1.
Perkembangan
Dalam Bidang Politik
Supersemar dapat dikatakan sebagai tonggak dalam memasuki
orde baru kehidupan berbangsa dan bernegara atau tonggak Orde Baru. Pemerintah
Orde Baru menjelaskan bahwa pengertian Orde Baru adalah tatanan seluruh
kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan pada pelaksanaan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen.
Supersemar menjadi landasan yuridis Letnan Jenderal
Soeharto (pengemban Supersemar) untuk mengambil langkah-langkah di segala
bidang demi keselamatan negara. Adapun langkah-langkah politik yang diambil
Letjen Soeharto, antara lain sebagai berikut :
a. Tanggal
12 Maret 1966, pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya dari pusat sampai daerah.
b. Tanggal
18 Maret 1966, mengamankan 15 menteri yang terlibat dalam G30S tahun 1965.
Kelimabelas menteri (dalam kabinet Dwikora) tersebut adalah Dr. Subandrio, Dr.
Chairul Saleh, Ir. Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo, Oei Tju Tat, Ir. Surachman,
Yusuf Muda Dalam, Armunanto, Sutomo Martopradoto, A. Astrawinata, S.H. Mayjen
Achmadi, Drs.Achadi, Letkol Sjafei, J.K. Tumakaka, dan Mayjen Dr. Sumarmo.
c. Tanggal
25 Juli 1966 membentuk Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Adapun
tugas pokok dari Kabinet Ampera dikenal dengan nama Dwidharma yaitu dalam
rangka mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi. Dalam melaksanakan tugas ini
maka penjabarannya tertuang dalam Program Kabinet Ampera yang dikenal dengan
nama Catur Karya, meliputi :
1)
Memperbaiki
perikehidupan rakyat terutama dalam bidang sandang dan pangan.
2)
Melaksanakan
Pemilihan Umum paling lambat tanggal 5 Juli 1968.
3)
Melaksanakan
politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional.
4)
Melanjutkan
perjuangan anti imperalisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
d. Tanggal
11 Agustus 1966, melaksanakan persetujuan normalisasi hubungan dengan Malaysia
yang pernah putus sejak 17 September 1963. Persetujuan normalisasi hubungan
tersebut merupakan hasil Perundingan Bangkok yang diselenggarakan pada tanggal
29 Mei-1 Juni 1966, yang isinya, sebagai berikut:
1)
Rakyat
Sabah dan Serawak akan diberi kesempatan menegaskan lagi keputusan yang telah
mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Malaysia.
2)
Kedua
pemerintahan menyetujui memulihkan hubungan diplomatik.
3)
Menghentikan
tindakan-tindakan permusuhan.
Letjen Soeharto dalam melaksanakan semua langkah ini
berdasarkan pada amanat Supersemar. Untuk itu diperlukan dasar hukum yang kuat,
sehingga makna Supersemar bukan saja kepercayaan dan wewenang Soekarno kepada
Soeharto, tetapi juga sebagai wujud kehendak rakyat. Pada tanggal 20 Juni 1966
MPRS menyelenggarakan sidang umum, yang menerima dan menetapkan Supersemar
dalam salah satu ketetapannya, dari 24 ketetapan MPRS yang dihasilkannya.
Ketetapan MPRS penting yang terkait dengan perkembangan
politik yang terjadi pada waktu itu adalah:
a. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang memperkuat
kebijaksanaan Presiden/ Panglima ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris
Republik Indonesia yang dituangkan dalam Supersemar dan meningkat menjadi
ketetapan MPRS.
b. Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Dan pemungutan suara
dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
c. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang penegasan kembali
landasan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif. Bertujuan membentuk
satu persahabatan yang baik antara Indonesia dan semua negara di dunia,
terutama negara-negara Asia-Afrika atas dasar kerja sama membentuk satu dunia
baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme menuju perdamaian dunia
yang sempurna.
d. Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan
Kabinet Ampera yang menggantikan Kabinet Dwikora.
e.
Ketetapan
MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), pernyataan
sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah RI dan larangan setiap kegiatan
untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/
Marxisme-Leninisme.
Dalam sidang umum MPRS tanggal 20 Juni 1966 Soekarno
menyampaikan pidato pertanggungjawaban yang berjudul “Nawaksara” terkait dengan
peristiwa G30S/PKI. Soekarno menyempurnakan pertanggungjawabannya kepada MPRS
pada tanggal 10 Januari 1966 yang disebut “Pelengkap Nawaksara”. Namun MPRS
menolak pertanggungjawaban Soekarno melalui TAP MPRS No. V/MPRS/1966. Karena
itu MPRS melaksanakan Sidang Istimewa pada tanggal 7 – 12 Maret 1967 yang
menghasilkan empat ketetapan, yaitu:
a. Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan
kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal
Soeharto pemegang Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden hingga
dipilihnya Presiden oleh MPRS hasil Pemilu.
b. Ketetapan MPRS No. XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan
kembali Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Indonesia sebagai
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
c. Ketetapan MPRS No. XXXV/MPRS/1967 tentang pencabutan
Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi.
d.
Ketetapan
MPRS No. XXXVI/MPRS/1967 tentang pencabutan Ketetapan MPRS No. XXVI/MPRS/1966
tentang pencabutan panitia penelitian ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi
Bung Karno.
2. Perkembangan
Dalam Bidang Ekonomi
Selama beberapa tahun sebelum Orde Baru keadaan ekonomi
telah mengalami kemerosotan terus-menerus. Pada tahun 1955-1960 laju inflasi
rata-rata 25 % setahun. Dalam periode 1960-1965 harga-harga meningkat dengan
laju inflasi rata-rata 226 % setahun. Pada tahun 1966 laju inflasi itu mencapai
puncaknya, yaitu 650 % yang diikuti oleh kemerosotan ekonomi di segala bidang.
Demi terealisasikannya stabilitas ekonomi maka pemegang
Supersemar melakukan langkah-langkah yang meliputi :
a. Tanggal 11 Agustus 1966, dibentuknya Dewan Stabilitas
Ekonomi Nasional (DSEN).
b.
Tanggal 1
April 1969, dimulai Repelita sebagai langkah pembangunan secara bertahap dalam
jangka waktu lima tahunan.
Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dimulai tanggal 1
April 1969, menitikberatkan pada sektor pertanian. Dasar petimbangannya adalah
75 % penduduk hidup dari sektor pertanian, 55 % produksi nasional dari pertanian
dan lebih dari 60 % ekspor berasal dari komoditaspertanian. Adapun sasaran
pembangunan menurut Repelita adalah sebagai berikut :
(1) Pangan
(2) Sandang
(3) Perbaikan
prasarana
(4) Perumahan
rakyat
(5) Perluasan
lapangan kerja
(6) Kesejahteraan
rohani
Pelaksanaan pembangunan ini bertumpu pada
Trilogi Pembangunan, yaitu :
(1) Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya.
(2) Pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi.
(3) Stabilitas
pembangunan yang sehat dan dinamis.
Asas pembangunan yang dilakukan Orde Baru,
adalah:
(1) Asas
manfaat
(2) Asas
demokrasi
(3) Asas
adil dan merata
(4) Asas
kesadaran
(5) Modal
rohani dan mental
(6) Asas
perikehidupan dan kekeluargaan
(7) Asas
kepercayaan pada diri sendiri
Adapun modal dasar pembangunan nasional
adalah :
(1) Kemerdekaan
dan kedaulatan bangsa
(2) Kedudukan
geografi
(3) Sumber-sumber
kekayaan alam
(4) Jumlah
penduduk
(5) Modal
rohani dan mental
(6) Modal
budaya
(7) Potensi
efektif bangsa
(8) Angkatan
bersenjata
Faktor-faktor dominan yang menggerakkan modal dasar untuk
mencapai pembangunan adalah :
(1) Faktor
demografi dan sosial-budaya
(2) Faktor
klimatologi
(3) Faktor
geografi, hidrografi, geologi, dan topografi
(4) Faktor
flora dan fauna
(5) Faktor
kemungkinan pengembangan
3. Perkembangan
Dalam Bidang Sosial-Budaya
Perkembangan kehidupan sosial-budaya masa pemerintahan Orde
Baru dapat dilihat dari berbagai bidang. Dalam bidang kependudukan pemerintah
berusaha menekan pertumbuhan penduduk dengan melaksanakan Program Keluarga
Berencana (KB). Sehingga di tahun 1970-an laju pertumbuhan penduduk sekitar 2,5
% dapat ditekan menjadi 1,6 % setiap tahun di tahun 1990-an. Begitu juga dengan
usia harapan hidup, tahun 1970-an rata-rata sekitar 50 tahun, tetapi di tahun
1990-an menjadi 61 tahun. Melalui Program Puskesmas dan Posyandu angka kematian
bayi menurun dari 142 menjadi 63 per seribu kelahiran.
Di bidang pendidikan pemerintah meningkatkan pengadaan
fasilitas pendidikan dasar, sehingga dapat menampung anak-anak Indonesia usia
sekolah dasar. Hal ini sangat menunjang pelaksanaan wajib belajar 6 tahun, yang
sekarang meningkat menjadi wajar 9 tahun. Pada tahun 1990-an jumlah rakyat buta
huruf menurun menjadi 17 5 dari 39 % pada tahun 1971.
Di bidang tenaga kerja terkena dampak positif dari
meningkatnya pemerataan pendidikan. Pada tahun 1971 sekitar 43 % angkatan kerja
berasal dari tenaga yang belum pernah sekolah dan 2,8 % lulusan SMTA ke atas.
Kondisi ini telah berubah pada tahun 1990-an dimana angkatan kerja terdiri dari
17 % belum pernah sekolah, 15 % lulusan SMTA ke atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar