1. Proklamasi
Kemerdekaan
a.
Persiapan
Kemerdekaan Indonesia
1)
Pembentukan
BPUPKI
Pada akhir tahun 1944 kedudukan Jepang semakin terdesak. Jepang
selalu menderita kekalahan dalam Perang Asia – Pasifik. Bahkan di Indonesia
berkobar perlawanan yang dilakukan rakyat maupun tentara Peta. Keadaan di
negeri Jepang semakin buruk, moral masyarakat menurun. Hal-hal yang tidak
menguntungkan menyebabkan jatuhnya Kabinet Tojo pada tanggal 17 Juli 1944 dan
digantikan oleh Jenderal Kuniaki Koiso.
Pada tanggal 7 September 1944 di dalam sidang istimewa Parlemen Jepang
di Tokyo, Perdana Menteri Koiso mengumumkan bahwa daerah Hindia Timur
(Indonesia) diperkenankan merdeka kelak di kemudian hari.
Pada tahun 1944 Pulau Saipan
direbut oleh Sekutu. Angkatan perang Jepang dipukul mundur angkatan perang
Amerika Serikat dari Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Marshall,
maka seluruh garis pertahanan Jepang di Pasifik mulai hancur berarti kekalahan
Jepang di ambang pintu. Sekutu terus menyerbu kota-kota di Indonesia seperti
Ambon, Makasar, Manado, dan Surabaya. Akhirnya tentara Sekutu mendarat di kota
penghasil minyak yakni Tarakan dan Balikpapan.
Menghadapi situasi yang
gawat tersebut, pemerintah pendudukan Jepang di Jawa di bawah pimpinan Letnan
Jenderal Kumakici Harada berusaha meyakinkan bangsa Indonesia tentang janji
kemerdekaan. Pada tanggal 1 Maret 1945 diumumkan pembentukan Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa
Jepangnya Dokuritsu Junbi Cosakai.
Maksud dan tujuan
dibentuknya BPUPKI ialah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting
berkaitan dengan segala sesuatu yang menyangkut pembentukan negara Indonesia
merdeka.
BPUPKI beranggotakan 60
orang, ditambah beberapa pimpinan. Sebagai ketua adalah dr. Rajiman
Widyodiningrat. Wakil-wakil ketua, yakni Icibangase yang sekaligus
sebagai kepala Badan Perundingan dan RP. Suroso yang sekaligus sebagai
kepala sekretariat. Sebagai kepala sekretariat, RP. Suroso dibantu oleh
Toyohito Masuda dan Mr. AG. Pringgodigdo.
BPUPKI pada tanggal 28 Mei 1945 diresmikan di
gedung Cuo Sangi In yang dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI dan dua pembesar
Jepang yakni Jenderal Itagaki dan Jenderal Yaiciro Nagano. Pada kesempatan
peresmian ini dilakukan pengibaran bendera Hinomaru disusul pengibaran
bendera Merah Putih. Hal ini semakin membangkitkan semangat para anggota BPUPKI
dalam mempersiapkan upaya Indonesia merdeka. Yang sangat menarik, sejak itu
lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan dan Sang Merah Putih boleh dikibarkan.
Tugas BPUPKI adalah menyusun
dasar dan konstitusi untuk negara Indonesia yang akan didirikan. Adapun
sidang-sidang yang dilaksanakan oleh BPUPKI adalah sebagai berikut.
a)
Sidang BPUPKI I (29 Mei - 1 Juni
1945)
Sidang pertama membahas
dasar negara bagi negara Indonesia merdeka. Waktu itu KRT. Rajiman
Widyodiningrat meminta pandangan dari para anggota mengenai dasar negara baru
yang akan dibentuk. Untuk itu, tampil beberapa tokoh untuk berpidato
menyampaikan pandangannya. Dari sekian banyak pembicara, ada tiga tokoh yang
paling dipertimbangkan pandangan-pandangannya. Mereka adalah Mr. Moh Yamin, Mr.
Supomo, dan Ir. Soekarno.
Pidato Moh. Yamin pada tanggal 29 Mei
mengusulkan lima dasar negara kebangsaan Indonesia, yakni sebagai berikut.
1) Peri
Kebangsaan
2) Peri
Kemanusiaan
3) Peri
Ketuhanan
4) Peri
Kerakyatan
5) Kesejahteraan
Rakyat
Mr. Supomo dalam pidatonya tanggal 31 Mei 1945
menyampaikan dasar-dasar Negara yang diajukan sebagai berikut.
1) Persatuan
2) Kekeluargaan
3) Keseimbangan
lahir dan batin
4) Musyawarah
5) Keadilan
rakyat
Tanggal 1 Juni 1945 merupakan hari terakhir dari
rangkaian Sidang BPUPKI I. Dalam pidato itu yang istimewa ia mengajukan usul
nama, lima asas yang disebut dengan Pancasila. Pidato Ir. Soekarno tanggal 1
Juni 1945 sering disebut dengan pidato lahirnya Pancasila. Sila-sila yang
diusulkan Ir. Soekarno sebagai berikut.
1) Kebangsaan
Indonesia.
2) Internasionalisme
atau perikemanusiaan.
3) Mufakat
atau demokrasi.
4) Kesejahteraan
sosial.
5) Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Sidang pertama BPUPKI berakhir tanggal 1 Juni
1945. Dalam sidang pertama ini tidak menghasilkan kesimpulan atau perumusan.
Pada waktu itu hanya ada saran-saran atau usulan mengenai rumusan dasar negara
bagi Indonesia merdeka. Setelah itu BPUPKI mengadakan reses selama lebih dari
satu bulan.
Sebelum reses, dibentuklah panitia kecil di
bawah pimpinan Ir. Soekarno. Panitia kecil itu berjumlah 8 orang dengan tugas
menampung saran, usul dan konsepsi para anggota untuk diserahkan melalui
sekretariat.
Anggota lainnya dalam panitia kecil ini adalah
Drs. Mohammad Hatta, Sutardjo Kartohadikusumo, Wachid Hasyim, Ki Bagus
Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Muhammad Yamin, dan A.A. Maramis.
Ir. Soekarno melaporkan bahwa pada tanggal 22
Juni 1945 Panitia Kecil itu mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI,
sebagian di antaranya menghadiri sidang Cuo Sangi In. Hasil pertemuan itu
adalah telah ditampungnya suara-suara dan usul-usul lisan anggota BPUPKI.
Dalam pertemuan itu pula terbentuk panitia kecil
lain yang berjumlah 9 orang, yang kemudian dikenal dengan Panitia Sembilan.
Mereka itu terdiri atas:
1) Ir.
Soekarno 6)
Abdulkahar Muzakkir
2) Drs.
Moh. Hatta 7) Wachid Hasyim
3) Mr.
Muh. Yamin 8) H. Agus Salim
4) Mr.
Ahmad Subardjo 9) Abikusno
Cokrosuyoso
5) Mr.
A.A. Maramis
Panitia sembilan tersebut berkumpul menyusun
rumusan dasar negara berdasarkan pemandangan umum para anggota.
Akhirnya mereka berhasil merumuskan maksud dan
tujuan pembentukan negara Indonesia merdeka. Rumusan itu diterima secara bulat
dan ditandatangani. Oleh Mr. Muh Yamin rumusan hasil Panitia sembilan itu
diberi nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Rumusan dasar negara Indonesia Merdeka berdasar
Piagam Jakarta sebagai berikut.
1) Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2) (menurut)
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3) Persatuan
Indonesia.
4) (dan)
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
5) (serta
dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b)
Sidang BPUPKI II (10 - 17 Juli 1945)
Pada tanggal 10 Juli 1945 mulai sidang BPUPKI
II. Sidang ini membahas rancangan Undang-Undang Dasar (UUD). Panitia Perancang
UUD diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia ini berjumlah 19 orang (termasuk
ketua). Adapun anggota-anggotanya adalah sebagai berikut.
1) AA.
Maramis
2) Oto
Iskandardinata
3) Poeroebojo
4) Agus
Salim
5) Mr.
Ahmad Subardjo
6) Prof.
Dr. Mr. Supomo
7) Mr.Maria
Ulfah Santosa
8) Wachid
Hasyim
9) Parada
Harahap
10) Mr.
Latuharhary
11) Mr.
Susanto Tritoprodjo
12) Mr.
Sartono
13) Mr.
Wongsonegoro
14) Wuryaningrat
15) Mr.
R.P. Singgih
16) Tan
Eng Hoat
17) Prof.
Dr. P.A. Husein Djajadiningrat
18) dr.
Sukiman
Panitia Perancang membentuk Panitia Kecil untuk
merumuskan rancangan UUD dengan segala pasal-pasalnya. Panitia Kecil ini
dipimpin oleh Mr. Supomo dengan anggota-anggotanya sebagai berikut.
1) Mr.
Wongsonegoro
2) Mr.
Ahmad Subarjo
3) Mr.
A.A. Maramis
4) Mr.
R.P. Singgih
5) H.
Agus Salim
6) dr.
Sukiman
Sebelum membahas rancangan Undang-Undang Dasar,
mereka membahas bentuk negara. Setelah diadakan pungutan suara, mayoritas
anggota memilih negara kesatuan yang berbentuk republik.
Bahasan berikutnya adalah UUD dan pembukaannya.
Pada rapat tanggal 11 Juli 1945, Panitia Perancang UUD secara bulat menerima
Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD. Tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI melanjutkan
sidang untuk menerima laporan dari Panitia Perancang UUD. Tiga hal penting yang
dilaporkan oleh Ir. Soekarno selaku ketua Panitia Perancang UUD sebagai
berikut.
1) Pernyataan
Indonesia merdeka.
2) Pembukaan
UUD (diambil dari Piagam Jakarta).
3) Batang
tubuh UUD.
Sidang menyetujui tiga hal yang dilaporkan oleh
Ir. Soekarno tersebut.
2)
Pembentukan
PPKI dan Peranannya dalam Proses Persiapan Kemerdekaan Indonesia
Setelah tugas BPUPKI dipandang selesai,
BPUPKI dibubarkan. Sebagai gantinya pada tanggal 7 Agustus 1945 dibentuk Dokuritsu
Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Anggota
PPKI berjumlah 21 orang Indonesia yang mewakili berbagai daerah di Indonesia,
yaitu:
1. Ir. Soekarno 12. Puruboyo
2. Drs.
Moh. Hatta 13. Dr.
Amir
3. dr.
Rajiman Widyodiningrat 14. Mr.
Teuku Moh. Hasan
4. Oto
Iskandardinata 15. Mr. Abdul Abbas
5. Wachid
Hasyim 16. dr.Syam
Ratulangi
6. Ki
Bagus Hadikusumo 17. Andi Pangeran
7. Suryo
Hadimijoyo 18. Hamidhan
8. Mr.
Sutarjo Kartohadikusumo 19. Mr. I Gusti Ketut Puja
9. R.P
Soeroso 20.
Mr. J. Latuharhary
10. Prof. Dr. Mr. Supomo 21. Drs. Yap Tjwan Bing
11. Abdul Kadir
Selain
21 orang anggota tersebut, ditambah 6 orang oleh bangsa Indonesia sendiri. Enam
anggota tambahan tersebut adalah:
1. Wiranata
Kusumah 4. Sayuti Malik
2. Ki
Hajar Dewantoro 5.
Iwa Kusuma Sumantri
3. Mr.
Kasman Singodimejo 6. Mr. Achmad Soebardjo
PPKI
diketuai oleh Ir. Soekarno dan wakilnya Drs. Moh. Hatta. Sedang sebagai penasihatnya adalah Mr. Ahmad Subarjo. Tugas
PPKI adalah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan bagi pendirian negara
dan pemerintahan RI.
Pembentukan
PPKI ini langsung ditangani oleh Marsekal Terauci. Panglima Tertinggi bala tentara Jepang di Asia Tenggara yang
berkedudukan di Dalath (Vietnam). Pada tanggal 9 Agustus 1945 Ir. Soekarno,
Drs. Moh. Hatta dan dr. Radjiman Wediodiningrat dipanggil menghadap Terauchi.
Dalam
pertemuan tanggal 12 Agustus 1945 kepada para pemimpin bangsa kita, Marsekal Terauci menyampaikan hal-hal
sebagai berikut.
1. Pemerintah Jepang memutuskan untuk
memberi kemerdekaan kepada Indonesia.
2. Untuk pelaksanaan kemerdekaan telah
dibentuk PPKI.
3. Pelaksanaan kemerdekaan segera setelah
persiapan selesai dan berangsur-angsur dimulai dari Pulau Jawa kemudian
pulau-pulau lain.
4. Wilayah Indonesia akan meliputi
seluruh bekas wilayah Hindia Belanda.
Para pemimpin dalam perjalanan pulang ke
tanah air singgah dulu di Singapura. Mereka bertemu 3 pemimpin PPKI yang
mewakili Sumatera yakni Dr. Amir, Mr. Teuku Moh. Hasan dan Mr. Abdul Abas. Dari
wakil Sumatera tersebut, mereka mendengar kabar bahwa Jepang semakin kalah.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat.
Hal
ini diumumkan Tenno Heika melalui radio. Sutan Syahrir yang mendengar berita menyerahnya Jepang kepada Sekutu segera
mendesak Bung Karno agar segera dilaksanakan proklamasi tanpa harus menunggu
janji Jepang. Namun Bung Karno belum menerima maksud Sutan Syahrir tersebut
dengan alasan belum mengadakan pertemuan dengan anggota-anggota PPKI yang lain.
Di samping itu terlebih dahulu Bung Karno akan mencoba dulu mencek kebenaran
berita kekalahan Jepang tersebut.
Sutan
Syahrir kemudian menemui para pemuda seperti Sukarni, BM. Diah, Sayuti Melik dan lain-lain. Pada tanggal 15 Agustus
1945 pukul 20.30 waktu Jawa Zaman Jepang (pukul 20.00 WIB) para pemuda
mengadakan rapat yang dipimpin oleh Chaerul Saleh.
Rapat
berlangsung di salah satu ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur,
Jakarta. Mereka yang hadir selain Chaerul Saleh adalah Djohar Nur, Kusnandar,
Subadio, Subianto, Margono, Wikana, dan Alamsyah. Dalam rapat tersebut
diputuskan tentang tuntutan golongan pemuda yang menegaskan bahwa kemerdekaan
adalah hak rakyat Indonesia sendiri, segala ikatan, hubungan dan janji
kemerdekaan harus diputus dan perlunya berunding dengan Ir. Soekarno dan
Mohammad Hatta agar kelompok pemuda diikut sertakan dalam menyatakan
proklamasi.
Pada
tanggal 15 Agustus 1945 pukul 22.30 waktu Jawa zaman Jepang (pukul 22.00 WIB)
Wikana dan Darwis mewakili dari para pemuda menemui Bung Karno. Mereka berdua
mendesak Bung Karno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada
keesokan harinya. Akhirnya terjadilah perdebatan. Perbedaan tersebut sampai
mengarah pada pemaksaan dari golongan muda terhadap golongan tua. Akan tetapi
kedua golongan tersebut bertujuan demi mencapai kemerdekaan Indonesia.
Sementara itu PPKI yang dibentuk oleh Jepang
namun hingga Jepang menyerah kepada Sekutu, PPKI belum pernah bersidang. PPKI
baru mengadakan sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 yakni setelah Proklamasi
Kemerdekaan.
b.
Peristiwa
Rengasdengklok
Peristiwa Rengasdengklok terjadi dikarenakan adanya
perbedaan pendapat antara golongan muda dan tua tentang masalah kapan
dilaksanakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kejadian tersebut berlangsung
tepatnya pada tanggal 16 Agustus 1945. Golongan muda membawa Ir. Soekarno dan
Drs. Moh. Hatta ke Rengasdengklok dengan tujuan untuk mengamankan keduanya dari
intervensi pihak luar. Daerah Rengasdengklok dipilih karena menurut perhitungan
militer, tempat tersebut jauh dari jalan raya Jakarta-Cirebon. Di samping itu,
mereka dengan mudah dapat mengawasi tentara Jepang yang hendak datang ke
Rengasdengklok dari arah Bandung maupun Jakarta.
Soekarno-Hatta berada di Rengasdengklok selama satu hari
penuh. Usaha dan rencana para pemuda untuk menekan kedua pemimpin bangsa
Indonesia itu agar cepat-cepat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa
campur tangan tentara Jepang tidak dapat dilaksanakan. Dalam peristiwa
Rengasdengklok tersebut tampaknya kedua pemimpin itu mempunyai wibawa yang
besar sehingga para pemuda merasa segan untuk mendekatinya, apalagi melakukan
penekanan. Namun, melalui pembicaraan antara Shodanco Singgih dengan Soekarno,
menyatakan bahwa Soekarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
setelah kembali ke Jakarta.
Berdasarkan pernyataan Soekarno itu, pada tengah hari
Shodanco Singgih kembali ke Jakarta untuk menyampaikan berita proklamasi
kemerdekaan yang akan disampaikan oleh Soekarno kepada kawan-kawannya dan para
pemimpin pemuda. Sementara itu, di Jakarta sedang terjadi perundingan antara
Achmad Subardjo (mewakili golongan tua) dengan Wikana (mewakili golongan muda).
Dari perundingan itu tercapai kata sepakat, bahwa proklamasi kemerdekaan
Indonesia harus dilaksanakan di Jakarta. Di samping itu, Laksamana Tadashi
Maeda mengizinkan rumah kediamannya dijadikan sebagai tempat perundingan dan
bahkan ia bersedia menjamin keselamatan para pemimpin bangsa Indonesia itu.
Berdasarkan kesepakatan antara golongan pemuda dengan
Laksamana Tadashi Maeda itu, Jusuf Kunto bersedia mengantarkan Achmad Subardjo
dan sekretaris pribadinya pergi menjemput Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok.
Sebelum berangkat ke Rengasdengidok, Achmad Subardjo memberikan jaminan dengan
taruhan nyawanya bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan pada
tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00 WIB. Dengan jaminan
itu, komandan kompi Peta Cudanco Subeno bersedia melepas Ir. Soekarno dan Drs.
Moh. Hatta beserta rombongan untuk kembali ke Jakarta. Rombongan tersebut tiba
di Jakarta pada pukul 17.30 WIB.
c.
Perumusan
Teks Proklamasi kemerdekaan Indonesia
Pada malam hari tanggal 16 Agustus 1945,
Soekarno-Hatta dan tokoh pemuda pengawalnya dari Rengasdengkok tiba kembali ke
Jakarta. Pada pukul 23.30 WIB tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno-Hatta tiba di Jakarta
dengan selamat. Kemudian A.Soebardjo segera menelpon ke rumah Laksamana Muda
Maeda dan meminjam rumah kediamannya Jl. Imam Bonjol no. 1 untuk rapat anggota
PPKI. Ia mengizinkan rumah tempat tinggalnya dijadikan tempat rapat anggota
PPKI. Dengan adanya kesediaan untuk meminjamkan rumahnya maka A.Soebardjo
segera menyiapkan pertemuan di rumah itu pada tengah malam itu juga.
Dalam ruang tamu rumah Laksamana Muda Maeda berkumpul
anggota PPKI, anggota Cuo Sangi In, dan kelompok pemuda untuk membicarakan
naskah proklamasi kemerdekaan. Soekarno, Hatta, dan A.Soebardjo
membahas rumusan naskah proklamasi di ruang makan atas dan disaksikan oleh
Sayuti Melik, Sukarni, B.M. Diah, dan Sudiro.
Achmad
Soebardjo dan Moh. Hatta yang merumuskan kalimatnya, sedangkan Soekarno yang
menuliskannya. Kalimat pertama berbunyi “Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaan Indonesia”, berasal dari kutipan Piagam Jakarta oleh
Achmad Soebardjo. Kalimat kedua disampaikan oleh Moh. Hatta berbunyi “Hal-hal
yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama
dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Selanjutnya Soekarno membacakan
konsep rumusan naskah proklamasi secara perlahan sehingga kata demi kata dapat
didengar dan dipahami oleh para hadirin.
Pembacaaan
rumusan naskah proklamasi kemerdekaan telah selesai dan disetujui, Sukarni mengusulkan naskah proklamasi cukup
dua orang saja yang menandatanganinya atas nama bangsa Indonesia.
Setelah
dilakukan beberapa perubahan redaksi, Ir. Soekarno meminta Sayoeti Melik untuk
mengetik konsep proklamasi itu. Naskah proklamasi yang ditulis Ir. Soekarno
setelah diketik Sayoeti Melik, juga mengalami beberapa perubahan.
Perubahan-perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
No. |
Naskah Tulisan Ir. Soekarno |
Naskah Hasil Ketikan Sayoeti Melik |
1. |
Proklamasi. |
PROKLAMASI. |
2. |
Hal2. |
Hal-hal. |
3. |
Tempoh. |
Tempo. |
4. |
Djakarta
17-08-05. |
Djakarta,
hari 17 boelan 8 tahoen 05. |
5. |
Wakil2
bangsa Indonesia. |
Atas
nama bangsa Indonesia. |
Ada tiga
perubahan redaksi pada naskah proklamasi yang disetujui. Pertama, tempoh
diganti dengan tempo. Kedua, wakil bangsa Indonesia diganti dengan atas nama bangsa
Indonesia. Ketiga, cara menulis tanggal Djakarta 17-8-05 diganti menjadi
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05. Naskah hasil ketikan Sayoeti Melik
kemudian ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa
Indonesia.
d.
Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945
1)
Persiapan
Pembacaan Teks Proklamasi
Setelah selesai merumuskan dan mengesahkan teks proklamasi,
pagi harinya pada 17 Agustus 1945 para pemimpin nasional dan para pemuda
kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan penyelenggaraan pembacaan
teks proklamasi. Rakyat dan tentara Jepang menyangka pembacaan proklamasi akan
dilaksanakan di Lapangan Ikada sehingga tentara Jepang memblokade Lapangan
Ikada.
Bahkan Barisan Pemuda telah berdatangan ke Lapangan Ikada
dalam rangka menyaksikan pembacaan teks proklamasi. Pemimpin Barisan Pelopor
Sudiro juga datang ke Lapangan Ikada dan melihat pasukan Jepang dengan senjata
lengkap menjaga ketat lapangan itu. Sudiro kemudian melaporkan keadaan itu
kepada Muwardi, Kepala Keamanan Soekarno. Oleh karena itu, disepakati bahwa
proklamasi akan diikrarkan di rumah Soekarno Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta.
Halaman rumah Soekarno sudah dipadati oleh massa menjelang
pembacaan teks proklamasi. Dr. Muwardi memerintahkan kepada Latief
Hendraningrat untuk menjaga keamanan pelaksanaan upacara. Latif dibantu oleh
Arifin Abdurrahman berusaha untuk mengantisipasi gangguan tentara Jepang.
Terlihat suasana sangat sibuk. Suwiryo, Wakil Walikota
Jakarta meminta kepada Wilopo untuk mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan.
Wilopo kemudian meminjam mikrofon dan beberapa pengeras suara ke toko
elektronik milik Gunawan.
Untuk keperluan tiang bendera, Sudiro memerintahkan kepada
S. Suhud, Komandan Pengawal Rumah Soekarno untuk mencari tiang bendera. Suhud
mendapatkan sebatang tiang bambu dari belakang rumah dan menanamnya di dekat
teras, kemudian diberi tali. Ia lupa bahwa di depan rumah ada dua tiang bendera
dari besi yang tidak terpakai. Ini dapat dimaklumi, mengingat waktu itu suasana
panik. Di tempat lain, Fatmawati mempersiapkan bendera yang dijahit dengan
tangan dan ukuran yang tidak standar.
Suasana semakin panas. Para pemuda menghendaki agar
pembacaan teks proklamasi segera dilaksanakan. Mereka sudah tidak sabar lagi
karena sudah menunggu sejak pagi. Mereka mendesak Muwardi untuk mengingatkan
Soekarno karena hari semakin siang. Namun, Soekarno menolak jika ia harus
melaksanakannya sendiri tanpa Hatta.
Suasana menjadi tegang karena Muwardi terus mendesak
Soekarno untuk segera membacakan teks proklamasi tanpa harus menunggu kehadiran
Hatta. Untunglah lima menit sebelum pelaksanaan upacara Hatta datang dan
langsung menemui Soekarno untuk segera melaksanakan upacara proklamasi
kemerdekaan Indonesia.
2)
Pelaksanaan
Upacara Proklamasi Kemerdekaan
Upacara dipimpin oleh Latief Hendraningrat dan tanpa
protokol. Latief segera memimpin barisan dan menyiapkan untuk berdiri dengan
sikap sempurna. Soekarno kemudian mempersiapkan diri dan mendekati mikrofon.
Sebelum membacakan teks proklamasi, Soekarno membacakan pidato singkat yang
isinya adalah sebagai berikut.
1) Perjuangan melawan
kolonial telah cukup panjang dan memerlukan keteguhan hati.
2) Cita-cita
perjuangan itu adalah kemerdekaan Indonesia.
3) Indonesia yang
berdaulat harus mampu menentukan arah dan kebijakannya sendiri, menjadi negara
yang diakui oleh bangsabangsa lain di dunia.
Setelah itu, Soekarno membacakan teks proklamasi yang
diketik oleh Sayuti Melik. Pidato ditutup dengan kalimat: “demikianlah
saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang
mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini, kita menyusun negara
kita 1 negara merdeka, negara Republik Indonesia Merdeka, kekal dan abadi.
Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan Indonesia”.
Acara berikutnya setelah pembacaan selesai adalah pengibaran
bendera merah putih yang dilakukan oleh Latief dan Suhud secara perlahan-lahan.
Bendera merah putih dinaikkan dengan diiringi lagu “Indonesia Raya” yang secara
spontan dinyanyikan oleh para hadirin. Selesai pengibaran bendera, upacara
ditutup dengan sambutan Wakil Walikota Suwiryo dan Muwardi. Dengan demikian,
selesailah upacara proklamasi kemerdekaan yang menjadi tonggak berdirinya
negara Republik Indonesia yang berdaulat.
c. Penyebaran Berita
Proklamasi
Penyebaran berita proklamasi memiliki banyak kendala
khusunya yang berada di luar Jawa. Berikut faktor yang menjadi hambatan dalam
penyebaran berita proklamasi adalah:
1) Wilayah Indonesia
yg sangat luas.
2) Komunikasi dan
transportasi masih sangat terbatas.
3) Adanya larangan
untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia.
Sedangakan berita penyebaran Proklamasi melalui berbagai
cara:
1) Siaran Radio Hoso
Kanriyoko (sekarang RRI) oleh Yusufranodipuro.
2) Sejak Th 1946 RRI
Yogyakarta berhasil menyiarkan berita Proklamasi berbahasa Inggris yaitu The
Voice of Freedom Indonesia oleh Molly Warner (Orang Australia yang simpati kepada
Indonesia)
3) Kantor berita
Domei (sekarang bernama Kantor berita Antara) oleh Syahrudin, F. Wuz, Adam
Malik, dkk.
4) Melalu media cetak
seperti Harian Suara Asia (Surabaya) yang merupakan koran pertama Indonesia,
Balai Pustaka oleh Suparjo, Percetakan Asia Raya oleh BM.Diah, dan sebagainya.
5) Melalui pemasangan
plakat, poster, dan coretan di tembok.
6) Melalui utusan PPKI
ke berbagai daerah seperti:
a) Teuku Mohammad
Hassan dari Aceh.
b) Sam Ratulangi dari
Sulawesi.
c) Ketut Pudja dari
Sunda Kecil (Bali).
d) A. A. Hamidan dari
Kalimantan.
Meskipun orang Jepang memerintahkan penghentian siaran
berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus
menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai
pukul 16.00 saat siaran berhenti.
Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di
Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada
tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para
pegawainya dilarang masuk.
Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda
bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata
membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman,
Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng
31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi
kemerdekaan disiarkan ke seluruh dunia.
Penyebaran berita proklamasi kemerdekaan juga dilakukan
melalui media massa yang ada saat itu, ada pula dengan menggunakan spanduk dan
famlet di jalanan.
2.
Terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kemerdekaan adalah jembatan emas menuju keberhasilan
pembangunan nasional. Pembangunan yang dicita-citakan masyarakat Indonesia
hanya dapat dilakukan setelah Indonesia merdeka. Dengan kemerdekaan bangsa
Indonesia dapat menentukan nasib sendiri. Pada saat Indonesia merdeka tanggal
17 Agustus 1945 belum memiliki kepala pemerintahan dan sistem administrasi
wilayah yang jelas. Setelah Indonesia merdeka, segera dibentuk kelengkapan
pemerintahan dengan tujuan agar pembangunan dapat berlangsung dengan baik.
Para pemimpin segera membentuk lembaga pemerintahan dan
kelengkapan negara sehari setelah proklamasi dikumandangkan. PPKI segera
menyelenggarakan rapat-rapat yang menghasilkan beberapa keputusan penting
sebagai berikut.
a. Pengesahan UUD
1945
Rapat PPKI beragendakan untuk menyepakati Pembukaan dan UUD
Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang dibuat oleh BPUPKI menjadi
rancangan awal, dan dengan sedikit perubahan disahkan menjadi UUD yang terdiri
atas Pembukaan, Batang Tubuh yang terdiri dari 37 Pasal, 4 Pasal Aturan
Peralihan dan 2 Ayat Aturan Tambahan disertai dengan penjelasan.
b. Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden
Soekarno dan Hatta ditetapkan sebagai presiden dan wakil
presiden pertama Republik Indonesia secara aklamasi dalam musyawarah untuk
mufakat. Lagu kebangsaan Indonesia Raya mengiringi penetapan Presiden dan Wakil
Presiden terpilih.
c. Pembagian wilayah
Indonesia
Rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945 memutuskan pembagian
wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi.
Kedelapan provinsi tersebut masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur. Para
gubernur bertugas memimpin dan melaksanakan pemerintahan di daerah provinsi
masing-masing sesuai dengan ketentuan
pemerintah pusat.
Adapun provinsi dan nama-nama gubernur
yang menjabatnya adalah sebagai berikut:
1) Provinsi Sumatera :
Tengku Moh. Hasan
2) Provinsi Jawa
Barat : Sutardjo Kartohadikusumo
3) Provinsi Jawa
Tengah : R. Panji Soeroso
4) Provinsi Jawa
timur : R.A Soerjo
5) Provinsi Sunda
Kecil : Mr. I Gusti Ktut Pudja
6) Provinsi Maluku :
J. Latuharhary
7) Provinsi Sulawesi : dr. G.S.S.J Ratulangie
8) Provinsi
Kalimantan : Ir. Pangeran Moh. Noor
d. Pembentukan
Kementerian
Setelah membagi wilayah Indonesia menjadi 8 provinsi beserta
gubernurnya, PPKI kemudian Membentuk 12 Kementrian. Awalnya Ahmad
Subardjo mengusulkan dibentuknya 13 kementerian. Namun setelah diakukan
pembahasan, sidang memutuskan adanya 12 kementerian yang mengepalai departemen
dan 4 menteri negara. Berikut ini 12 departemen tersebut.
1) Departemen Dalam
Negeri dikepalai R.A.A. Wiranata Kusumah
2) Departemen Luar
Negeri dikepalai Mr. Ahmad Subardjo
3) Departemen
Kehakiman dikepalai Prof. Dr. Mr. Supomo
4) Departemen
Keuangan dikepalai Mr. A.A Maramis
5) Departemen
Kemakmuran dikepalai Surachman Cokroadisurjo
6) Departemen
Kesehatan dikepalai Dr. Buntaran Martoatmojo
7) Departemen
Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan dikepalai Ki Hajar Dewantara
8) Departemen Sosial
dikepalai Iwa Kusumasumantri
9) Departemen
Pertahanan dikepalai Supriyadi
10) Departemen
Perhubungan dikepalai Abikusno Tjokrosuyoso
11) Departemen
Pekerjaan Umum dikepalai Abikusno Tjokrosuyoso
12) Departemen
Penerangan dikepalai Mr. Amir Syarifudin
Sedangkan 4 menteri negara yaitu:
1) Menteri negara
Wachid Hasyim
2) Menteri negara M.
Amir
3) Menteri negara R.
Otto Iskandardinata
4) Menteri negara R.M
Sartono
Di samping itu diangkat pula beberapa pejabat tinggi negara
yaitu:
1) Ketua Mahkamah
Agung, Dr. Mr. Kusumaatmaja
2) Jaksa Agung, Mr.
Gatot Tarunamihardja
3) Sekretaris negara,
Mr. A.G. Pringgodigdo
4) Juru bicara
negara, Soekarjo Wirjopranoto
e. Pembentukan Komite
Nasional Indonesia
Tanggal 22 Agustus 1945 PPKI kembali menyelenggarakan rapat
pembentukan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang akan mengantikan PPKI. Soekarno
dan Hatta mengangkat 135 orang anggota KNIP. Seluruh anggota PPKI kecuali Soekarno
dan Hatta menjadi anggota KNIP yang kemudian dilantik pada tanggal 29 Agustus
1945. Tugas dan wewenang KNIP adalah menjalankan fungsi pengawasan dan berhak
ikut serta dalam menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
f. Membentuk Kekuatan
Pertahanan dan Keamanan
Pada tanggal 23 Agustus Presiden Soekarno mengesahkan secara
resmi Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertugas menjaga keamanan. Sebagian
besar anggota BKR terdiri dari mantan anggota PETA, KNIL, dan Heiho. Pada
tanggal 5 Oktober berdirilah TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Supriyadi (tokoh
perlawanan tentara PETA terhadap Jepang di Blitar) terpilih sebagai pimpinan
TKR. Atas dasar maklumat itu, Urip Sumohardjo segera membentuk Markas Besar TKR
yang dipusatkan di Yogyakarta.
3. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
Upaya bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan
dilakukan dengan dua cara, yaitu cara diplomasi dan cara perjuangan fisik
(perjuangan bersenjata).
a.
Perjuangan Fisik
1)
Insiden
di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945
yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah
Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera
tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan
pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato
Hoteru/Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman
kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam
hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera
Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di
tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya
para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap
Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan
kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih
yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman,
pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku
Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu,
sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati
kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai
perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta
agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam
perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak
untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman
mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Ploegman tewas oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang
berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan
Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke
atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama
Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera
dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian
birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah
Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945
meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris.
Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum
yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris,
sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk
meredakan situasi.
2)
Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan satu rangkaian
peristiwa pertempuran yang terjadi antara tentara Indonesia dan tentara Sekutu
yang berlansung sejak tanggal 27 Oktober sampai 20 November 1945. Pertempuran
yang paling besar terjadi pada tanggal 10 November 1945.
Pertempuran Surabaya diawali
dengan kedatangan Brigade 49/Divisi India ke-23 tentara Sekutu di bawah komando
Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby pada 25 Oktober 1945 di Surabaya. Tugas
pasukan ini adalah melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan para tahanan
perang Sekutu di Indonesia.
Semula pihak Indonesia menyambut
baik kedatangan tentara Sekutu. Tetapi setelah diketahui bahwa NICA membonceng
bersama rombongan tentara sekutu, muncullah pergerakan perlawanan rakyat
Indonesia melawan tentara Sekutu.
Pada tanggal 30 Oktober 1945,
terjadi bentrokan antara tentara Indonesia melawan tentara Inggris. Brigadir
Jenderal A.W.S. Mallaby tewas dalam bentrokan ini. Hal ini mendorong tentara
Sekutu mengirimkan pasukan dalam jumlah besar ke Surabaya. Pasukan baru
tersebut berada di bawah pimpinan Mayor Jenderal R.C. Mansergh.
Pada tanggal 9 November 1945,
pihak sekutu mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Batas waktu ultimatum
adalah pukul 06.00 tanggal
10 November 1945. Ultimatum
tersebut tidak dihiraukan karena dianggap sebagai penghinaan terhadap pejuang
Indonesia.
Pada tanggal 10 November 1945, tentara
Inggris melakukan serangan besar yang melibatkan 30.000 pasukan, sejumlah
pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Tentara Inggris mengira perlawanan
rakyat Surabaya dapat ditaklukkan dalam waktu beberapa hari. Di luar dugaan
tentara Inggris, para pelopor pemuda seperti Bung Tomo dan tokoh-tokoh agama
yang terdiri dari para kyai dan ulama terus menggerakan semangat perlawanan
pejuang Surabaya hingga perlawanan terus berlanjut berhari-hari bahkan
berlangsung beberapa minggu.
Meskipun akhirnya kota Surabaya berhasil
dikuasai tentara Sekutu, namun Pertempuran Surabaya menjadi simbol nasional
atas perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan. Untuk mengenang peristiwa
heroik di Surabaya, tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.
3)
Pertempuran
Lima Hari di Semarang
Pertempuran lima hari di Semarang
terjadi antara rakyat Indonesia diSemarang dengan tentara. Peristiwa ini
berawal ketika para tawanan veteran angkatan laut Jepang yang dipindahkan dari
Cepiring ke Bulu. Pemindahan ini dikawal oleh polisi Indonesia. Di tengah
perjalanan, mereka memberontak dan melarikan diri. Selanjutnya mereka bergabung
dengan batalyon Jepang yang berada di bawah pimpinan Mayor Kido yang masih
bersenjata di Jatingaleh, Semarang.
Pada
tanggal 14 Oktober 1945, tersiarnya kabar bahwa Jepang telah meracuni cadangan
air minum di Candi, Semarang. Dokter Kariadi selaku kepala laboratorium pusat
Rumah Sakit Rakyat memberanikan diri untuk memeriksa air minum tersebut. Akan
tetapi, ketika hendak melakukan pemeriksaan, Jepang menembaknya sehingga ia
gugur. Peristiwa ini membuat pada pemuda Semarang marah sehingga mereka
serempak menyerbu tentara Jepang.
Pada tanggal 15 sampai dengan 20 Oktober
1945, terjadi pertempuran antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dibantu
oleh barisan pemuda dengan tentara Jepang yang persenjataannya lebih lengkap.
Pertempuran berakhir setelah terjadi perundingan antara pihak Indonesia yang
diwakili oleh yaitu Kasman Singodimedjo dan Mr. Sartono dan pihak Jepang yang
diwakili Letnan Kolonel Nomura.
Untuk memperingati Pertempuran 5 Hari di
Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai monumen peringatan. Tugu Muda ini dibangun
pada tanggal 10 November 1950. Diresmikan oleh presiden Ir. Soekarno pada
tanggal 20 Mei 1953. Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam
peristiwa penting selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di pertemuan
antara Jl. Pemuda, Jl. Imam Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan
lawang sewu. Selain pembangunan Tugu Muda, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai
nama salah satu rumah sakit di Semarang.
4)
Perjuangan
Bersenjata di Ambarawa (Palagan Ambarawa)
Pada tanggal 21 November – 15 Desember 1945
TKR terlibat pertempuran sengit dengan Sekutu di Ambarawa. Penyebabnya Sekutu
membebaskan para interniran (tawanan Belanda) yang ditawan pejuang secara
sepihak di Magelang dan Ambarawa.
Tindakan Sekutu ini mendapat perlawanan
sengit dari pasukan Indonesia di bawah pimpinan Kolonel Isdiman. Namun, pada
awal pertempuran Kolonel Isdiman gugur, maka pimpinan pasukan diambil alih
Kolonel Soedirman, Komandan Divisi V Banyumas. Berkat perjuangan pasukan TKR,
tanggal 15 Desember tentara Sekutu berhasil dipukul mundur kembali ke Semarang.
Untuk mengenang peristiwa Palagan Ambarawa ini tanggal 15 Desember ditetapkan
sebagai "Hari Infantri".
5)
Perjuangan
Bersenjata di Bandung
Pada bulan Oktober 1945
pasukan AFNEI telah memasuki Bandung. AFNEI menuntut pasukan Indonesia
menyerahkan senjata dan membagi kota Bandung menjadi dua bagian. Bandung Utara
di bawah kekuasaan Sekutu,
Bandung Selatan dikuasai pejuang Indonesia. Sebagai pembatas kedua wilayah
adalah rel kereta api yang persis membelah kota Bandung.
TKR Bandung di bawah pimpinan Aruji
Kartawinata sesekali melakukan serangan terhadap kedudukan pasukan AFNEI.
Untuk kedua kalinya
tanggal 23 Maret 1946 AFNEI mengeluarkan ultimatum agar TRI (semula TKR) untuk
meninggalkan seluruh Bandung. Ultimatum ini ditanggapi berbeda oleh pemerintah
RI di Jakarta dan Markas TRI di Yogyakarta. Pemerintah menginstruksikan agar
TRI meninggalkan kota Bandung. Akhirnya TRI memilih patuh kepada pemerintah
pusat, walaupun dengan berat hati TRI kemudian meninggalkan kota Bandung sambil membungihanguskan kota tersebut.
Peristiwa inilah yang memunculkan sebutan "Bandung Lautan Api".
6)
Perjuangan
Bersenjata di Medan
Berita proklamasi
Republik Indonesia baru sampai di kota Medan pada tanggal 27 Agustus 1945.
Keterlambatan berita tersebut karena sulitnya komunikasi dan sensor ketat
terhadap berita-berita oleh tentara Jepang. Berita proklamasi kemerdekaan
dibawa oleh Mr. Teuku M. Hassan, yang diangkat menjadi gubernur Sumatra. Pada
tanggal 13 September 1945, para pemuda yang dipelopori oleh Achmad Tahir
membentuk Barisan Pemuda Indonesia. Pada tanggal 4 Oktober 1945, Barisan Pemuda
Indonesia beraksi mengambil alih gedung-gedung pemerintah dan merebut
senjata-senjata milik tentara Jepang.
Pada tanggal 9 Oktober
1945, pasukan Sekutu yang diboncengi serdadu Belanda dan NICA di bawah pimpinan
Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di kota Medan. Sebelumnya, Belanda
sudah mendaratkan suatu kelompok komando yang dipimpin oleh Westerling. Reaksi
awal para pemuda atas kedatangan Sekutu tersebut adalah membentuk TKR di Medan.
Tanggal 13 Oktober 1945
terjadi pertempuran pertama antara para pemuda dan pasukan Sekutu. Ini
merupakan awal perjuangan bersenjata yang dikenal sebagai pertempuran Medan Area.
Konfrontasi antara pejuang kemerdekaan dan serdadu NICA segera
menjalar ke seluruh Kota Medan. Karena insiden antara pasukan pejuang
kemerdekaan dan tentara NICA terus terjadi, maka pada tanggal 18 Oktober 1945
pihak Sekutu mengeluarkan maklumat yang berisi larangan terhadap rakyat untuk
membawa senjata dan semua senjata yang dimiliki harus diserahkan kepada Sekutu.
Pada tanggal 1 Desember 1945, AFNEI memasang sejumlah papan bertuliskan Fixed
Boundaries Medan Area (Batas Resmi Wilayah Medan) di berbagai sudut pinggiran
kota Medan. Papan nama itulah yang membuat pertempuran di Medan dan sekitarnya
dikenal sebagai Pertempuran Medan Area. Kemudian, Sekutu dan NICA mengadakan
aksi pembersihan unsur-unsur RI di seluruh kota. Para pejuang Indonesia
membalas aksi-aksi tersebut. Pada tanggal 10 Desember 1945 tentara Sekutu
melancarkan serangan militer besar-besaran, yang dilengkapi dengan pesawat
tempur canggih. Seluruh daerah Medan dijadikan sasaran serangan.
7)
Perjuangan
Bersenjata di Bali (Puputan Margarana)
Pada tanggal 2 – 3 Maret 1946 pasukan Belanda mendarat di Bali. Belanda
berusaha membujuk I Gusti Ngurah Rai agar mau bekerja sama dengan pihak
Belanda. Ajakan itu ditolak oleh Ngurah Rai.
Pada bulan April 1946, I Gusti Ngurah Rai dengan pasukannya Ciung Wanara
menyerbu Belanda di Denpasar, karena kalah persenjataan pasukannya terdesak.
Tanggal 18 November 1946 pasukan I Gusti Ngurah Rai kembali menyerang markas
Belanda di Tabanan. Markas digempur habis-habisan, Belanda dapat dikalahkan.
Setelah kemenangan itu pasukan Ngurah Rai mundur ke arah Tabanan dan memusatkan
markasnya di desa Margarana. Dua hari kemudian (20 November 1946) pasukan
Belanda dengan segala kekuatan yang ada menyerang pasukan Ngurah Rai beserta
seluruh pasukannya gugur dalam pertempuran itu. Oleh rakyat Bali setiap tanggal
20 November sebagai Hari Pahlawan Margarana.
8)
Serangan
Umum 1 Maret 1949
Serangan umum 1 Maret
1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949. Serangan bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia internasional
bahwa Republik Indonesia cukup kuat untuk mempertahankan kemerdekaan, meskipun
ibu kotanya telah diduduki oleh Belanda.
Serangan Umum 1 Maret
1949 dilakukan oleh pasukan TNI dari Brigade 10/Wehkreise III di bawah pimpinan
Letnan Kolonel Soeharto, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri
Sultan Hamengku Buwono IX (Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta). Pada malam hari
menjelang serangan umum itu, pasukan-pasukan TNI telah mendekati kota dan dalam
jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari pada tanggal 1 Maret
1949 sekitar pukul 06.00 WIB sewaktu sirine berbunyi tanda jam malam telah
berakhir, serangan umum dilancarkan dari segala penjuru kota. Pasukan Belanda
tidak menduga akan ada serangan mendadak seperti itu, sehingga dalam waktu yang
relatif singkat pasukan TNI berhasil memukul mundur pasukan Belanda keluar
Yogyakarta.
Dalam Serangan Umum TNI
akhirnya berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Peristiwa ini berhasil
mematahkan propaganda Belanda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah
tidak ada lagi. Keberhasilan Serangan Umum1Maret 1949 mendatangkan dukungan internasional
terhadap bangsa Indonesia. Peristiwa ini menjadi pendorong berubahnya sikap
pemerintah Amerika Serikat terhadap Belanda. Pemerintah Amerika Serikat yang
semula mendukung Belanda, berbalik menekan Belanda agar melakukan perundingan
dengan pihak RI. Oleh karena desakan itu, serta kedudukannya yang makin
terdesak oleh gerilyawan Indonesia, Belanda akhirnya bersedia berunding dengan RI.
b. Perjuangan Diplomasi
Berikut ini adalah
beberapa upaya diplomasi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk
mempertahankan kemerdekaannya.
1) Perundingan Linggajati
Dinamakan Perundingan
Linggarjati karena perundingan antara Indonesia dan Belanda ini dilaksanakan di
Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai
status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana
Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25
Maret 1947.
Butir-butir kesepakatan
perundingan antara lain:
a. Belanda mengakui secara de-facto
wilayah RI yaitu Jawa, Sumatra, dan Madura.
b. Belanda harus meninggalkan
wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
c. Belanda dan Indonesia sepakat
membentuk negara RIS.
d. Dalam bentuk RIS, Indonesia harus
tergabung dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri
Belanda sebagai kepala uni.
Pelaksanaan hasil
perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur
Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi
dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer
Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia
dan Belanda.
2) Perjanjian Renville
Perjanjian Renville
merupakan suatu perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang
Amerika Serikat sebagai tempat netral - USS Renville, yang berlabuh di
pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember
1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices
for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Kesepakatan yang
diambil dari Perjanjian Renville:
a. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan
Sumatra sebagai bagian wilayah RI.
b. Disetujuinya sebuah garis demarkasi
yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
c. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di
wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur ke daerah Indonesia di
Yogyakarta.
3) Perjanjian Roem-Royen
Disebut juga Perjanjian
Roem-Van Royen, yaitu suatu perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang
dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7
Mei 1949 di Hotel Des Indes Jakarta. Nama perjanjian diambil dari kedua
pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Royen. Maksud pertemuan ini
adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia
sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama.
Hasil pertemuan ini
adalah:
a. Angkatan bersenjata RI akan menghentikan
semua aktivitas gerilya
b. Pemerintah RI akan menghadiri Konferensi
Meja Bundar (KMB)
c. Pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta
d. Angkatan bersenjata Belanda akan
menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang
Pada tanggal 22 Juni,
sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
a. Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia
secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
b. Belanda dan Indonesia akan mendirikan
sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
c. Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak,
kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia
4) Konferensi Meja Bundar (KMB)
Konferensi Meja Bundar
berlangsung di Den Haag negeri Belanda antara 23 Agustus – 2 November 1949.
Delegasi Indonesia dipimpin Moh. Hatta. BFO (Bijjenkomst
voor Federaal Overleg) atau Pertemuan Permusyawarahan Federal oleh Sultan Hamid II, Belanda dipimpin oleh Van
Maarseven. Sedangkan UNCI dipimpin oleh Chritchley sebagai peninjau.
Konferensi berjalan
alot karena masing-masing mempertahankan kehendaknya. Masalah yang alot
dibicarakan yaitu masalah :
a. Istilah pengakuan kedaulatan atau penyerahan
kedaulatan
b. Masalah status KNIL
c. Masalah hutang biaya perang Hindia –
Belanda
d. Masalah status Irian Barat
Hasil-hasil KMB yang penting :
a. Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat
(RIS).
b. RIS dan Belanda merupakan Uni Indonesia –
Belanda yang dikepalai Ratu Belanda.
c. Penyerahan kedaulatan selambat-lambatnya
akhir 1949.
d. Semua hutang Hindia - Belanda dipikul RIS.
e. TNI menjadi inti tentara RIS yang secara
berangsur-angsur mengambil alih keamanan seluruh wilayah RIS.
f. Kedudukan Irian Barat akan
ditentukan selambat-lambatnya satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.
Pada tanggal 6 – 14
Desember 1949 KNIP mengadakan sidang yang salah satunya membahas hasil
keputusan KMB. Melalui pemungutan suara diperoleh hasil 226 setuju, 62 menolak
dan 31 meninggalkan sidang. Dengan demikian KNIP menerima hasil-hasil KMB. Pada
tanggal 15 Desember 1949, Ir. Soekarno ditetapkan menjadi presiden RIS.
Sedangkan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden. Keduanya dilantik 17 Desember
1949. tanggal 20 Desember 1949 Moh. Hatta dilantik sebagai Perdana Menteri oleh
Presiden Soekarno.
Tanggal 27 Desember
1949 berlangsung pengakuan kedaulatan di tiga tempat, yaitu:
a. Di
Amsterdam Belanda
1) Indonesia diwakili Moh. Hatta
2) Belanda diwakili Willem dress
3) Ketua Uni – Indonesia ratu
Yuliana, Mr. A.M.J.A. Sassen
b. Di Jakarta
1) Belanda diwakili A.H.J. Lovink
2) Indonesia diwakili Sri Sultan
Hamengkubuwono IX
c. Di Yogyakarta
Di Yogyakarta
penyerahan kedaulatan RI kepada RIS dilakukan oleh Pejabat Presiden Mr. Asaat
kepada A. Monohutu (Menteri Penerangan RIS).
4.
Perkembangan Politik Indonesia pada
Masa Kemerdekaan
a.
Republik Indonesia Serikat
Pada 23
Agustus – 2 November 1949, Konferensi Meja Bundar (KMB) diselenggarakan di Den
Haag, Belanda. Dalam konferensi ini, Belanda mengakui RIS (Republik Indonesia
Serikat) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pengakuan Belanda terhadap
RIS memberikan keuntungan bagi Indonesia karena Belanda mengakui secara formal
kedaulatan penuh negara Indonesia di bekas wilayah Hindia Belanda.
Meskipun
membawa keuntungan, pengakuan ini juga membawa dampak negatif, Republik
Indonesia yang semula berbentuk negara kesatuan harus berubah menjadi negara
serikat. Akibatnya, Republik Indonesia hanya menjadi salah satu negara bagian
saja dari RIS. Adapun wilayah RIS seperti berikut.
1)
Negara Bagian
Negara
bagian meliputi Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur,
Negara Madura, Negara Sumatra, Negara Sumatra Timur, dan Republik Indonesia.
2)
Satuan-Satuan Kenegaraan
Satuan
kenegaraan meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara,
Banjar, Dayak Besar, Bangka, Belitung, Riau, dan Jawa Tengah.
3)
Daerah Swapraja
Daerah Swapraja
meliputi Kota Waringin, Sabang, dan Padang.
Perubahan
bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara serikat mengharuskan adanya
penggantian UUD (Undang-Undang Dasar). Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD
Republik Indonesia Serikat yang diberi nama Konstitusi RIS. Selama berlakunya
Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tetap berlaku, tetapi hanya untuk negara bagian
Republik Indonesia.
b. Kembali
Menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Belum lama
sesudah pelantikan presiden dan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS),
muncul suatu peristiwa politik baru, yaitu mulai terdengar suara-suara dari
rakyat di berbagai pelosok tanah air yang menyatakan ketidakpuasannya dengan
pemerintah RIS. Sebagian besar dari seluruh rakyat menentang negara-negara boneka
dan daerah-daerah otonom yang diciptakan oleh gubernur jenderal Van Mook dan
Van de Plas sebagai pemimpin NICA (Netherland Indies Civil Administration)
yang sekaligus sebagai otak dari politik devide et impera. Alasan rakyat
Indonesia yang menghendaki pembubaran negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
dan pengembalian ke dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sesuai dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, antara lain :
1)
Konstitusi RIS yang membentuk negara federal
menimbulkan perpecahan bangsa.
2)
Beberapa negara bagian dan rakyat menghendaki
Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan
3)
Sebagian besar para pemimpin negara federal
tidak memperjuangkan rakyat, tetapi lebih memihak kepada Belanda
4)
Rakyat Indonesia merasa tidak puas dengan hasil
perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar) yang masih memberi peluang pada pihak
Belanda atas Indonesia
5)
Bentuk negara federal di Indonesia adalah
bentukan kolonial Belanda yang tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945
6)
Anggota kabinet sebagian besar adalah pendukung
unitarisme sehingga gerakan untuk membubarkan negara federal dan mengembalikan
bentuk negara Indonesia ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
7)
Pembentukan negara-negara bagian (federal) di
Indonesia tidak berdasarkan konsepsional, tetapi lebih berdasarkan kepada usaha
Belanda untuk menghancurkan negara Republik Indonesia
8)
Beberapa negara boneka bentukan Belanda
yang semula ditujukan untuk melemahkan persatuan dan kesatuan Indonesia, tetapi
pada perkembangannya, justru memiliki keinginan yang sama, yaitu menegakkan
kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Bentuk
negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diterapkan di Indonesia ternyata
tidak sesuai dengan cita-cita kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang
tertuang dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945. Oleh karena itu, pada
bulan Januari 1950, mulai muncul gerakan untuk mengubah bentuk negara RIS
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gerakan itu untuk
memperjuangkan kembalinya NKRI itu disikapi positif oleh negara bagian dan
satuan kenegaraan RIS, yakni ditandai dengan pernyataan sikap akan bergaungnya
RIS dengan Republik Indonesia di Yogyakarta. Akan tetapi, pemerintah RIS dan
Parlemen RIS secara konstitusional tidak memilliki wewenang untuk membubarkan
negara-negara bagian (karena untuk membubarkan negara-negara bagian perlu
adanya undang-undang yang sah dan tidak bertentangan dengan konstitusi RIS)
Pada tanggal
20 Februari 1950, pemerintah mengusulkan undang-undang (RUU) tentang tata cara
perubahan susunan kenegaraan RIS kepada DPR RIS. Usulan Rancangan Undang-Undang
(RUU) tersebut kemudian disahkan oleh DPR RIS menjadi Undang-Undang Darurat
nomor 11 tahun 1950 tanggal 8 Maret 1950. Undang-undang inilah yang kemudia digunakan
sebagai dasar hukum penggabungan negara-negara bagian dan satuan kenegaraan
RIS.
Pada tanggal
5 April 1950, hampir seluruh negara bagian dan satuan-satuan kenegaraan otonomi
tealah bergabung dengan Republik Indonesia. Penggabungan ini dipelopori oleh
negara Madura dan negara Jawa Timur yang memahami kehendak rakyatnya, kecuali
bagian Indonesia Timur dan bagian Sumatra Timur. Namun demikian, dengan
pendekatan dan ajakan pemerintah RIS terhadap Negara Sumatra Timur (NST) dan
Negara Indonesia Timur (NIT) agar bergabung kembali dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Usaha pemerintah berhasil mengajak kedua negara
bagian tersebut bergabung dan mengawali penyelenggaraan konferensi bersama.
Konferensi
bersama yang pertama dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 1950 antara pemerintah
RIS, RI, dan NIT sedangkan konferensi kedua dilaksanakan pada tanggal 19 Mei
1950 antara RIS dan RI. Hasil konferensi ini kemudian dituangkan dalam “Piagam
Persetujuan”. Setelah melaksanakan perundingan antara pemerintah Republik
Indonesia Serikat dengan Republik Indonesia, maka pada tanggal 19 Mei 1950
keduanya mencapai persetujuan, yakni pembentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sesuai dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. Bersamaan dengan
itu, dibentuk pula panitia penyusunan UUD Negara Kesatuan. Akhhirnya, panitia
telah berhasil menyusun UUD, yang kemudian terkenal dengan nama Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).
Pada tanggal
15 Agustus 1950, presiden Soekarno menandatangani Rancangan Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) yang telah
ditandatangani oleh presiden Soekarno adalah konstitusi RIS (mengubah beberapa
pasal yang tidak sesuai dengan bentuk negara kesatuan).
Setelah
ditandantangani presiden Soekarno, UUDS 1950 mulai berlaku tanggal 17 Agustus
1950 dan sekaligus menandai secara resmi pembubaran RIS dan kembali ke NKRI.
Kembalinya NKRI, sebagaimana bunyi Bab 1 Pasal 1 UUDS 1950, menyatakan bahwa RI
yang merdeka dan berdaulat adalah suatu negara hukum yang demokratis dan
berbentuk kesatuan. Pada pasal 2 dipertegas lagi bahwa RI meliputi seluruh
wilayag Indonesia.
Pada tanggal
15 Agustus 1950, pemangku jabatan presiden Republik Indonesia Assaat
menyerahkan kekuasaan kepada presiden Soekarno. Dengan demikian, pada tanggal
17 Agustus 1950, secara resmi RIS telah dibubarkan dan sebagai gantinya,
berdirilah NKRI, serta digantinya Konstitusi RIS dengan UUDS 1950, Indonesia
telah kembali ke Negara Kesatuan dengan melaksanakan sistem Demokrasi Liberal.
Setelah negara Indonesia berhasil berbenah diri dari segala macam bentuk
gangguan keamanan dan telah berhasil kembali ke NKRI pada tanggal 28 September
1950, Indonesia diterima menjadi anggota PBB yang ke-60.
c.
Gangguan Keamanan
1)
Pemberontakan PKI Madiun 1948
a) Latar
Belakang
Pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya
kabinet Amir Syarifuddin tahun 1948, yaitu ditandatanganinya perundingan
Renville, ternyata perundingan Renville yang sangat merugikan Indonesia. Maka
Amir Syarifuddin turun dari kabinetnya dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Ia
merasa kecewa karena kabinetnya jatuh kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat
(FDR) pada tanggal 28 Juni 1948.
Front Demokrasi Rakyat (FDR) ini didukung oleh Partai
Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Pada tanggal 11 Agustus 1948, Muso tiba dari
Moskow. Semenjak kedatangan Muso bersatulah kekuatan PKI dan FDR di bawah
pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin.
b) Peristiwa
Kelompok ini seringkali melakukan aksi-aksinya antara lain:
(1) Melancarkan propaganda anti pemerintah.
(2) Mengadakan pemogokan-pemogokan kerja bagi para buruh di
perusahaan misalnya di pabrik karung di Delanggu Klaten.
(3) Melakukan pembunuhan-pembunuhan misalnya dalam bentrok
senjata di Solo 2 Juli 1948, Komandan Divisi LIV yakni Kolonel Sutarto secara
tiba-tiba terbunuh. Pada tanggal 13 September 1948 tokoh pejuang 1945 Dr.
Moewardi diculik dan dibunuh.
Gerakan PKI ini mencapai pucaknya pada tanggal 18 September
1948. PKI di bawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin melancarkan pemberontakan
yang dipusatkan di Madiun dan sekitarnya. Muso-Amir Syarifuddin kemudian
memproklamasikan berdirinya Negara Republik Soviet Indonesia.
c) Penumpasan
PKI Madiun
Presiden Soekarno dan perdana mentri M.Hatta mengutuk keras
pemberontakan PKI di Madiun. Pemerintah segera melancarkan operasi penumpasan
dengan GOM (Gerakan Operasi Militer). Panglima Jendral Soedirman kemudian
mengeluarkan perintah harian yang isinya antara lain menunjuk Kolonel Gatot
Subroto sebagai Gubernur Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono Gubernur Militer Jawa
Timur diperintahkan untuk memimpin dan menggerakkan pasukan untuk menumpas
pemberontakan PKI di Madiun dan sekitarnya.
Pasukan Siliwangi digerakkan dari Jawa Tengah. Brigade
mobil dan Gabungan Divisi Jawa Timur digerakkan dari Jawa Timur. Pada tanggal
10 September 1948 keadaan Madiun segera dapat dikendalikan oleh pemerintah
Indonesia. Muso tewas di Ponorogo, Amir Syarifuddin tertangkap di
Purwodadi.
2) Pemberontakan
DI/TII
DI/TII
merupakan gerakan yang mengatasnamakan Islam bertujuan membentuk Negara Islam
Indonesia (NII). Gerakan ini terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
a) DI/TII
Jawa Barat
(1) Latar
Belakang
Berdasarkan Perundingan Renville, kekuatan militer Republik
Indonesia harus meninggalkan wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda. TNI
harus mengungsi ke daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta yang dikuasai Republik
Indonesia.
(2) Peristiwa
Tidak semua komponen bangsa menaati isi Perjanjian Renville
yang dirasakan sangat merugikan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah Sekarmadji
Maridjan Kartosuwirjo beserta para pendukungnya.
Pada tanggal 7 Agustus 1949 di suatu desa di Kabupaten
Tasikmalaya (Jawa Barat), Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo memproklamasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia. Gerakannya dinamakan Darul Islam (DI) sedang
tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan ini dibentuk pada
saat Jawa Barat ditinggal oleh pasukan Siliwangi yang berhijrah ke Yogyakarta
dan Jawa Tengah dalam rangka melaksanakan ketentuan dalam Perundingan Renville.
Gerakan Darul Islam yang didirikan oleh Kartosuwirjo
mempunyai pengaruh yang cukup luas. Pengaruhnya sampai ke Aceh yang dipimpin
Daud Beureueh, Jawa Tengah (Brebes, Tegal) yang dipimpin Amir Fatah dan Kyai
Somolangu (Kebumen), Kalimantan Selatan dipimpin Ibnu Hajar, dan Sulawesi Selatan
dengan tokohnya Kahar Muzakar.
(3) Penyelesaian
Upaya penyelesaian DI/TII adalah sebagai berikut.
(a) Dengan cara damai yaitu mengirim surat yang dilakukan oleh
Moh. Natsir, tetapi gagal.
(b) Operasi militer, yang membutuhkan waktu lama karena:
1. medannya berupa daerah pegunungan-pegunungan sehingga
sangat mendukung pasukan DI/TII untuk bergerilya,
2. pasukan Kartosuwirjo dapat bergerak dengan leluasa di
kalangan rakyat,
3. pasukan DI /TII mendapat bantuan dari beberapa orang
Belanda, antara lain pemilik-pemilik perkebunan dan para pendukung negara
Pasundan,
4. suasana politik yang tidak stabil dan sikap beberapa
kalangan partai politik telah mempersulit usaha-usaha pemulihan keamanan.
(c) Operasi penumpasan dilakukan dengan taktik Pagar Betis dan
Bhratayuda. Melalui operasi militer Bhratayuda, DI/TII dapat dihancurkan.
Kartosuwirjo dapat ditangkap di Gunung Geber, Majalaya pada tanggal 4 Juni
1962.
b) DI/TII
Jawa Tengah
(1) Latar
Belakang
Setelah Kartosuwirjo memproklamasikan Negara Islam
Indonesia (NII), Amir Fatah menyatakan bergabung dengan DI/TII dan Jawa Tengah
menjadi bagian NII.
(2) Peristiwa
dan Penyelesaian
Pada mulanya pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dipimpin Amir
Fatah. Gerakan Amir Fatah yang menamakan diri Majelis Islam bergerak
di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Setelah bergabung dengan Kartosuwirjo,
Amir Fatah diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa Tengah.
Sementara itu, di daerah Kebumen terjadi pemberontakan yang
digerakkan Angkatan Umat Islam yang dipimpin Moh. Mahfudz Abdul
Rachman (Kyai Somolangu). Pemberontakan ini dapat ditumpas dalam waktu tiga
bulan. Sisa-sisa laskar yang lolos bergabung dengan DI/TII Kartosuwirjo.
Pada mulanya gerakan DI/TII di Jawa Tengah sudah mulai
terdesak oleh TNI. Akan tetapi, pada bulan Desember 1951 mereka menjadi kuat
kembali karena mendapat bantuan dari Batalyon 426. Batalyon 426 di daerah Kudus
dan Magelang memberontak dan menggabungkan diri dengan DI/TII. Kekuatan
batalyon pemberontak ini dapat dihancurkan. Sisa-sisanya lari ke Jawa Barat
bergabung dengan DI/TII Kartosuwirjo.
Sementara itu, di daerah Merapi dan Merbabu terjadi
kerusuhan yang dilakukan gerakan Merapi Merbabu Complex (MMC).
Gerakan ini dapat dihancurkan TNI pada bulan April 1952. Sisa-sisanya menggabungkan
diri dengan DI/TII. Kekuatan DI/TII di daerah Jawa Tengah yang semula dapat
dipatahkan justeru menjadi kuat lagi karena bergabungnya sisa-sisa Batalyon
426.
Untuk mengatasi pemberontakan itu, segera dibentuk pasukan Banteng
Raiders. Pasukan itu kemudian mengadakan operasi kilat yang dinamakan Gerakan
Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954, gerakan DI/TII di Jawa Tengah dapat
dihancurkan setelah pusat kekuatan gerakan DI/TII di perbatasan Pekalongan-Banyumas
dihancurkan.
c) DI/TII
Aceh
(1) Latar
Belakang
Penyebab timbulnya pemberontakan DI/TII di Aceh adalah
kekecewaan Daud Beureuh karena status Aceh pada tahun 1950 diturunkan dari
daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara.
(2) Peristiwa
Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh yang waktu itu
menjabat sebagai gubernur militer menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari
Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan SM. Kartosuwirjo.
(3) Penyelesaian
Dalam menghadapi pemberontakan DI/ TII di Aceh ini semula
pemerintah menggunakan kekuatan senjata. Selanjutnya atas prakarsa Kolonel M.
Yasin, Panglima Daerah Militer I/Iskandar Muda, pada tanggal 17-21 Desember 1962
diselenggarakan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang mendapat dukungan tokoh-tokoh
masyarakat Aceh sehingga pemberontakan DI/ TII di Aceh dapat dipadamkan.
d) DI/TII
Sulawesi Selatan
(1) Latar
Belakang
Penyebab dari pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan adalah
ketidakpuasan Kahar Muzakar terhadap kebijakan pemerintah mengenai
rasionalisasi militer.
Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah
agar pasukannya yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan
dimasukkan ke dalam Angkatan Perang RIS (APRIS). Tuntutan ini ditolak karena
harus melalui penyaringan.
(2) Peristiwa
Pemerintah melakukan pendekatan kepada Kahar Muzakar dengan
memberi pangkat Letnan Kolonel. Akan tetapi pada tanggal 17 Agustus 1951 Kahar
Muzakar beserta anak buahnya melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi dengan
melakukan teror terhadap rakyat.
Pada bulan Januari 1952, Kahar Muzakar menyatakan daerah Sulawesi
Selatan sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan
Kartosuwirjo.
(3) Penyelesaian
Untuk mengatasi pemberontakan Kahar Muzakar, pemerintah
melancarkan operasi militer dengan mengirimkan pasukan dari Devisi Siliwangi.
Pemberontakan Kahar Muzakar cukup sulit untuk ditumpas, mengingat pasukan Kahar
Muzakar sangat mengenal medan pertempuran. Akhirnya pada bulan Februari 1965
Kahar Muzakar tewas dalam sebuah pertempuran. Pembrontakan benar-benar dapat
ditumpas pada Juli 1965.
e) DI/TII
Kalimantan Selatan
(1) Latar
Belakang Peristiwa
Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dikobarkan Ibnu
Hadjar, seorang bekas Letnan Dua TNI. Ia memberontak dan menyatakan
gerakannya sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwirjo. Dengan pasukan yang
dinamakannya Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRYT), Ibnu Hadjar
menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan melakukan tindakan
pengacauan pada bulan Oktober 1950.
(2) Penyelesaian
Pemerintah memberi kesempatan kepada Ibnu Hadjar untuk
menghentikan pemberontakannya secara baik-baik. Ia pernah menyerahkan diri
dengan pasukannya. Ia diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik
Indonesia. Namun ia melarikan diri dan melanjutkan pemberontakan.
Pemerintah RI akhirnya mengambil tindakan tegas. Pada akhir
tahun 1959, pasukan gerombolan Ibnu Hadjar dapat ditumpas. Ibnu Hadjar sendiri dapat
ditangkap.
5.
Perkembangan Ekonomi Indonesia pada
Masa Kemerdekaan
Pada awal Kemerdekaan,
keadaan ekonomi bangsa Indonesia masih belum stabil. Hal ini disebabkan oleh
masalah-masalah ekonomi yang terjadi saat itu. Misalnya, inflasi yang terlalu
tinggi (hiperinflasi) dan blokade laut yang dilakukan Belanda.
a.
Permasalahan
Inflasi
Beberapa bulan
setelah Proklamasi Kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami inflasi yang terlalu
tinggi (hiperinflasi). Inflasi terjadi karena mata uang Jepang beredar
secara tak terkendali. Pada saat itu, pemerintah tidak dapat menyatakan mata
uang Jepang tidak berlaku karena belum memiliki mata uang sendiri sebagai
penggantinya. Kas Negara pun kosong, pajak dan bea masuk sangat kecil. Untuk
mengatasi masalah ini, pemerintah mengambil kebijakan berlakunya mata uang De Javasche Bank,
mata uang pemerintah Hindia Belanda dan mata uang pendudukan Jepang.
b.
Blokade
Laut
Blokade laut
yang dilakukan oleh Belanda dimulai pada bulan November 1945. Blokade ini
menutup pintu keluar-masuk perdagangan Indonesia. Akibatnya, barang-barang
dagangan milik Indonesia tidak dapat diekspor, dan Indonesia tidak dapat
memperoleh barang-barang impor yang sangat dibutuhkan. Tujuan Belanda melakukan
blokade ini adalah untuk meruntuhkan perekonomian Indonesia, yaitu dengan:
1)
Mencegah
masuknya senjata dan peralatan militer ke Indonesia.
2)
Mencegah
keluarnya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik pengusaha asing
lainnya.
3)
Melindungi
bangsa Indonesia dari tindakan yang dilakukan oleh bukan bangsa Indonesia.
Dalam rangka
menghadapi blokade laut ini, pemerintah melakukan berbagai upaya, di antaranya
sebagai berikut.
1)
Melaksanakan
Program Pinjaman Nasional
2)
Melakukan
Diplomasi ke India
3)
Mengadakan
Hubungan Dagang Langsung ke Luar Negeri
6.
Kehidupan Masyarakat Indonesia pada
Masa Kemerdekaan
a.
Kehidupan
Sosial
Sebelum kemerdekaan, telah terjadi diskriminasi
rasial dengan membagi- bagi kelas-kelas masyarakat. Saat itu, masyarakat
Indonesia didominasi oleh warga Eropa dan Jepang, sebagian besar warga pribumi
hanyalah masyarakat rendahan yang menjadi pekerja bagi para bangsawan dan
penguasa. Setelah Indonesia merdeka, segala bentuk diskriminasi rasial
dihapuskan dan semua warga Indonesia dinyatakan memiliki hak dan kewajiban yang
sama dalam segala bidang.
b.
Pendidikan
Pada
masa penjajahan, kesempatan memperolah pendidikan bagi anak- anak Indonesia
sangat terbatas. Dari sejumlah anak-anak usia sekolah, hanya sebagian kecil
saja yang sempat menikmati sekolah. Akibatnya, sebagian besar penduduk
Indonesia masih buta huruf. Oleh karena itu, segera setelah Proklamasi Kemerdekaan,
pemerintah mengangkat Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K).
Ki Hajar Dewantara menjabat jabatan ini hanya
selama 3 bulan. Kemudian, jabatan Menteri PP dan K dijabat oleh Mr. T.S.G.
Mulia yang hanya menjabat selama 5 bulan. Selanjutnya, jabatan Menteri PP dan K
dijabat oleh Mohammad Syafei. Kemudian, ia digantikan oleh Mr. Suwandi.
Pada masa jabatan Mr. Suwandi, dibentuk Panitia
Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang bertugas untuk meneliti dan
merumuskan masalah pengajaran setelah kemerdekaan. Setelah menyelesaikan
tugasnya, panitia ini menyampaikan saran-saran kepada pemerintah. Kemudian,
disusunlah dasar struktur dan sistem pendidikan di Indonesia. Tujuan umum
pendidikan di Indonesia merdeka adalah mendidik anak-anak menjadi warga negara
yang berguna, yang diharapkan kelak dapat memberikan pengetahuannya kepada
negara. Dengan kata lain, tujuan pendidikan pada masa itu lebih menekankan pada
penanaman semangat patriotisme.
Pendidikan pada awal Kemerdekaan terbagi atas 4
tingkatan, yaitu: pendidikan rendah, pendidikan menengah pertama, pendidikan
menengah atas, dan pendidikan tinggi. Pada akhir tahun 1949, tercatat sejumlah
24.775 buah sekolah rendah di seluruh Indonesia. Untuk pendidikan tinggi, sudah
ada sekolah tinggi dan akademi di beberapa kota seperti Jakarta, Klaten, Solo
dan Yogyakarta. Selain itu, ada pula universitas seperti Universitas Gadjah
Mada.
c. Kebudayaan
Perkembangan
budaya sebenarnya sudah terjadi sejak Indonesia belum merdeka. Banyak seniman
yang melakukan perjuangan dengan menggunakan karya seninya, seperti lukisan,
puisi, prosa. Misalnya, Raden Saleh melakukan kritik terhadap penjajah Belanda
dengan menggunakan media seni lukis. Lukisan yang dibuat oleh Raden Saleh menggambarkan
suatu penderitaan rakyat Indonesia dan juga kekejaman dari penjajah Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar