a.
Proses Penguasaan Indonesia
Pada
tanggal 8 Desember 1941, Jepang melakukan penyerangan terhadap pangkalan
militer AS di Pearl Harbour. Setelah memborbardir Pearl Harbour. Jepang masuk
ke negara-negara Asia dari berbagai pintu. Pada tanggal 11 Januari 1942, Jepang
mendaratkan pasukannya di Tarakan, Kalimantan Timur. Jepang menduduki kota minyak
Balikpapan pada tanggal 24 Januari. Selanjutnya, Jepang menduduki kota-kota
lainya di Kalimantan.
Jepang
berhasil menguasai Palembang pada tanggal 16 Februari 1942. Setelah menguasai
Palembang, Jepang menyerang Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pusat pemerintahan
Belanda. Batavia (Jakarta) sebagai pusat perkembangan Pulau Jawa berhasil
dikuasai Jepang pada tanggal 1 Maret 1942. Setelah melakukan berbagai pertempuran,
Belanda akhirnya menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942
di Kalijati, Subang-Jawa Barat. Surat perjanjian serah terima kedua belah pihak
ditandatangani oleh Letnan Jenderal Ter Poorten (Panglima Angkatan Perang Belanda)
dan diserahkan kepada Letnan Jenderal Imamura (pimpinan pasukan Jepang). Sejak
saat itu seluruh Indonesia berada di bawah kekuasan Jepang.
b. Kebijakan Pemerintah Militer Jepang
Setelah menguasai Indonesia kemudian Jepang
membagi Indonesia menjadi tiga wilayah pertahanan, yaitu:
1)
Wilayah I, Jawa
Gunseikanbu bermarkas di Jakarta oleh Rikugun/Angkatan Darat (Tentara XVI) wilayahnya: Jawa dan Madura.
2)
Wilayah II,
Sumatra Gunsei Kanbu bermarkas di Bukittinggi oleh Rikugun/Angkatan Darat (Tentara XXV) wilayahnya: Sumatra.
3)
Wilayah III, daerah Kaigun/Angkatan Laut (Armada Selatan II) bermarkas di Ujung Pandang wilayahnya: Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara, dan Maluku.
Dalam melaksanakan penjajahan di Indonesia,
Jepang bersisi dua yaitu:
1)
Menarik simpati
dan mencari dukungan rakyat Indonesia guna membantu menghadapi Sekutu.
2)
Pemerasan sumber kekayaan
alam dan sumber tenaga manusia.
Beberapa
kebijakan pemerintah militer Jepang di Indonesia adalah sebagai berikut.
1) Membentuk Organisasi-organisasi
Sosial
a) Gerakan Tiga A (April 1942)
Gerakan
Tiga A dipimpin Mr. Syamsudin. Gerakan ini didirikan pada bulan April tahun
1942.
Semboyan
Gerakan Tiga A:
1) Nippon Cahaya Asia
2) Nippon Pelindung Asia
3) Nippon Pemimpin Asia
Tujuannya
untuk menggalang persatuan, menggerakkan semangat rakyat untuk mendukung Jepang
dalam melawan Sekutu. Karena tidak mencapai tujuannya, organisasi ini
dibubarkan Jepang.
b) Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
Badan
ini dibentuk pada tanggal 1 Maret 1943. Organisasi ini dimaksudkan sebagai
pengganti Gerakan Tiga A. Putera dipimpin Empat Serangkai terdiri dari: Ir.
Soekarno, Drs. Moh Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan KH. Mas Mansyur. Organisasi
ini dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh nasional untuk menggembleng mental,
membangkitkan semangat nasionalisme, serta menumbuhkan rasa percaya diri dan
harga diri bangsa.
Setelah
Jepang mengetahui bahwa Putera lebih bermanfaat bagi Indonesia, Putera
dibubarkan. Sebagai pengganti dibentuk
Jawa Hokokai yang langsung di bawah pengawasan orang-orang Jepang.
c) Jawa Hokokai
Pada
tahun 1944, dibentuk Jawa Hokokai (Gerakan Kebaktian Jawa). Gerakan ini berdiri
di bawah pengawasan para pejabat Jepang. Tujuan pokoknya adalah menggalang
dukungan untuk rela berkorban demi pemerintah Jepang.
2) Pembentukan Organisasi Militer dan Semi
Militer
Jepang
menyadari pentingnya mengerahkan rakyat Indonesia untuk membantu perang
menghadapi Sekutu. Oleh karena itu, Jepang membentuk berbagai organisasi semimiliter
Organisasi
militer Jepang adalah organisasi yang dikhususkan untuk melakukan pertahanan
secara militer guna mempertahankan wilayah Indonesia, misalnya prajurit
tentara. Dalam organisasi ini, pelatihan kemiliteran sangat ditekankan.
Organisasi
semi militer Jepang adalah organisasi yang tidak dikhususkan untuk melakukan
pertahanan secara militer, namun lebih bersifat ke keamanan dan ketertiban
serta kecenderungan untuk kesejahteraan rakyat. Pelatihan dibidang kemiliteran
tetap ada, namun tidak begitu ditekankan.
a)
Organisasi semi militer
(1)
Seinendan, yaitu barisan pemuda berusia 14-22 tahun yang dibentuk tanggal 9 Maret
1943, bertujuan mempertahankan tanah air dengan kekuatan sendiri dan membantu
Jepang menghadapi Sekutu dalam perang Asia Pasifik.
(2)
Fujinkai, yaitu barisan wanita berusia 15 tahun ke atas yang dibentuk bulan Agustus
1943, bertujuan membantu Jepang dalam perang menghadapi Sekutu.
(3)
Keibodan, yaitu barisan pembantu polisi berusia 23-25 tahun yang dibentuk tanggal
29 April 1943, bertujuan membantu tugas polisi Jepang.
(4)
Suisintai, yaitu barisan pelopor yang dbentuk tanggal 14 September 1944 dipimpin
oleh Ir. Soekarno dibantu Otto Iskandar Dinata, RP Suroso dan DR. Buntaran
Martoatmojo, bertujuan mempelopori membantu Jepang dalam perang menghadapi
Sekutu.
(5)
Gakukotai, yaitu barisan pelajar.
b)
Organisasi militer, yaitu:
(1)
Heiho, yaitu pembantu prajurit Jepang berusia 18-25 tahun yang dibentuk
bulan April 1945. Heiho merupakan barisan pembantu kesatuan
angkatan perang dan bagian dari ketentaraan Jepang untuk menghaapi perang
melawan Sekutu di Indonesia, Malaya dan Burma.
(2)
Peta, yaitu Pembela Tanah Air yang dibentuk
tanggal 3 Oktober 1943, bertugas mempertahankan tanah air Indonesia dari
serangan Sekutu. Tokoh-tokoh Peta yang terkenal antara lain: Supriyadi, Gatot
Subroto, Jendral Sudirman, dan Jendral Ahmad Yani.
Jabatan-jabatan dalam Peta:
(a)
Daidanco atau Komandan Batalyon
(b)
Cudanco atau Komandan Kompi
(c)
Syodanco atau Komandan Peleton
(d)
Budanco atau Komandan Regu
Lahirnya
organisasi baik semi militer ataupun militer semacam ini ternyata berdampak
positif bagi bangsa Indonesia. Mulai saat itu bangsa Indonesia mendapat
pengetahuan tentang kemiliteran, terutama mengenai strategi perang dan
penggunaan persenjataan.
3) Pengerahan Romusha
Romusha
adalah kerja paksa tanpa upah, atau oleh Jepang dikatakan sebagai prajurit
ekonomi atau pahlawan pekerja. Mereka dipekerjakan untuk membangun kubu-kubu
pertahanan, gua-gua, gudang bawah tanah, lapangan udara, jalan-jalan dan
jembatan, termasuk bekerja di perkebunan-perkebunan baik di Indonesia maupun di
luar negeri seperti Malaya, Thailand, Vietnam, dan Birma.
4) Eksploitasi Kekayaan Alam
Jepang
tidak hanya menguras tenaga rakyat Indonesia. Pengerukan kekayaan alam dan
harta benda yang dimiliki bangsa Indonesia jauh lebih kejam daripada pengerukan
yang dilakukan oleh Belanda. Semua usaha yang dilakukan di Indonesia harus
menunjang semua keperluan perang Jepang.
Cara-cara
Jepang di Indonesia mengeksploitasi sumber kekayaan alam:
a) Petani harus menyerahkan hasil
panen, ternak, dan harta milik mereka yang lain kepada pendudukan Jepang untuk
biaya perang Asia Pasifik.
b) Hasil kekayaan alam di Indonesia
yang berupa hasil tambang perkebunan dan hutan diangkut ke Jepang.
c) Jepang memaksa penduduk untuk
menanam pohon jarak untuk minyak pelumas pada lahan pertanian.
c. Sikap Kaum Pergerakan
Bangsa
Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menanggapi kebijakan Jepang
tersebut. Propaganda Jepang sama sekali tidak memengaruhi para tokoh perjuangan
untuk percaya begitu saja. Bagaimanapun, mereka sadar bahwa Jepang adalah
penjajah. Bahkan, mereka sengaja memanfaatkan organisasi-organisasi pendirian
Jepang sebagai ‘batu loncatan’ untuk meraih Indonesia merdeka. Beberapa bentuk
perjuangan pada zaman Jepang adalah sebagai berikut.
1) Memanfaatkan Organisasi Bentukan
Jepang
Kelompok
ini sering disebut kolaborator karena mau bekerja sama dengan penjajah.
Sebenarnya, cara ini bentuk perjuangan diplomasi. Tokoh-tokohnya adalah para
pemimpin Putera, seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H.
Mas Mansyur. Mereka memanfaatkan Putera sebagai sarana komunikasi dengan
rakyat. Akhirnya, Putera justru dijadikan para pemuda Indonesia sebagai ajang
kampanye nasionalisme. Pemerintah Jepang menyadari hal tersebut dan akhirnya
membubarkan Putera dan digantikan Barisan Pelopor. Sama seperti Putera, Barisan
Pelopor yang dipimpin Sukarno ini pun selalu mengampanyekan perjuangan
kemerdekaan.
2) Gerakan Bawah Tanah
Perlawanan gerakan di bawah tanah atau ilegal
muncul akibat terlalu kuatnya pemerintah Jepang menekan dan melarang golongan
oposisi. Gerakan nasionalisme yang ada ternyata tidak mampu menandingi kekuatan
pemerintah Jepang. Oleh karena itu, beberapa pejuang nasionalis mengambil jalan
melakukan gerakan di bawah tanah (ilegal).
Strategi perjuangan tersebut ternyata dapat terorganisasi
secara rapi dan dilakukan secara rahasia. Mereka diam dan bersembunyi untuk
menghimpun kekuatan rakyat. Mereka pun berusaha menanankan semangat persatuan
dan kesatuan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Jaringan hubungan khusus
terus dilakukan dengan tokoh pergerakan nasional yang kooperatif terhadap
Jepang. Selain itu, mereka membentuk jaringan kekuatan dengan melakukan
sabotase dan tindakan destruktif (perusakan) terhadap sarana/prasarana vital
milik Jepang.
Beberapa kelompok pergerakan nasional yang
dijalankan strategi gerakan di bawah tanah, antara lain berikut ini.
a)
Kelompok Sutan
Syahrir, merupakan kelompok pemuda di bawah pimpinan Sutan Syahrir. Mereka
antara lain menyebar di Jakarta, Cirebon, Garut, Semarang, Yogyakarta, Bandung,
Surabaya, dan Malang. Kelompok ini sangat antifasisme Jepang.
b)
Kelompok Kaigun,
merupakan perhimpunan para pemuda Indonesia yang mempunyai hubungan erat dengan
kepala perwakilan Angkatan Laut (Kaigun) Jepang di Jakarta, yaitu
Laksamana Maeda.
c)
Kelompok Sukarni,
merupakan kumpulan para pemuda anti Jepang di bawah pimpinan Sukarni. Mereka
tinggal di Asrama Angkatan Baru di Jalan Menteng 31 Jakarta.
d)
Kelompok
Persatuan Mahasiswa yang terdiri atas mahasiswa kedokteran (Ikadaigaku),
bermarkas di Jalan Prapatan No. 10 Jakarta.
e)
Kelompok Amir
Syarifuddin merupakan kumpulan pemuda berpaham sosialis yang selalu menentang
kebijakan pemerintah Jepang.
3) Perlawanan Bersenjata
Berikut ini beberapa perlawanan rakyat pada masa
penjajahan Jepang.
a)
Perlawanan di Cot
Plieng, Aceh
Perlawanan di Aceh ini dipimpin oleh Tengku
Abdul Djalil, seorang ulama pemuda. Pada 10 November 1942, tentara Jepang
menyerang Cot Plieng pada saat rakyat sedang melaksanakan shalat subuh.
Penyerangan pagi buta ini akhirnya dapat digagalkan oleh rakyat dengan
menggunakan senjata kelewang, pedang, dan rencong.
Begitupun dengan dengan serangan kedua, tentara
Jepang berhasil dipukul mundur. Namun pada serangan yang ketiga, pasukan
Teungku Abdul Jalil dapat dikalahkan Jepang. Peperangan ini telah merenggut 90
tentara Jepang dan sekitar 3.000 masyarakat Cot Plieng.
b)
Perlawanan di
Tasikmalaya, Jawa Barat
Perlawanan di Singaparna, Tasikmalaya, ini
dipimpin oleh Kyai Haji Zaenal Mustofa. Perlawanan ini terkait dengan tidak
bersedianya K.H. Zaenal Mustofa untuk melakukan Seikeirei, memberikan
penghormatan kepada Kaisar Jepang. Dalam pandangan Zaenal Mustofa, membungkuk
seperti itu sama saja dengan memberikan penghormatan lebih kepada matahari,
sementara dalam hukum Islam hal tersebut terlarang karena dianggap menyekutukan
Tuhan.
Pemerintahan Jepang kemudian mengutus seseorang
untuk menangkapnya. Namun utusan tersebut tidak berhasil karena dihadang
rakyat. Dalam keadaan luka, perwakilan Jepang tersebut memberitahukan peristiwa
tersebut kepada pimpinannya di Tasiklamalaya. Karena tersinggung, Jepang pada
25 Februari 1944 menyerang Singaparna pada siang hari setelah shalat Jumat.
Dalam pertempuran tersebut Zaenal Mustofa berhasil ditangkap dan kemudian
diasingkan ke Jakarta hingga wafatnya. Jenazahnya dikuburkan di daerah Ancol,
dan kemudian dipindahkan ke Tasikmalaya.
c)
Perlawananan
Indramayu, Jawa Barat
Pada
bulan Juli 1944, rakyat Lohbener dan Sindang di Indramayu memberontak terhadap
Jepang. Para petani dipimpin H. Madrian menolak pungutan padi yang terlalu
tinggi. Akan tetapi, pada akhirnya perlawanan mereka dipadamkan Jepang.
d)
Perlawanan
Sejumlah Perwira Pembela Tanah Air di Blitar, Buana dan Paudrah (Aceh), dan
Cilacap
Perlawanan sejumlah perwira Pembela Tanah Air
(Peta) di Blitar terjadi pada 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Syudanco
Supriyadi. Ia adalah seorang syodanco (komandan peleton) Peta. Perlawanan
Supriyadi ini disebabkan karena tidak tahan lagi melihat kesengsaraan rakyat
yang mati karena romusha. Namun perlawanan tersebut dapat diredam oleh Jepang.
Akhirnya para anggota Peta yang terrlibat
perlawanan diadili di Mahkamah Militer Jepang. Orang yang berhasil membunuh
Jepang langsung dijatuhi hukuman mati, antara lain: dr. Ismangil, Muradi, Suparyono,
Halir Mangkudidjaya, Sunanto, dan Sudarmo.
Dalam persidangan tersebut, Supriyadi sendiri
sebagai pemimpin perlawanan tidak diikutsertakan. Beberapa pihak mengatakan
bahwa Supriyadi sesungguhnya sudah ditangkap dan dibunuh secara diam-diam, ada
pula pihak yang percaya bahwa Supriyadi menghilangkan diri tanpa jejak.
Selain di Blitar, perlawanan pemuda Peta juga
meletus di dua daerah di Aceh, yaitu Buana dan Paudrah. Pemimpinnya adalah
Guguyun Teuku Hamid; ia bersama 20 peleton pasukan melarikan diri dari asrama
pada November 1944 untuk merencanakan pemberontakan. Namun Jepang berhasil
mengancam keluarga Teuku Hamid sehingga Teuku Hamid kembali lagi. Tampaknya
rencana perlawanan Teuku Hamid menambah simpati dan semangat masyarakat
sehingga kemudian muncul kembali perlawanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar