Perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia menyebabkan perubahan
masyarakat
Indonesia dalam berbagai bidang. Pemerintah kolonial
menerapkan kebijakan yang merugikan bangsa
Indonesia. Akibatnya, bangsa Indonesia melakukan perlawanan untuk mengusir penjajah.
1. Pengaruh
Monopoli dalam Perdagangan
Monopoli
perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Barat
jelas merugikan rakyat. Pada awal kedatangannya, bangsa-bangsa Barat diterima
dengan baik oleh rakyat Indonesia. Hubungan perdagangan
tersebut kemudian berubah menjadi hubungan penguasaan
atau penjajahan. VOC terus berusaha memperoleh kekuasaan yang lebih dari sekedar jual beli. Itulah yang memicu kekecewaan, kebencian, dan
perlawanan
fisik.
Pada
awalnya, VOC meminta keistimewaan hak-hak dagang. Akan tetapi, dalam
perkembangannya menjadi penguasaan pasar (monopoli). VOC menekan para raja
untuk memberikan kebijakan perdagangan hanya dengan VOC. Akhirnya, VOC bukan
hanya menguasai daerah perdagangan, tetapi juga
menguasai politik atau pemerintahan.
VOC
adalah badan/kongsi perdagangan Belanda yang berdiri sejak tahun 1602. Sebutan
kompeni Belanda yang tertuju pada
orang-orang VOC merupakan istilah dari kata compagnie. Orang-orang Indonesia menyebut nama compagnie
menjadi kompeni. Ingat, VOC kepanjangan
dari Oost Vereenigde Indische Compagnie.
Salah satu kunci keberhasilan VOC adalah sifatnya yang
mudah beradaptasi dengan kondisi yang telah ada di sekitarnya. Kebijakannya
dapat dikatakan kelanjutan atau tiruan dari sistem yang telah dilakukan oleh
para penguasa lokal. VOC secara cerdik menggunakan lembaga dan aturan-aturan
yang telah ada di dalam masyarakat lokal untuk menjalankan roda compagnie-nya.
Hak monopoli, penyerahan wajib, penanaman wajib, tenaga kerja wajib dan pajak
sebenarnya telah menjadi bagian dari struktur dan kultur yang telah ada sebelumnya.
Hampir keseluruhan pendapatan VOC diperoleh dari sumber
ekonomi yang juga menjadi andalan para penguasa lokal sebelumnya. VOC hanya
membungkusnya secara resmi/legal dan teratur. Staf administrasi dan
prajurit yang berjumlah tidak lebih dari
17.000 orang pada tahun 1700, telah merajalela di sebagian besar pusat-pusat
penghasil dan perdagangan rempah-rempah. Dengan demikian, cukup efektif pihak
VOC untuk menerapkan kebijakan-kebijakan di daerah koloni.
Dalam upaya memperlancar aktivitas organisasi, VOC pada
tahun 1610 memutuskan untuk membentuk jabatan Gubernur Jenderal yang pada waktu
itu berkedudukan di Maluku. Pieter Both sebagai orang pertama yang menduduki
posisi itu.
Tindakan VOC dengan adanya hak octroi sangat merugikan
bangsa Indonesia. Hak octroi seolah ijin
usaha kepanjangan tangan pemerintah Belanda, bahkan bisa dikatakan VOC sebagai
sebuah “negara dalam negara”.
Untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah, VOC menerapkan hak monopoli, menguasai
pelabuhan-pelabuhan penting dan membangun benteng-benteng. Benteng-benteng yang
dibangun VOC adalah:
a. Di
Banten disebut benteng Kota Intan (Fort Pellwijk).
b. Di
Ambon disebut benteng Victoria.
c. Di
Makasar disebut benteng Rotterdam.
d. Di
Ternate di sebut benteng Orange.
e. Di
Banda disebut benteng Nasao.
Dengan keunggulan senjata, juga memanfaatkan kompetisi
dan konflik di antara penguasa lokal (kerajaan), VOC berhasil memonopoli
perdagangan pala dan cengkih di Maluku. Satu persatu kerajaan-kerajaan di
Indonesia dikuasai VOC. Kebijakan ekspansif (menguasai) semakin gencar
diwujudkan ketika Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal
menggantikan Pieter Both pada tahun 1817.
Jan Pieterszoon Coen memiliki semboyan “tidak ada
perdagangan tanpa perang, dan juga tidak ada perang tanpa perdagangan”. Dialah yang memindahkan pos dagang VOC di Banten dan
kantor pusat VOC dari Maluku ke Jayakarta. Mengubah nama Jayakarta menjadi
Batavia.
Daerah-daerah strategis bagi pelayaran dan perdagangan di sepanjang pantai
Nusantara dikuasai VOC. Hal ini bisa dikatakan sebagai tindakan imperialisme
pantai, yaitu:
a. Pada
tahun 1919/1921 merebut pelabuhan Jayakarta.
b. Pada
tahun 1625, menduduki daerah pusat rempah-rempah di Pulau Banda.
c. Pada
tahun 1641, merebut benteng Portugis di Malaka.
d. Pada
tahun 1662, menduduki pusat perdagangan Pariaman di pantai Barat Sumatra.
e. Pada
tahun 1667, menduduki Bandar Makasar.
Dalam upaya mempertahankan monopoli dan melarang
keterlibatan bangsa Barat lainnya maupun para pedagang Asia dalam perdagangan
rempah-rempah di Kepulauan Maluku, VOC melakukan intervensi militer ke berbagai
daerah dan pelayaran Hongi (Hongi Tochten). Pelayaran Hongi yaitu pelayaran
keliling menggunakan perahu jenis kora-kora yang dipersenjatai untuk mengatasi
perdagangan gelap atau penyelundupan rempah-rempah di Maluku. Pelayaran ini
juga disertai hak ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman
rempah-rempah yang melebihi ketentuan.
Pada tahun
1700-an, VOC berusaha menguasai daerah-daerah pedalaman yang banyak
menghasilkan barang dagangan. Imperialisme pedalaman ini sasarannya kerajaan Banten
dan Mataram, karena daerah ini banyak menghasilkan barang-barang komoditas
seperti beras, gula merah, jenis-jenis kacang dan lada.
Tindakan VOC
yang sewenang-wenang, sangat keras, dan kejam menimbulkan perlawanan rakyat
Indonesia. Perlawanan terhadap monopoli VOC terjadi di mana-mana seperti di
Mataram, Banten, Makasar dan Maluku.
Kebijakan-kebijakan
VOC selama berkuasa di Indonesia sejak tahun 1602 – 1799 antara lain dapat
dirangkum sebagai berikut:
a. Menguasai
pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli
perdagangan.
b. Melaksanakan
politik devide et impera (memecah dan menguasai) dalam rangka untuk menguasai
kerajaan-kerajaan di Indonesia.
c. Untuk
memperkuat kedudukannya dirasa perlu mengangkat seorang pegawai yang disebut
Gubernur Jenderal.
d. Melaksnakan
sepenuhnya Hak Octroi yang ditawarkan pemerintah Belanda.
e. Membangun
pangkalan/markas VOC yang semula di Banten dan Ambon, dipindah dipusatkan di
Jayakarta (Batavia).
f. Melaksanakan
pelayaran Hongi (Hongi tochten).
g. Adanya
Hak Ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang
melebihi ketentuan.
h. Adanya
verplichte leverantien (penyerahan wajib) dan Prianger Stelsel (sistem Priangan)
Verplichte Leverantie yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah
ditentukan VOC.
Prianger Stelsel (sistem Priangan) dimulai tahun
1723. Masyarakat di Priangan dikenai aturan wajib kerja menanam kopi dan
menyerahkan hasilnya kepada kompeni. Wajib kerja ini sama dengan kerja
paksa/rodi, rakyat tanpa diberi upah, menderita dan miskin
Pengaruh dari kebijakan VOC
bagi rakyat Indonesia antara lain:
a. Kekuasaan
raja menjadi berkurang atau bahkan didominasi secara keseluruhan oleh VOC.
b. Wilayah
kerajaan terpecah-belah dengan melahirkan kerajaan dan penguasa baru di bawah
kendali VOC.
c. Hak
octroi (istimewa) VOC, membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin, menderita,
mengenal ekonomi uang, mengenal sistem pertahanan benteng, etika perjanjian, dan prajurit bersenjata modern (senjata api,
meriam).
Hak octroi adalah hak istimewa dari pemerintah
Belanda, yang meliputi:
1) Hak
monopoli
2) Hak
untuk membuat uang
3) Hak
untuk mendirikan benteng
4) Hak
untuk melaksanakan perjanjian dengan kerajaan di Indonesia
5) Hak
untuk membentuk tentara
d. Pelayaran
Hongi, bagi penduduk Maluku khususnya,
dapat dikatakan sebagai suatu perampasan,
perampokan, perbudakan dan pembunuhan.
e. Hak
Ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman matinya suatu harapan atau sumber
penghasilan yang bisa berlebih.
Dua abad sejarah VOC bercokol di kepulauan Indonesia, sama sekali
tidak mengisyaratkan sebagai kesetaraan suatu mitra baik dalam arti politik
maupun ekonomi, melainkan berisi berbagai peristiwa berdarah dari sebuah upaya
menegakkan kekuasaan. VOC menjadi sebuah kompeni yang bengis, yang mampu
membangun sebuah tradisi sebagai simbol kekuasaan kolonialisme dan imperialisme
Barat.
VOC mengalami kebangkrutan
pada akhir abad XVIII. Korupsi dan manajemen perusahaan yang kurang baik menjadi penyebab utama
kebangkrutan VOC. Akhirnya, tanggal 13 Desember 1799, VOC dibubarkan. Mulai
tanggal 1 Januari 1800, Indonesia menjadi jajahan Pemerintah Belanda, atau sering
disebut masa Pemerintahan Hindia Belanda. Mulai periode inilah Belanda secara
resmi menjalankan pemerintahan kolonial dalam arti yang sebenarnya.
2.
Pengaruh
Kebijakan Kerja Paksa
Pemerintah
Belanda menginginkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari bumi Indonesia sehingga
menerapkan kebijakan kerja paksa. Mereka tidak memperoleh penghasilan yang
layak, tidak diperhatikan asupan makanannya, dan melakukan pekerjaan di luar
batas-batas kemanusiaan. Jalur Anyer Panarukan yang memanjang lebih dari 1000
Km dari Cilegon (Banten), Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon, Semarang, Pati,
Surabaya, Probolinggo, hingga Panarukan (Jawa Timur). Saat ini jalur tersebut
merupakan salah satu jalur utama bagi masyarakat di pulau Jawa. Anyer Panarukan
dibangun 200 tahun yang lalu oleh pemerintah Hindia Belanda.
Jalan
Raya Pos (Anyer-Panarukan) sangat penting bagi Pemerintah Kolonial Belanda.
Jalan Anyer-Panarukan tersebut menjadi sarana transportasi pemerintahan dan
mengangkut berbagai hasil bumi, dan hingga sekarang manfaat jalan tersebut
masih dapat dirasakan. Di balik besarnya proyek tersebut, perlu dipertanyakan
bagaimana proses pembangunan jalan yang melewati gunung yang terjal dan medan
yang sulit pada masa lalu? Siapakah yang menjalankan pembangunan? Pembangunan
jalan tersebut merupakan kebijakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda bernama
Herman Willem Daendels yang berkuasa sejak tahun 1808-1811. Belanda memandang
penting pembangunan jalur Anyer-Panarukan, karena jalur tersebut merupakan
penghubung kota-kota penting di pulau Jawa yang merupakan penghasil berbagai
tanaman ekspor, dengan dibangunnya jalan tersebut maka proses distribusi barang
dan jasa untuk kepentingan kolonial semakin cepat dan efisien.
Pembangunan
jalur Anyer Panarukan sebagian besar dilakukan oleh tenaga manusia. Puluhan
ribu penduduk dikerahkan untuk membangun jalan tersebut. Rakyat Indonesia
dipaksa Belanda membangun jalan. Mereka tidak digaji dan tidak menerima makanan
yang layak, akibatnya ribuan penduduk meninggal baik karena kelaparan maupun
penyakit yang diderita. Pengerahan penduduk untuk mengerjakan berbagai proyek
Belanda inilah yang disebut rodi atau kerja paksa. Kerja paksa pada masa
Pemerintah Belanda banyak ditemukan di berbagai tempat. Banyak penduduk yang
dipaksa menjadi budak dan dipekerjakan di berbagai perusahaan tambang maupun
perkebunan.
3. Pengaruh Sistem Sewa Tanah Rafles
Inggris
juga pernah menjajah Indonesia pada masa tahun 1811-1816. Penguasa Inggris di
Indonesia pada masa tersebut adalah Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles.
Salah satu kebijakan terkenal pada masa Raffles adalah sistem sewa tanah atau landrent-system
atau Landelijk Stelsel. Sistem tersebut memiliki ketentuan, antara lain
sebagai berikut:
a.
Petani harus
menyewa tanah meskipun dia adalah pemilik tanah tersebut.
b.
Harga sewa tanah
tergantung kepada kondisi tanah.
c.
Pembayaran sewa
tanah dilakukan dengan uang tunai.
d.
Bagi yang tidak
memiliki tanah dikenakan pajak kepala.
Sewa
tanah tetap memberatkan rakyat, dan menggambarkan seakan-akan rakyat tidak
memiliki tanah, padahal tanah tersebut adalah milik rakyat Indonesia. Hasil
sewa tanah juga tidak seluruhnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Hasil sewa
tanah tersebut sebagian besar digunakan untuk kepentingan penjajah.
Kekuasaan
Inggris selama 5 tahun di Indonesia, juga menghadapi perlawanan rakyat
Indonesia di berbagai daerah. Sebagai contoh adalah perlawanan besar rakyat
Kesultanan Palembang pada tahun 1812. Sultan Sultan Mahmud Baharuddin menolak
mengakui kekuasaan Inggris. Inggris kemudian mengirim pasukan dan menyerang
kerajaan Palembang yang terletak di Sungai Musi. Perlawanan rakyat Palembang
dapat dikalahkan oleh tentara Inggris, tetapi semangat kemerdekaan rakyat
Palembang tetap membara.
Inggris
juga menghadapi perlawanan dari kerajaan besar di Jawa yakni Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Namun sebelum kedua kerajaan melakukan
penyerangan, Inggris berhasil meredam usaha perlawanan tersebut.
4. Pengaruh Sistem Tanam Paksa
Pada
tahun 1830 Van den Bosch menerapkan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel).
Kebijakan ini diberlakukan karena Belanda menghadapi kesulitan keuangan akibat
perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Belgia (1830-1831).
Tanam
Paksa yang diberlakukan oleh pemerintah Belanda memiliki ketentuan yang sangat
memberatkan bagi masyarakat Indonesia. Apalagi pelaksanaan yang lebih berat
karena penuh dengan penyelewengan sehingga semakin menambah penderitaan rakyat
Indonesia. Banyak ketentuan yang dilanggar atau diselewengkan baik oleh pegawai
barat maupun pribumi. Praktik- praktik penekanan dan pemaksaan terhadap rakyat
tersebut antara lain adalah:
a.
Ketentuan bahwa
tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5 dari tanah yang dimiliki
rakyat, kenyataanya selalu lebih bahkan sampai 1⁄2 bagian dari tanah yang
dimiliki rakyat.
b.
Kelebihan hasil
panen tanaman wajib tidak pernah dibayarkan.
c.
Waktu untuk kerja
wajib melebihi dari 66 hari, dan tanpa imbalan yang memadai.
d.
Tanah yang
digunakan untuk tanaman wajib tetap dikenakan pajak.
Tanam Paksa menimbulkan akibat yang bertolak belakang bagi
Bangsa Indonesia dan Belanda, di antaranya adalah sebagai berikut.
a.
Bagi Indonesia
1)
Beban rakyat
menjadi sangat berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil
panennya, mengikuti kerja rodi serta membayar pajak.
2)
Sawah ladang
menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan
menurun drastis.
3)
Timbulnya wabah
penyakit dan terjadi banyak kelaparan di mana-mana.
4)
Timbulnya bahaya
kemiskinan yang makin berat.
5)
Rakyat Indonesia
mengenal tanaman dengan kualitas ekspor.
6)
Rakyat Indonesia
mengenal teknik menanam berbagai jenis tanaman baru.
b.
Bagi Belanda
1)
Kas Negeri
Belanda yang semula kosong menjadi dapat terpenuhi.
2)
Penerimaan
pendapatan melebihi anggaran belanja (surplus).
3)
Utang-utang
Belanda terlunasi.
4)
Perdagangan
berkembang pesat.
5)
Amsterdam sukses
dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar