Sabtu, 02 Januari 2021

Kondisi Masyarakat Indonesia pada Penjajahan

 

Perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia menyebabkan perubahan masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang. Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan yang merugikan bangsa Indonesia. Akibatnya, bangsa Indonesia melakukan perlawanan untuk mengusir penjajah.

 

1.     Pengaruh Monopoli dalam Perdagangan

Monopoli perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Barat jelas merugikan rakyat. Pada awal kedatangannya, bangsa-bangsa Barat diterima dengan baik oleh rakyat Indonesia. Hubungan perdagangan tersebut kemudian berubah menjadi hubungan penguasaan atau penjajahan. VOC terus berusaha memperoleh kekuasaan yang lebih dari sekedar jual beli. Itulah yang memicu kekecewaan, kebencian, dan perlawanan fisik.

Pada awalnya, VOC meminta keistimewaan hak-hak dagang. Akan tetapi, dalam perkembangannya menjadi penguasaan pasar (monopoli). VOC menekan para raja untuk memberikan kebijakan perdagangan hanya dengan VOC. Akhirnya, VOC bukan hanya menguasai daerah perdagangan, tetapi juga menguasai politik atau pemerintahan.

      VOC adalah badan/kongsi perdagangan Belanda yang berdiri sejak tahun 1602. Sebutan kompeni Belanda yang tertuju pada orang-orang VOC merupakan istilah dari kata compagnie. Orang-orang Indonesia menyebut nama compagnie menjadi kompeni.  Ingat, VOC kepanjangan dari Oost Vereenigde Indische Compagnie.

Salah satu kunci keberhasilan VOC adalah sifatnya yang mudah beradaptasi dengan kondisi yang telah ada di sekitarnya. Kebijakannya dapat dikatakan kelanjutan atau tiruan dari sistem yang telah dilakukan oleh para penguasa lokal. VOC secara cerdik menggunakan lembaga dan aturan-aturan yang telah ada di dalam masyarakat lokal untuk menjalankan roda compagnie-nya. Hak monopoli, penyerahan wajib, penanaman wajib, tenaga kerja wajib dan pajak sebenarnya telah menjadi bagian dari struktur dan kultur  yang telah ada sebelumnya.

      Hampir keseluruhan pendapatan VOC diperoleh dari sumber ekonomi yang juga menjadi andalan para penguasa lokal sebelumnya. VOC hanya membungkusnya secara resmi/legal dan teratur. Staf administrasi dan prajurit  yang berjumlah tidak lebih dari 17.000 orang pada tahun 1700, telah merajalela di sebagian besar pusat-pusat penghasil dan perdagangan rempah-rempah. Dengan demikian, cukup efektif pihak VOC untuk menerapkan kebijakan-kebijakan di daerah koloni. 

Dalam upaya memperlancar aktivitas organisasi, VOC pada tahun 1610 memutuskan untuk membentuk jabatan Gubernur Jenderal yang pada waktu itu berkedudukan di Maluku. Pieter Both sebagai orang pertama yang menduduki posisi itu.

 

Tindakan VOC dengan adanya hak octroi sangat merugikan bangsa Indonesia.  Hak octroi seolah ijin usaha kepanjangan tangan pemerintah Belanda, bahkan bisa dikatakan VOC sebagai sebuah “negara dalam negara”.

      Untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, VOC menerapkan hak monopoli, menguasai pelabuhan-pelabuhan penting dan membangun benteng-benteng. Benteng-benteng yang dibangun VOC adalah:

a.   Di Banten disebut benteng Kota Intan (Fort Pellwijk).

b.   Di Ambon disebut benteng Victoria.

c.   Di Makasar disebut benteng Rotterdam.

d.   Di Ternate di sebut benteng Orange.

e.   Di Banda disebut benteng Nasao.

 

Dengan keunggulan senjata, juga memanfaatkan kompetisi dan konflik di antara penguasa lokal (kerajaan), VOC berhasil memonopoli perdagangan pala dan cengkih di Maluku. Satu persatu kerajaan-kerajaan di Indonesia dikuasai VOC. Kebijakan ekspansif (menguasai) semakin gencar diwujudkan ketika Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal menggantikan Pieter Both pada tahun 1817.

Jan Pieterszoon Coen memiliki semboyan “tidak ada perdagangan tanpa perang, dan juga tidak ada perang tanpa perdagangan”. Dialah yang  memindahkan pos dagang VOC di Banten dan kantor pusat VOC dari Maluku ke Jayakarta. Mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. 

 

      Daerah-daerah strategis bagi pelayaran dan perdagangan di sepanjang pantai Nusantara dikuasai VOC. Hal ini bisa dikatakan sebagai tindakan imperialisme pantai, yaitu:

a.   Pada tahun 1919/1921 merebut pelabuhan Jayakarta.

b.   Pada tahun 1625, menduduki daerah pusat rempah-rempah di Pulau Banda.

c.   Pada tahun 1641, merebut benteng Portugis di Malaka.

d.   Pada tahun 1662, menduduki pusat perdagangan Pariaman di pantai Barat Sumatra.

e.   Pada tahun 1667, menduduki Bandar Makasar.

 

Dalam upaya mempertahankan monopoli dan melarang keterlibatan bangsa Barat lainnya maupun para pedagang Asia dalam perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku, VOC melakukan intervensi militer ke berbagai daerah dan pelayaran Hongi (Hongi Tochten). Pelayaran Hongi yaitu pelayaran keliling menggunakan perahu jenis kora-kora yang dipersenjatai untuk mengatasi perdagangan gelap atau penyelundupan rempah-rempah di Maluku. Pelayaran ini juga disertai hak ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.

 Pada tahun 1700-an, VOC berusaha menguasai daerah-daerah pedalaman yang banyak menghasilkan barang dagangan. Imperialisme pedalaman ini sasarannya kerajaan Banten dan Mataram, karena daerah ini banyak menghasilkan barang-barang komoditas seperti beras, gula merah, jenis-jenis kacang dan lada.

      Tindakan VOC yang sewenang-wenang, sangat keras, dan kejam menimbulkan perlawanan rakyat Indonesia. Perlawanan terhadap monopoli VOC terjadi di mana-mana seperti di Mataram, Banten, Makasar dan Maluku.

      Kebijakan-kebijakan VOC selama berkuasa di Indonesia sejak tahun 1602 – 1799 antara lain dapat dirangkum sebagai berikut:

a.   Menguasai pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli perdagangan.

b.   Melaksanakan politik devide et impera (memecah dan menguasai)  dalam rangka untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia.

c.   Untuk memperkuat kedudukannya dirasa perlu mengangkat seorang pegawai yang disebut Gubernur Jenderal.

d.   Melaksnakan sepenuhnya Hak Octroi yang ditawarkan pemerintah Belanda.

e.   Membangun pangkalan/markas VOC yang semula di Banten dan Ambon, dipindah dipusatkan di Jayakarta (Batavia).

f.    Melaksanakan pelayaran Hongi  (Hongi tochten).

g.   Adanya Hak Ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.

h.   Adanya verplichte leverantien (penyerahan wajib) dan  Prianger Stelsel (sistem Priangan)

Verplichte Leverantie yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditentukan VOC.

Prianger Stelsel (sistem Priangan) dimulai tahun 1723. Masyarakat di Priangan dikenai aturan wajib kerja menanam kopi dan menyerahkan hasilnya kepada kompeni. Wajib kerja ini sama dengan kerja paksa/rodi, rakyat tanpa diberi upah, menderita dan miskin

 

Pengaruh dari kebijakan VOC bagi rakyat Indonesia antara lain:

a.   Kekuasaan raja menjadi berkurang atau bahkan didominasi secara keseluruhan oleh VOC.

b.   Wilayah kerajaan terpecah-belah dengan melahirkan kerajaan dan penguasa baru di bawah kendali VOC.

c.   Hak octroi (istimewa) VOC, membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin, menderita, mengenal ekonomi uang, mengenal sistem pertahanan  benteng, etika perjanjian, dan  prajurit bersenjata modern (senjata api, meriam).

Hak octroi adalah hak istimewa dari pemerintah Belanda, yang meliputi:

1)   Hak monopoli

2)   Hak untuk membuat uang

3)   Hak untuk mendirikan benteng

4)   Hak untuk melaksanakan perjanjian dengan kerajaan di Indonesia

5)   Hak untuk membentuk tentara

d.   Pelayaran Hongi,  bagi penduduk Maluku khususnya, dapat dikatakan sebagai suatu  perampasan, perampokan, perbudakan dan pembunuhan.

e.   Hak Ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman matinya suatu harapan atau sumber penghasilan yang bisa berlebih.

 

Dua abad sejarah VOC bercokol di kepulauan Indonesia, sama sekali tidak mengisyaratkan sebagai kesetaraan suatu mitra baik dalam arti politik maupun ekonomi, melainkan berisi berbagai peristiwa berdarah dari sebuah upaya menegakkan kekuasaan. VOC menjadi sebuah kompeni yang bengis, yang mampu membangun sebuah tradisi sebagai simbol kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Barat.

VOC mengalami kebangkrutan pada akhir abad XVIII. Korupsi dan manajemen perusahaan yang kurang baik menjadi penyebab utama kebangkrutan VOC. Akhirnya, tanggal 13 Desember 1799, VOC dibubarkan. Mulai tanggal 1 Januari 1800, Indonesia menjadi jajahan Pemerintah Belanda, atau sering disebut masa Pemerintahan Hindia Belanda. Mulai periode inilah Belanda secara resmi menjalankan pemerintahan kolonial dalam arti yang sebenarnya.

 

2.     Pengaruh Kebijakan Kerja Paksa

Pemerintah Belanda menginginkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari bumi Indonesia sehingga menerapkan kebijakan kerja paksa. Mereka tidak memperoleh penghasilan yang layak, tidak diperhatikan asupan makanannya, dan melakukan pekerjaan di luar batas-batas kemanusiaan. Jalur Anyer Panarukan yang memanjang lebih dari 1000 Km dari Cilegon (Banten), Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon, Semarang, Pati, Surabaya, Probolinggo, hingga Panarukan (Jawa Timur). Saat ini jalur tersebut merupakan salah satu jalur utama bagi masyarakat di pulau Jawa. Anyer Panarukan dibangun 200 tahun yang lalu oleh pemerintah Hindia Belanda.

 

Jalan Raya Pos (Anyer-Panarukan) sangat penting bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Jalan Anyer-Panarukan tersebut menjadi sarana transportasi pemerintahan dan mengangkut berbagai hasil bumi, dan hingga sekarang manfaat jalan tersebut masih dapat dirasakan. Di balik besarnya proyek tersebut, perlu dipertanyakan bagaimana proses pembangunan jalan yang melewati gunung yang terjal dan medan yang sulit pada masa lalu? Siapakah yang menjalankan pembangunan? Pembangunan jalan tersebut merupakan kebijakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda bernama Herman Willem Daendels yang berkuasa sejak tahun 1808-1811. Belanda memandang penting pembangunan jalur Anyer-Panarukan, karena jalur tersebut merupakan penghubung kota-kota penting di pulau Jawa yang merupakan penghasil berbagai tanaman ekspor, dengan dibangunnya jalan tersebut maka proses distribusi barang dan jasa untuk kepentingan kolonial semakin cepat dan efisien.

Pembangunan jalur Anyer Panarukan sebagian besar dilakukan oleh tenaga manusia. Puluhan ribu penduduk dikerahkan untuk membangun jalan tersebut. Rakyat Indonesia dipaksa Belanda membangun jalan. Mereka tidak digaji dan tidak menerima makanan yang layak, akibatnya ribuan penduduk meninggal baik karena kelaparan maupun penyakit yang diderita. Pengerahan penduduk untuk mengerjakan berbagai proyek Belanda inilah yang disebut rodi atau kerja paksa. Kerja paksa pada masa Pemerintah Belanda banyak ditemukan di berbagai tempat. Banyak penduduk yang dipaksa menjadi budak dan dipekerjakan di berbagai perusahaan tambang maupun perkebunan.

 

3.     Pengaruh Sistem Sewa Tanah Rafles

Inggris juga pernah menjajah Indonesia pada masa tahun 1811-1816. Penguasa Inggris di Indonesia pada masa tersebut adalah Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles. Salah satu kebijakan terkenal pada masa Raffles adalah sistem sewa tanah atau landrent-system atau Landelijk Stelsel. Sistem tersebut memiliki ketentuan, antara lain sebagai berikut:

a.     Petani harus menyewa tanah meskipun dia adalah pemilik tanah tersebut.

b.     Harga sewa tanah tergantung kepada kondisi tanah.

c.     Pembayaran sewa tanah dilakukan dengan uang tunai.

d.     Bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan pajak kepala.

 

Sewa tanah tetap memberatkan rakyat, dan menggambarkan seakan-akan rakyat tidak memiliki tanah, padahal tanah tersebut adalah milik rakyat Indonesia. Hasil sewa tanah juga tidak seluruhnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Hasil sewa tanah tersebut sebagian besar digunakan untuk kepentingan penjajah.

 

Kekuasaan Inggris selama 5 tahun di Indonesia, juga menghadapi perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah. Sebagai contoh adalah perlawanan besar rakyat Kesultanan Palembang pada tahun 1812. Sultan Sultan Mahmud Baharuddin menolak mengakui kekuasaan Inggris. Inggris kemudian mengirim pasukan dan menyerang kerajaan Palembang yang terletak di Sungai Musi. Perlawanan rakyat Palembang dapat dikalahkan oleh tentara Inggris, tetapi semangat kemerdekaan rakyat Palembang tetap membara.

 

Inggris juga menghadapi perlawanan dari kerajaan besar di Jawa yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Namun sebelum kedua kerajaan melakukan penyerangan, Inggris berhasil meredam usaha perlawanan tersebut.

 

4.     Pengaruh Sistem Tanam Paksa

Pada tahun 1830 Van den Bosch menerapkan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). Kebijakan ini diberlakukan karena Belanda menghadapi kesulitan keuangan akibat perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Belgia (1830-1831).

Tanam Paksa yang diberlakukan oleh pemerintah Belanda memiliki ketentuan yang sangat memberatkan bagi masyarakat Indonesia. Apalagi pelaksanaan yang lebih berat karena penuh dengan penyelewengan sehingga semakin menambah penderitaan rakyat Indonesia. Banyak ketentuan yang dilanggar atau diselewengkan baik oleh pegawai barat maupun pribumi. Praktik- praktik penekanan dan pemaksaan terhadap rakyat tersebut antara lain adalah:

a.     Ketentuan bahwa tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5 dari tanah yang dimiliki rakyat, kenyataanya selalu lebih bahkan sampai 1⁄2 bagian dari tanah yang dimiliki rakyat.

b.     Kelebihan hasil panen tanaman wajib tidak pernah dibayarkan.

c.     Waktu untuk kerja wajib melebihi dari 66 hari, dan tanpa imbalan yang memadai.

d.     Tanah yang digunakan untuk tanaman wajib tetap dikenakan pajak.

 

Tanam Paksa menimbulkan akibat yang bertolak belakang bagi Bangsa Indonesia dan Belanda, di antaranya adalah sebagai berikut.

a.     Bagi Indonesia

1)    Beban rakyat menjadi sangat berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, mengikuti kerja rodi serta membayar pajak.

2)    Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.

3)    Timbulnya wabah penyakit dan terjadi banyak kelaparan di mana-mana.

4)    Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.

5)    Rakyat Indonesia mengenal tanaman dengan kualitas ekspor.

6)    Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam berbagai jenis tanaman baru.

b.     Bagi Belanda

1)    Kas Negeri Belanda yang semula kosong menjadi dapat terpenuhi.

2)    Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja (surplus).

3)    Utang-utang Belanda terlunasi.

4)    Perdagangan berkembang pesat.

5)    Amsterdam sukses dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar