Sabtu, 02 Januari 2021

MASA ORDE BARU (1966 – 1998)

 

1.     Perkembangan Dalam Bidang Politik

Supersemar dapat dikatakan sebagai tonggak dalam memasuki orde baru kehidupan berbangsa dan bernegara atau tonggak Orde Baru. Pemerintah Orde Baru menjelaskan bahwa pengertian Orde Baru adalah tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen.

Supersemar menjadi landasan yuridis Letnan Jenderal Soeharto (pengemban Supersemar) untuk mengambil langkah-langkah di segala bidang demi keselamatan negara. Adapun langkah-langkah politik yang diambil Letjen Soeharto, antara lain sebagai berikut :

a.      Tanggal 12 Maret 1966, pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya dari pusat sampai daerah.

b.      Tanggal 18 Maret 1966, mengamankan 15 menteri yang terlibat dalam G30S tahun 1965. Kelimabelas menteri (dalam kabinet Dwikora) tersebut adalah Dr. Subandrio, Dr. Chairul Saleh, Ir. Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo, Oei Tju Tat, Ir. Surachman, Yusuf Muda Dalam, Armunanto, Sutomo Martopradoto, A. Astrawinata, S.H. Mayjen Achmadi, Drs.Achadi, Letkol Sjafei, J.K. Tumakaka, dan Mayjen Dr. Sumarmo.

c.      Tanggal 25 Juli 1966 membentuk Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Adapun tugas pokok dari Kabinet Ampera dikenal dengan nama Dwidharma yaitu dalam rangka mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi. Dalam melaksanakan tugas ini maka penjabarannya tertuang dalam Program Kabinet Ampera yang dikenal dengan nama Catur Karya, meliputi :

1)    Memperbaiki perikehidupan rakyat terutama dalam bidang sandang dan pangan.

2)    Melaksanakan Pemilihan Umum paling lambat tanggal 5 Juli 1968.

3)    Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional.

4)    Melanjutkan perjuangan anti imperalisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

d.       Tanggal 11 Agustus 1966, melaksanakan persetujuan normalisasi hubungan dengan Malaysia yang pernah putus sejak 17 September 1963. Persetujuan normalisasi hubungan tersebut merupakan hasil Perundingan Bangkok yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1966, yang isinya, sebagai berikut:

1)    Rakyat Sabah dan Serawak akan diberi kesempatan menegaskan lagi keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Malaysia.

2)    Kedua pemerintahan menyetujui memulihkan hubungan diplomatik.

3)    Menghentikan tindakan-tindakan permusuhan.

Letjen Soeharto dalam melaksanakan semua langkah ini berdasarkan pada amanat Supersemar. Untuk itu diperlukan dasar hukum yang kuat, sehingga makna Supersemar bukan saja kepercayaan dan wewenang Soekarno kepada Soeharto, tetapi juga sebagai wujud kehendak rakyat. Pada tanggal 20 Juni 1966 MPRS menyelenggarakan sidang umum, yang menerima dan menetapkan Supersemar dalam salah satu ketetapannya, dari 24 ketetapan MPRS yang dihasilkannya.

Ketetapan MPRS penting yang terkait dengan perkembangan politik yang terjadi pada waktu itu adalah:

a.       Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang memperkuat kebijaksanaan Presiden/ Panglima ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Republik Indonesia yang dituangkan dalam Supersemar dan meningkat menjadi ketetapan MPRS.

b.       Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Dan pemungutan suara dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.

c.       Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang penegasan kembali landasan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif. Bertujuan membentuk satu persahabatan yang baik antara Indonesia dan semua negara di dunia, terutama negara-negara Asia-Afrika atas dasar kerja sama membentuk satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme menuju perdamaian dunia yang sempurna.

d.       Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera yang menggantikan Kabinet Dwikora.

e.       Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah RI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme.

Dalam sidang umum MPRS tanggal 20 Juni 1966 Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban yang berjudul “Nawaksara” terkait dengan peristiwa G30S/PKI. Soekarno menyempurnakan pertanggungjawabannya kepada MPRS pada tanggal 10 Januari 1966 yang disebut “Pelengkap Nawaksara”. Namun MPRS menolak pertanggungjawaban Soekarno melalui TAP MPRS No. V/MPRS/1966. Karena itu MPRS melaksanakan Sidang Istimewa pada tanggal 7 – 12 Maret 1967 yang menghasilkan empat ketetapan, yaitu:

a.       Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto pemegang Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPRS hasil Pemilu.

b.       Ketetapan MPRS No. XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

c.       Ketetapan MPRS No. XXXV/MPRS/1967 tentang pencabutan Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi.

d.       Ketetapan MPRS No. XXXVI/MPRS/1967 tentang pencabutan Ketetapan MPRS No. XXVI/MPRS/1966 tentang pencabutan panitia penelitian ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

 

2.     Perkembangan Dalam Bidang Ekonomi

Selama beberapa tahun sebelum Orde Baru keadaan ekonomi telah mengalami kemerosotan terus-menerus. Pada tahun 1955-1960 laju inflasi rata-rata 25 % setahun. Dalam periode 1960-1965 harga-harga meningkat dengan laju inflasi rata-rata 226 % setahun. Pada tahun 1966 laju inflasi itu mencapai puncaknya, yaitu 650 % yang diikuti oleh kemerosotan ekonomi di segala bidang.

Demi terealisasikannya stabilitas ekonomi maka pemegang Supersemar melakukan langkah-langkah yang meliputi :

a.       Tanggal 11 Agustus 1966, dibentuknya Dewan Stabilitas Ekonomi Nasional (DSEN).

b.       Tanggal 1 April 1969, dimulai Repelita sebagai langkah pembangunan secara bertahap dalam jangka waktu lima tahunan.

Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dimulai tanggal 1 April 1969, menitikberatkan pada sektor pertanian. Dasar petimbangannya adalah 75 % penduduk hidup dari sektor pertanian, 55 % produksi nasional dari pertanian dan lebih dari 60 % ekspor berasal dari komoditaspertanian. Adapun sasaran pembangunan menurut Repelita adalah sebagai berikut :

(1)    Pangan

(2)    Sandang

(3)    Perbaikan prasarana

(4)    Perumahan rakyat

(5)    Perluasan lapangan kerja

(6)    Kesejahteraan rohani

Pelaksanaan pembangunan ini bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yaitu :

(1)    Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.

(2)    Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

(3)    Stabilitas pembangunan yang sehat dan dinamis.

Asas pembangunan yang dilakukan Orde Baru, adalah:

(1)    Asas manfaat

(2)    Asas demokrasi

(3)    Asas adil dan merata

(4)    Asas kesadaran

(5)    Modal rohani dan mental

(6)    Asas perikehidupan dan kekeluargaan

(7)    Asas kepercayaan pada diri sendiri

Adapun modal dasar pembangunan nasional adalah :

(1)    Kemerdekaan dan kedaulatan bangsa

(2)    Kedudukan geografi

(3)    Sumber-sumber kekayaan alam

(4)    Jumlah penduduk

(5)    Modal rohani dan mental

(6)    Modal budaya

(7)    Potensi efektif bangsa

(8)    Angkatan bersenjata

Faktor-faktor dominan yang menggerakkan modal dasar untuk mencapai pembangunan adalah :

(1)    Faktor demografi dan sosial-budaya

(2)    Faktor klimatologi

(3)    Faktor geografi, hidrografi, geologi, dan topografi

(4)    Faktor flora dan fauna

(5)    Faktor kemungkinan pengembangan

 

3.     Perkembangan Dalam Bidang Sosial-Budaya

Perkembangan kehidupan sosial-budaya masa pemerintahan Orde Baru dapat dilihat dari berbagai bidang. Dalam bidang kependudukan pemerintah berusaha menekan pertumbuhan penduduk dengan melaksanakan Program Keluarga Berencana (KB). Sehingga di tahun 1970-an laju pertumbuhan penduduk sekitar 2,5 % dapat ditekan menjadi 1,6 % setiap tahun di tahun 1990-an. Begitu juga dengan usia harapan hidup, tahun 1970-an rata-rata sekitar 50 tahun, tetapi di tahun 1990-an menjadi 61 tahun. Melalui Program Puskesmas dan Posyandu angka kematian bayi menurun dari 142 menjadi 63 per seribu kelahiran.

Di bidang pendidikan pemerintah meningkatkan pengadaan fasilitas pendidikan dasar, sehingga dapat menampung anak-anak Indonesia usia sekolah dasar. Hal ini sangat menunjang pelaksanaan wajib belajar 6 tahun, yang sekarang meningkat menjadi wajar 9 tahun. Pada tahun 1990-an jumlah rakyat buta huruf menurun menjadi 17 5 dari 39 % pada tahun 1971.

Di bidang tenaga kerja terkena dampak positif dari meningkatnya pemerataan pendidikan. Pada tahun 1971 sekitar 43 % angkatan kerja berasal dari tenaga yang belum pernah sekolah dan 2,8 % lulusan SMTA ke atas. Kondisi ini telah berubah pada tahun 1990-an dimana angkatan kerja terdiri dari 17 % belum pernah sekolah, 15 % lulusan SMTA ke atas.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar