakarta oleh Rikugun/Angkatan Darat (Tentara XVI) wilayahnya: Jawa dan Madura.

2)    Wilayah II, Sumatra Gunsei Kanbu bermarkas di Bukittinggi oleh Rikugun/Angkatan Darat  (Tentara XXV) wilayahnya: Sumatra.

3)    Wilayah III, daerah Kaigun/Angkatan Laut (Armada Selatan II) bermarkas di Ujung Pandang wilayahnya: Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.

Dalam melaksanakan penjajahan di Indonesia, Jepang bersisi dua yaitu:

1)    Menarik simpati dan mencari dukungan rakyat Indonesia guna membantu menghadapi Sekutu.

2)    Pemerasan sumber kekayaan alam dan sumber tenaga manusia.

 

Beberapa kebijakan pemerintah militer Jepang di Indonesia adalah sebagai berikut.

1)    Membentuk Organisasi-organisasi Sosial

a)    Gerakan Tiga A (April 1942)

Gerakan Tiga A dipimpin Mr. Syamsudin. Gerakan ini didirikan pada bulan April tahun 1942.

Semboyan Gerakan Tiga A:

1)    Nippon Cahaya Asia

2)    Nippon Pelindung Asia

3)    Nippon Pemimpin Asia

Tujuannya untuk menggalang persatuan, menggerakkan semangat rakyat untuk mendukung Jepang dalam melawan Sekutu. Karena tidak mencapai tujuannya, organisasi ini dibubarkan Jepang.

 

b)    Pusat Tenaga Rakyat (Putera)

Badan ini dibentuk pada tanggal 1 Maret 1943. Organisasi ini dimaksudkan sebagai pengganti Gerakan Tiga A. Putera dipimpin Empat Serangkai terdiri dari: Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan KH. Mas Mansyur. Organisasi ini dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh nasional untuk menggembleng mental, membangkitkan semangat nasionalisme, serta menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri bangsa.

Setelah Jepang mengetahui bahwa Putera lebih bermanfaat bagi Indonesia, Putera dibubarkan. Sebagai pengganti dibentuk  Jawa Hokokai yang langsung di bawah pengawasan orang-orang Jepang.

 

c)     Jawa Hokokai

Pada tahun 1944, dibentuk Jawa Hokokai (Gerakan Kebaktian Jawa). Gerakan ini berdiri di bawah pengawasan para pejabat Jepang. Tujuan pokoknya adalah menggalang dukungan untuk rela berkorban demi pemerintah Jepang.

 

2)    Pembentukan Organisasi Militer dan Semi Militer

Jepang menyadari pentingnya mengerahkan rakyat Indonesia untuk membantu perang menghadapi Sekutu. Oleh karena itu, Jepang membentuk berbagai organisasi semimiliter

Organisasi militer Jepang adalah organisasi yang dikhususkan untuk melakukan pertahanan secara militer guna mempertahankan wilayah Indonesia, misalnya prajurit tentara. Dalam organisasi ini, pelatihan kemiliteran sangat ditekankan.

Organisasi semi militer Jepang adalah organisasi yang tidak dikhususkan untuk melakukan pertahanan secara militer, namun lebih bersifat ke keamanan dan ketertiban serta kecenderungan untuk kesejahteraan rakyat. Pelatihan dibidang kemiliteran tetap ada, namun tidak begitu ditekankan.

a)    Organisasi semi militer

(1)   Seinendan, yaitu barisan pemuda berusia 14-22 tahun yang dibentuk tanggal 9 Maret 1943, bertujuan mempertahankan tanah air dengan kekuatan sendiri dan membantu Jepang menghadapi Sekutu dalam perang Asia Pasifik.

(2)   Fujinkai, yaitu barisan wanita berusia 15 tahun ke atas yang dibentuk bulan Agustus 1943, bertujuan membantu Jepang dalam perang menghadapi Sekutu.

(3)   Keibodan, yaitu barisan pembantu polisi berusia 23-25 tahun yang dibentuk tanggal 29 April 1943, bertujuan membantu tugas polisi Jepang.

(4)   Suisintai, yaitu barisan pelopor yang dbentuk tanggal 14 September 1944 dipimpin oleh Ir. Soekarno dibantu Otto Iskandar Dinata, RP Suroso dan DR. Buntaran Martoatmojo, bertujuan mempelopori membantu Jepang dalam perang menghadapi Sekutu.

(5)   Gakukotai, yaitu barisan pelajar.

b)    Organisasi militer, yaitu:

(1)   Heiho, yaitu pembantu prajurit Jepang berusia 18-25 tahun yang dibentuk bulan April 1945. Heiho merupakan barisan pembantu kesatuan angkatan perang dan bagian dari ketentaraan Jepang untuk menghaapi perang melawan Sekutu di Indonesia, Malaya dan Burma.

(2)   Peta, yaitu Pembela Tanah Air yang dibentuk tanggal 3 Oktober 1943, bertugas mempertahankan tanah air Indonesia dari serangan Sekutu. Tokoh-tokoh Peta yang terkenal antara lain: Supriyadi, Gatot Subroto, Jendral Sudirman, dan Jendral Ahmad Yani.

Jabatan-jabatan dalam Peta:

(a)   Daidanco atau Komandan Batalyon

(b)   Cudanco atau Komandan Kompi

(c)   Syodanco atau Komandan Peleton

(d)   Budanco atau Komandan Regu

Lahirnya organisasi baik semi militer ataupun militer semacam ini ternyata berdampak positif bagi bangsa Indonesia. Mulai saat itu bangsa Indonesia mendapat pengetahuan tentang kemiliteran, terutama mengenai strategi perang dan penggunaan persenjataan.

 

3)    Pengerahan Romusha

Romusha adalah kerja paksa tanpa upah, atau oleh Jepang dikatakan sebagai prajurit ekonomi atau pahlawan pekerja. Mereka dipekerjakan untuk membangun kubu-kubu pertahanan, gua-gua, gudang bawah tanah, lapangan udara, jalan-jalan dan jembatan, termasuk bekerja di perkebunan-perkebunan baik di Indonesia maupun di luar negeri seperti Malaya, Thailand, Vietnam, dan Birma.

4)    Eksploitasi Kekayaan Alam

Jepang tidak hanya menguras tenaga rakyat Indonesia. Pengerukan kekayaan alam dan harta benda yang dimiliki bangsa Indonesia jauh lebih kejam daripada pengerukan yang dilakukan oleh Belanda. Semua usaha yang dilakukan di Indonesia harus menunjang semua keperluan perang Jepang.

Cara-cara Jepang di Indonesia mengeksploitasi sumber kekayaan alam:

a)    Petani harus menyerahkan hasil panen, ternak, dan harta milik mereka yang lain kepada pendudukan Jepang untuk biaya perang Asia Pasifik.

b)    Hasil kekayaan alam di Indonesia yang berupa hasil tambang perkebunan dan hutan diangkut ke Jepang.

c)     Jepang memaksa penduduk untuk menanam pohon jarak untuk minyak pelumas pada lahan pertanian.

 

c.     Sikap Kaum Pergerakan

Bangsa Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menanggapi kebijakan Jepang tersebut. Propaganda Jepang sama sekali tidak memengaruhi para tokoh perjuangan untuk percaya begitu saja. Bagaimanapun, mereka sadar bahwa Jepang adalah penjajah. Bahkan, mereka sengaja memanfaatkan organisasi-organisasi pendirian Jepang sebagai ‘batu loncatan’ untuk meraih Indonesia merdeka. Beberapa bentuk perjuangan pada zaman Jepang adalah sebagai berikut.

1)    Memanfaatkan Organisasi Bentukan Jepang

Kelompok ini sering disebut kolaborator karena mau bekerja sama dengan penjajah. Sebenarnya, cara ini bentuk perjuangan diplomasi. Tokoh-tokohnya adalah para pemimpin Putera, seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur. Mereka memanfaatkan Putera sebagai sarana komunikasi dengan rakyat. Akhirnya, Putera justru dijadikan para pemuda Indonesia sebagai ajang kampanye nasionalisme. Pemerintah Jepang menyadari hal tersebut dan akhirnya membubarkan Putera dan digantikan Barisan Pelopor. Sama seperti Putera, Barisan Pelopor yang dipimpin Sukarno ini pun selalu mengampanyekan perjuangan kemerdekaan.

 

2)    Gerakan Bawah Tanah

Perlawanan gerakan di bawah tanah atau ilegal muncul akibat terlalu kuatnya pemerintah Jepang menekan dan melarang golongan oposisi. Gerakan nasionalisme yang ada ternyata tidak mampu menandingi kekuatan pemerintah Jepang. Oleh karena itu, beberapa pejuang nasionalis mengambil jalan melakukan gerakan di bawah tanah (ilegal).

Strategi perjuangan tersebut ternyata dapat terorganisasi secara rapi dan dilakukan secara rahasia. Mereka diam dan bersembunyi untuk menghimpun kekuatan rakyat. Mereka pun berusaha menanankan semangat persatuan dan kesatuan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Jaringan hubungan khusus terus dilakukan dengan tokoh pergerakan nasional yang kooperatif terhadap Jepang. Selain itu, mereka membentuk jaringan kekuatan dengan melakukan sabotase dan tindakan destruktif (perusakan) terhadap sarana/prasarana vital milik Jepang.

Beberapa kelompok pergerakan nasional yang dijalankan strategi gerakan di bawah tanah, antara lain berikut ini.

a)    Kelompok Sutan Syahrir, merupakan kelompok pemuda di bawah pimpinan Sutan Syahrir. Mereka antara lain menyebar di Jakarta, Cirebon, Garut, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang. Kelompok ini sangat antifasisme Jepang.

b)    Kelompok Kaigun, merupakan perhimpunan para pemuda Indonesia yang mempunyai hubungan erat dengan kepala perwakilan Angkatan Laut (Kaigun) Jepang di Jakarta, yaitu Laksamana  Maeda.

c)     Kelompok Sukarni, merupakan kumpulan para pemuda anti Jepang di bawah pimpinan Sukarni. Mereka tinggal di Asrama Angkatan Baru di Jalan Menteng 31 Jakarta.

d)    Kelompok Persatuan Mahasiswa yang terdiri atas mahasiswa kedokteran (Ikadaigaku), bermarkas di Jalan Prapatan No. 10 Jakarta.

e)    Kelompok Amir Syarifuddin merupakan kumpulan pemuda berpaham sosialis yang selalu menentang kebijakan pemerintah Jepang.

 

3)    Perlawanan Bersenjata

Berikut ini beberapa perlawanan rakyat pada masa penjajahan Jepang.

a)    Perlawanan di Cot Plieng, Aceh

Perlawanan di Aceh ini dipimpin oleh Tengku Abdul Djalil, seorang ulama pemuda. Pada 10 November 1942, tentara Jepang menyerang Cot Plieng pada saat rakyat sedang melaksanakan shalat subuh. Penyerangan pagi buta ini akhirnya dapat digagalkan oleh rakyat dengan menggunakan senjata kelewang, pedang, dan rencong.

Begitupun dengan dengan serangan kedua, tentara Jepang berhasil dipukul mundur. Namun pada serangan yang ketiga, pasukan Teungku Abdul Jalil dapat dikalahkan Jepang. Peperangan ini telah merenggut 90 tentara Jepang dan sekitar 3.000 masyarakat Cot Plieng.

b)    Perlawanan di Tasikmalaya, Jawa Barat

Perlawanan di Singaparna, Tasikmalaya, ini dipimpin oleh Kyai Haji Zaenal Mustofa. Perlawanan ini terkait dengan tidak bersedianya K.H. Zaenal Mustofa untuk melakukan Seikeirei, memberikan penghormatan kepada Kaisar Jepang. Dalam pandangan Zaenal Mustofa, membungkuk seperti itu sama saja dengan memberikan penghormatan lebih kepada matahari, sementara dalam hukum Islam hal tersebut terlarang karena dianggap menyekutukan Tuhan.

Pemerintahan Jepang kemudian mengutus seseorang untuk menangkapnya. Namun utusan tersebut tidak berhasil karena dihadang rakyat. Dalam keadaan luka, perwakilan Jepang tersebut memberitahukan peristiwa tersebut kepada pimpinannya di Tasiklamalaya. Karena tersinggung, Jepang pada 25 Februari 1944 menyerang Singaparna pada siang hari setelah shalat Jumat. Dalam pertempuran tersebut Zaenal Mustofa berhasil ditangkap dan kemudian diasingkan ke Jakarta hingga wafatnya. Jenazahnya dikuburkan di daerah Ancol, dan kemudian dipindahkan ke Tasikmalaya.

c)     Perlawananan Indramayu, Jawa Barat

Pada bulan Juli 1944, rakyat Lohbener dan Sindang di Indramayu memberontak terhadap Jepang. Para petani dipimpin H. Madrian menolak pungutan padi yang terlalu tinggi. Akan tetapi, pada akhirnya perlawanan mereka dipadamkan Jepang.

d)    Perlawanan Sejumlah Perwira Pembela Tanah Air di Blitar, Buana dan Paudrah (Aceh), dan Cilacap

Perlawanan sejumlah perwira Pembela Tanah Air (Peta) di Blitar terjadi pada 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Syudanco Supriyadi. Ia adalah seorang syodanco (komandan peleton) Peta. Perlawanan Supriyadi ini disebabkan karena tidak tahan lagi melihat kesengsaraan rakyat yang mati karena romusha. Namun perlawanan tersebut dapat diredam oleh Jepang.

Akhirnya para anggota Peta yang terrlibat perlawanan diadili di Mahkamah Militer Jepang. Orang yang berhasil membunuh Jepang langsung dijatuhi hukuman mati, antara lain: dr. Ismangil, Muradi, Suparyono, Halir Mangkudidjaya, Sunanto, dan Sudarmo.

Dalam persidangan tersebut, Supriyadi sendiri sebagai pemimpin perlawanan tidak diikutsertakan. Beberapa pihak mengatakan bahwa Supriyadi sesungguhnya sudah ditangkap dan dibunuh secara diam-diam, ada pula pihak yang percaya bahwa Supriyadi menghilangkan diri tanpa jejak.

Selain di Blitar, perlawanan pemuda Peta juga meletus di dua daerah di Aceh, yaitu Buana dan Paudrah. Pemimpinnya adalah Guguyun Teuku Hamid; ia bersama 20 peleton pasukan melarikan diri dari asrama pada November 1944 untuk merencanakan pemberontakan. Namun Jepang berhasil mengancam keluarga Teuku Hamid sehingga Teuku Hamid kembali lagi. Tampaknya rencana perlawanan Teuku Hamid menambah simpati dan semangat masyarakat sehingga kemudian muncul kembali perlawanan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar