Masa Demokrasi
Parlementer adalah masa ketika pemerintah Indonesia menggunakan UUDS 1950
(Undang-Undang Dasar Sementara) sebagai undang-undang negara. Masa Demokrasi
Parlementer disebut pula masa Demokrasi Liberal karena sistem politik dan
ekonomi yang berlaku menggunakan prinsip-prinsip liberal. Masa ini berlangsung
mulai 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959.
1.
Perkembangan Politik
a.
Sistem Pemerintahan
Menurut UUDS
1950, pemerintah Republik Indonesia menganut sistem demokrasi liberal. Dalam
demokrasi liberal berlaku sistem kabinet parlementer, artinya pemerintahan
dipegang oleh perdana menteri dan menteri-menterinya bertanggung jawab pada
parlemen atau DPR.
Dengan
berlakunya kabinet parlementer pemerintahan Republik Indonesia tidak stabil.
Hal ini disebabkan antara lain:
a.
partai politik mementingkan kepentingan
golongan masing-masing sehingga kabinet jatuh bangun;
b.
partai politik tidak mencerminkan dukungan
rakyat pemilih;
c.
partai politik yang berkuasa tidak dapat
melaksanakan programnya, sebab masa kerja kabinet pendek.
Sistem
kabinet parlementer memungkinkan adanya persaingan antarpartai politik untuk
menduduki kursi terbanyak dalam parlemen. Pada masa Demokrasi Liberal telah
terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali, yaitu sebagai berikut.
1) Kabinet
Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Pada tanggal
22 Agustus 1950 Presiden Soekarno mengangkat Muhammad Natsir dari Masyumi
sebagai formatur kabinet. Lima belas hari kemudian kabinet berhasil dibentuk
dengan nama Kabinet Natsir. Program kerja Kabinet Natsir, antara lain:
1)
mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu
Konstituante dalam waktu singkat
2)
menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman
3)
memperjuangkan penyelesaian masalah Irian
Barat.
Salah satu
keberhasilan Kabinet Natsir adalah diterimanya Indonesia sebagai anggota PBB
yang ke-60 pada tanggal 28 September 1950. Akhirnya Kabinet Natsir jatuh,
karena mosi Hadikusumo dari PNI tentang pembekuan dan pembubaran DPRD
Sementara.
2) Kabinet
Sukiman (27 April 1951 – 23 Februari 1952)
Dengan
jatuhnya Kabinet Natsir, Presiden Soekarno menunjuk Dr. Sukiman Wiryosanjoyo
dari Masyumi dan Dr. Suwiryo dari PNI untuk membentuk kabinet. Atas usaha dua
orang formatur ini terbentuklah kabinet yang diberi nama Kabinet Sukiman dengan
perdana menteri Dr. Sukiman dan wakil perdana menteri Dr. Suwiryo.
Program
kerja kabinet Sukiman antara lain:
1)
menjalankan tindakan-tindakan yang tegas
sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman
2)
mempercepat usaha penempatan bekas pejuang
dalam lapangan pembangunan
3)
menyelesaikan persiapan pemilihan umum
Konstituante.
4)
menjalankan politik luar negeri bebas aktif
yang menuju perdamaian
5)
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah
Republik Indonesia.
Kabinet
Sukiman jatuh, karena ditandatanganinya kerja sama keamanan Indonesia - Amerika
Serikat berdasarkan Mutual Security Aids (MSA).
3) Kabinet
Wilopo (3 April 1952 – 30 Juli 1953)
Kabinet
Wilopo merupakan koalisi dengan tulang punggung PNI, PSI, dan Masyumi Natsir.
Program kabinet Wilopo antara lain seperti berikut.
1)
Bidang pendidikan dan pengajaran adalah
mempercepat usaha perbaikan untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran.
2)
Bidang perburuhan adalah melengkapi undang-undang
perburuhan.
3)
Bidang keamanan adalah menyempurnakan
organisasi alat-alat kekuasaan negara.
4)
Bidang luar negeri adalah meneruskan perjuangan
merebut Irian Barat.
Kabinet
Wilopo jatuh karena Peristiwa Tanjung Morawa, Sumatra Utara yang ditunggangi oleh
PKI yang berhubungan dengan masalah pembagian tanah.
4) Kabinet Ali
– Wongso- Arifin atau Kabinet Ali I (1 Agustus 1953 – 24 Juli 1955)
Kabinet
Ali-Wongso-Arifin dibentuk pada tanggal 30 Juli 1953. Program kerja kabinet
Ali-Wongso-Arifin adalah sebagai berikut.
1)
Bidang dalam negeri, meliputi keamanan,
pemilihan umum, kemakmuran dan keuangan, organisasi negara, serta perburuhan.
2)
Bidang Irian Barat adalah mengusahakan
kembalinya Irian Barat ke dalam kekuasaan wilayah RI.
3)
Bidang politik luar negeri, meliputi politik
luar negeri bebas aktif, peninjauan kembali tentang hasil KMB.
Keberhasilan Kabinet Ali adalah pada masa
pemerintahannya berhasil melaksanakan Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Terjadinya peristiwa pergantian pimpinan Kepala Staf Angkatan Darat yang
dikenal dengan “Peristiwa 27 Juni 1955”, beberapa anggota parlemen mengajukan
mosi tidak percaya yang diterima oleh DPR.
5) Kabinet
Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956)
Program
kerja Kabinet Burhanuddin Harahap antara lain:
1)
mengembalikan kewibawaan moral pemerintah
2)
melaksanakan pemilihan umum
3)
memberantas korupsi
4)
meneruskan perjuangan merebut kembali irian
Barat.
Keberhasilan
Kabinet Burhanuddin Harapan adalah dapat menyelenggarakan pemilu pertama sejak
Indonesia merdeka. Setelah hasil pemungutan suara dan pembagian kursi di DPR
diumumkan, maka tanggal 2 Maret 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan
diri, menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno, untuk dibentuk kabinet
baru berdasarkan hasil pemilu.
6) Kabinet Ali
II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
Kabinet Ali
II dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 85 Tahun 1956. Program kerja
Kabinet Ali II, antara lain:
1)
pembatalan hasil KMB
2)
meneruskan perjuangan mewujudkan kekuasaan de
facto Indonesia atas Irian Barat dan membentuk Provinsi Irian Barat
3)
bidang dalam negeri, meliputi: memulihkan
keamanan, memperbaiki perekonomian dan keuangan, memperkuat pertahanan, memperbaiki
sistem perbuuruhan, memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran
4)
bidang luar negeri, meliputi menjalankan
politik luar negeri bebas aktif dan meneruskan kerja sama dengan negara-negara
Asia Afrika.
Keberhasilan
Kabinet Ali II adalah membatalkan hasil KMB, membentuk Provinsi Irian Barat
yang beribu kota di Soasio, Maluku Utara, dan pengiriman misi Garuda I ke
Mesir.
Sebab-sebab
kejatuhan Kabinet Ali II.
1)
Timbulnya pemberontakan di berbagai daerah
2)
Adanya Konsepsi Presiden 21 Februari 1957
3)
Adanya keretakan dalam tubuh kabinet, hal ini
dapat dibuktikan dengan mundurnya satu per satu anggota kabinet.
7) Kabinet
Juanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959)
Kabinet
Juanda atau Kabinet Karya dilantik pada tanggal 9 April 1957 dengan program
kerja:
1)
membentuk Dewan Nasional
2)
normalisasi keadaan Republik Indonesia
3)
melanjutkan pembatalan KMB
4)
memperjuangkan Irian Barat
5)
mempercepat pembangunan.
Salah satu
keberhasilan Kabinet Karya yaitu pada tanggal 18 November 1957 mengadakan rapat
umum pembebasan Irian Barat di Jakarta. Rapat ini diikuti dengan
tindakan-tindakan pemogokan kaum buruh di perusahaan Belanda dan pembentukan
Front Nasional Pembebasan Irian Barat. Tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno
mengeluarkan dekret, berarti negara kita kembali ke UUD 1945 dan UUDS 1950
tidak berlaku. Kabinet Juanda secara otomatis harus diganti, sehari kemudian
Ir. Juanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
b. Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian
yang dianut pada masa ini adalah sistem multi partai, yaitu suatu sistem
kepartaian yang memiliki banyak partai politik. Partai- partai tersebut antara
lain adalah sebagai berikut.
1) Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)
2) Partai Nasional Indonesia (PNI)
3) Partai Sosialis Indonesia (PSI)
4) Partai Komunis Indonesia (PKI)
5) Partai Buruh Indonesia (PBI)
6) Partai Rakyat Jelata (PRJ)
7) Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
8) Partai Rakyat Sosialis (PRS)
9) Persatuan Marhaen Indonesia (Permai)
10) Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI)
Banyaknya partai
politik yang ikut serta dalam pemerintahan menyebabkan munculnya persaingan
antarpartai. Partai-partai politik yang ada cenderung memperjuangkan
kepentingan golongan dari pada kepentingan nasional. Partai-partai yang ada
saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling menjatuhkan. Partai-partai
politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan
penting dalam parlemen sering melakukan oposisi yang kurang sehat dan berusaha
menjatuhkan partai politik yang memerintah. Hal inilah yang menyebabkan sering
terjadinya pergantian kabinet. Kabinet tidak berumur panjang sehingga
program-programnya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya dan menyebabkan
stabilitas politik, sosial ekonomi serta keamanan terganggu.
c. Pemilu 1955
1)
Latar Belakang Pemilihan Umum 1955
Pemilu merupakan salah satu
sarana untuk melaksanakan demokrasi guna mengikutsertakan rakyat dalam kehidupan bernegara, belum dapat dilaksanakan di tahun-tahun
pertama kemerdekaan sekalipun ide tentang itu sudah muncul.
Selama masa Presiden Soekarno (1945-1965), yang melewati beberapa era seperti
Revolusi fisik, Demokrasi Parlementer, dan Demokrasi Terpimpin, hanya sekali
terjadi Pemilu, yaitu Pemilu 1955. Pemilu ini terjadi pada masa pemerintahan
Perdana Menteri Buhanuddin Harahap dari Masyumi (29 Juli 1955 – 2 Maret 1956).
Akan tetapi peraturan yang dijadikan landasan dalam pemilihan umum 1955 adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 yang telah disusun pada masa pemerintahan
Perdana Menteri Wilopo dari PNI (30 Maret 1952 – 2 Juli 1953).
Adapun latar belakangnya diselengarakannya Pemilu 1955:
a) Revolusi fisik/perang kemerdekaan, menuntut
semua potensi bangsa untuk memfokuskan diri pada usaha mempertahankan
kemerdekaan.
b) Pertikaian internal, baik dalam lembaga
politik maupun pemerintah cukup menguras energi dan perhatian.
c)
Belum
adanya UU pemilu yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu (UU pemilu baru
disahkan pada tanggal 4 april 1953 yang dirancang dan
disahkan oleh Kabinet Wilopo)
Selain itu adanya dorongan oleh kesadaran untuk menciptakan demokrasi yang
sejati, masyarakat menuntut diadakan Pemilu. Pesiapan Pemilu dirintis oleh
kabinet Ali Sastroamijoyo I. Pada tanggal 31 Juli 1954, Panitia Pemilihan Umum
Pusat dibentuk. Panitia ini diketuai oleh Hadikusumo dari PNI. Pada tanggal 16
April 1955, Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilihan umum untuk parlemen akan
diadakan pada tanggal 29 September 1955. Pengumuman dari Hadikusumo sebagai
ketua panitia pemilihan umum pusat mendorong partai untuk meningkatkan
kampanyenya. Mereka berkampanye sampai pelosok desa. Setiap desa dan kota
dipenuhi oleh tanda gambar peserta pemilu yang bersaing. Masing-masing partai
berusaha untuk mendapatkan suara yang terbanyak.
2)
Tujuan Pemilihan Umum 1955
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1953, Pemilu 1955 dilakukan
untuk memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan Konstituante (Lembaga
yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi
negara).
Adapun Jumlah kursi DPR yang diperebutkan
berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi
DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
3)
Pelaksanaan Pemilihan Umum 1955
Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a) Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih
anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan
diikuti oleh 29 partai politik dan individu.
b)
Tahap
kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante.
Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu
DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia
wilayah timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan
pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus.
4)
Hasil Pemilihan Umum 1955
a)
Hasil Pemilu Tahap I (29 September 1955)
Pada tanggal 29 September 1955 lebih dari 39 juta rakyat Indonesia
memberikan suararanya dikotak-kotak suara. Hasil pemilihan Umum I yang diikuti
172 kontestan Pemilu 1955, hanya 28 kontestan (tiga di antaranya perseorangan)
yang berhasil memperoleh kursi. Empat partai besar secara berturut-turut
memenangkan kursi: Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3% dari jumlah pemilih),
Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis
Indonesia (39 kursi/15,4%).
b)
Hasil Pemilu Tahap II
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian
Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih
hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante empat besar
berturut-turut PNI (119 kursi), Masyumi (112 kursi), NU (91 kursi), dan PKI (80
kursi).
5)
Kelebihan
dan Kelemahan dari Pelaksanaan Pemilihan Umum 1955
a) Kelebihan Pelaksanaan Pemilu 1955
(1)
Tingkat partisipasi rakyat sangat besar (lebih
dari 90% dari semua warga punya hak pilih). Lebih dari 39 juta orang memberikan
suara, mewakili 91,5 persen dari para pemilih terdaftar.
(2)
Persentase suara yang sah cukup signifikan
(lebih dari 80% dari suara yang masuk) padahal lebih dari 70% penduduk
Indonesia masih buta huruf.
(3)
Pelaksanaannya berjalan secara aman, tertib,
dan disiplin serta jauh dari unsur kecurangan dan kekerasan.
b) Kelemahan Pelaksanaan Pemilu 1955
(1)
Krisis ketatanegaraan yang mendorong lahirnya Dekret
Presiden tanggal 5 Juli 1959.
(2)
Pemilu 1955 bahkan berujung pada krisis
ketatanegaraan yang mendorong lahirnya Dekret Presiden tanggal 5 Juli 1959
sebagai akibat dari kegagalan Dewan Konstituante dalam menghasilkan konstitusi
baru.
(3)
Tidak ada parpol yang memperoleh suara
mayoritas mutlak.
(4)
Tidak ada parpol yang memperoleh suara
mayoritas mutlak, sehingga tujuan Pemilu yang semula dimaksudkan untuk
menghasilkan parlemen yang representatif, stabilitas pemerintahan, dan mampu
menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950 tidak berhasil.
Selain itu, tidak adanya pemenang mayoritas juga menimbulkan masalah lain,
dimana kekuasaan terbagi-bagi ke dalam berbagai aliran politik yang akhirnya
mengakibatkan sistem pemerintahan saat itu menjadi tidak stabil.
(5)
Kekecewaan di antara Partai Politik
(6)
Jumlah partai lebih bertambah, dengan dua
puluh delapan partai mendapat kursi, sehingga masing-masing partai tidak
mendapatkan kursi secara maksimal.
d. Gangguan Keamanan
Berikut ini
beberapa gerakan pemberontakan yang terjadi pada masa Demokrasi Parlementer.
1)
Gerakan
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
a) Latar Belakang Terjadinya Pemberontakan APRA
APRA merupakan pemberontakan
yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda.
Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu bentuk negara federal
untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat). Suatu bentuk
negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir
semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesai tidak setuju
dengan bentuk negara federal. Akan tetapi juga tidak sedikit yang tetap
menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini menimbulkan banyak
pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat
itu. Pemberontakan-pemberontakan ini dilakukan oleh golongan-golongan tertentu
yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut jika Belanda
meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.
Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA) di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling merupakan gerakan yang
didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Salah satu landasan bagi gerakan
APRA ini adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil.
Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita
karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu
masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya. Menurut ramalan
itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil, yang akan memerintah
rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan damai dan
rakyat akan makmur dan sejahtera. Tidak hanya rakyat-rakyat biasa yang dihimpun
Westerling untuk menjadi tentaranya tetapi mantan tentara KNIL yang pro terhadap
Belanda juga ikut menjadi bagian dari tentara APRA.
Sebenarnya organisasi ini
sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu disahkan. Pada bulan November
1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah
mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang.
Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember
1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu
Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang
dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah
mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus Belanda
Korps Speciale Troepen (KST).
Tujuan Westerling membentuk
APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda
kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya
itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi
Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara
federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara bagian
RIS .
b) Tujuan Gerakan APRA
Gerakan APRA muncul di
kalangan KNIL yang dipimpin oleh Kapten Westerling. Gerakan ini dipelopori oleh
golongan kolonialis Belanda yang ingin mengamankan kepentingan ekonominya di
Indonesia dan bermaksud mempertahankan kedudukan negara Pasundan.
Tujuan gerakan APRA
sebenarnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan memiliki tentara
sendiri bagi negara-negara RIS.
c) Peristiwa dan Penumpasan APRA
Pada bulan Januari 1950,
APRA mengajukan ultimatum kepada pemerintah Republik Indonesia dan negara
Pasundan yang isinya tuntutan agar APRA diakui sebagai tentara Pasundan dan
keberadaan negara Pasundan tetap dipertahankan.
Ultimatum tersebut
dilanjutkan dengan melakukan gerakan teror pada tanggal 23 Januari 1950. APRA
menyerang kota Bandung dan berhasil menduduki Markas Divisi Siliwangi.
Akibatnya 79 orang anggota APRIS gugur, termasuk Letnan Kolonel Lembong.
Pemerintah segera mengirim
pasukan bantuan ke Bandung. Sementara di Jakarta segera diadakan perundingan
antara Perdana Menteri RIS dengan Komisaris Tinggi Belanda. Di Bandung Kepala
Staf Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Eri Sudewo menemui Panglima Divisi C
tentara Belanda, Mayor Jendral Engels (Komandan Tentara Belanda) dan hasilnya
Mayor Jendral Engels mendesak agar APRA segera meninggalkan kota Bandung.
Setelah meninggalkan kota Bandung gerombolan APRA menyebar ke berbagai tempat
dan terus dikejar oleh tentara APRIS dan dengan bantuan penduduk gerombolan
tersebut berhasil dilumpuhkan.
Gerakan APRA juga diarahkan
ke Jakarta. Westerling bekerja sama dengan Sultan Hamid II yang menjadi menteri
Negara dalam kabinet RIS. Mereka akan menyerang gedung tempat berlangsungnya
sidang kabinet dan merencanakan akan membunuh Menteri Pertahanan yaitu Sultan
Hamengkubuwono IX, Sekertaris Jendral Kementrian Pertahanan yaitu Mr. Ali
Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang.
Berkat kesigapan dari APRIS, usaha APRA di Jakarta berhasil digagalkan. Pada
tanggal 22 Februari 1950, Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri
dengan pesawat Catalina, sementara Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada
tanggal 4 April 1950.
2)
Gerakan
Andi Aziz
a) Latar Belakang Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di
Makassar yang diawali dengan adanya konflik di Sulawesi Selatan pada bulan
April 1950. Kekacauan yang berlangsung di Makassar ini terjadi karena adanya
demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka mendesak NIT
supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi
sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya negara federal.
Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.
Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada
tanggal 5 April 1950 pemerintah mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion
dari Jawa untuk mengamankan daerah tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah
tersebut dinilai mengancam kedudukan kelompok masyaraat pro-federal.
Selanjutnya para kelompok masyarakat pro-federal ini bergabung dan membentuk
sebuah pasukan “Pasukan Bebas” di bawah komando kapten Andi Azis. Ia menganggap
bahwa masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa latar belakang pemberontakan
Andi Azis adalah:
(1) Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia Timur hanya
merupakan tanggung jawab pasukan bekas KNIL saja.
(2) Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat) terhadap konflik di Sulawesi Selatan.
(3) Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur.
b) Dampak Pemberontakan Andi Aziz
Pada tanggal 5 April 1950, anggota pasukan Andi Azis
menyerang markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertempat di Makassar,
dan mereka pun berhasil menguasainya. Bahkan, Letkol Mokoginta berhasil ditawan
oleh pasukan Andi Azis. Akhirnya, Ir.P.D Diapri (Perdana Mentri NIT)
mengundurkan diri karena tidak setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh Andi
Azis dan ia digantikan oleh Ir. Putuhena yang pro-RI. Pada tanggal 21 April
1950, Sukawati yang menjabat sebagai Wali Negara NIT mengumumkan bahwa NIT
bersedia untuk bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
c) Upaya Penumpasan Pemberontakan Andi Aziz
Untuk menanggulangi pemberontakan yang dilakukan oleh Andi
Azis, pada tanggal 8 April 1950 pemerintah memberikan perintah kepada Andi Azis
bahwa setiap 4 x 24 jam ia harus melaporkan diri ke Jakarta untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ia lakukan. Untuk pasukan yang
terlibat dalam pemberontakan tersebut diperintahkan untuk menyerahkan diri dan
melepaskan semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim pasukan yang dipimpin
oleh A.E. Kawilarang untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan.
Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta setelah
didesak oleh Sukawati, Presiden dari Negara NIT. Namun karena keterlambatannya
untuk melapor, Andi Azis akhirnya ditangkap dan diadili untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan TNI yang dipimpin
oleh Mayor H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada
tanggal 21 April 1950, pasukan ini berhasil menguasai Makassar tanpa adanya
perlawanan dari pihak pemberontak.
Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin
oleh A.E Kawilarang mendarat di daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang
tercipta di Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama karena keberadaan
anggota KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar.
Para anggota KNIL memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan terjadinya
bentrok antara pasukan KNIL dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KNIL berlangsung
pada tanggal 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada saat itu sedang berada dalam
kondisi yang sangat menegangkan karena terjadinya peperangan antara pasukan
KNIL dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut pasukan APRIS berhasil menaklukan
lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan strategi pengepungan terhadap
tentara-tentara KNIL tersebut.
Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KNIL meminta untuk berunding
ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk
perperang dan melawan serangan dari lawan. Perundingan tersebut akhirnya
dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar
dari pihak KNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun setuju untuk
menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di daerah
Makassar tersebut, dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan
Makassar.
3)
Gerakan
Republik Maluku Selatan (RMS)
Pada tanggal 25 April 1950, Republik Maluku Selatan (RMS)
diproklamasikan oleh sekelompok orang mantan prajurit KNIL dan masyarakat
Pro-Belanda yang di antaranya ialah Dr. Christian Robert Steven Soumokil,
mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur. Pemberontakan RMS ini merupakan
suatu gerakan yang tidak hanya ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia
Timur melainkan untuk membentuk negara sendiri yang terpisah dari wilayah RIS.
Pada awalnya, Soumokil, salah seorang mantan jaksa agung NIT ini, juga pernah
terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Akan tetapi, setelah upayanya untuk
melarikan diri, akhirnya dia berhasil meloloskan diri dan pergi ke Maluku.
Selain itu, Soumokil juga dapat memindahkan anggota KNIL dan pasukan Baret
Hijau dari Makasar ke Ambon.
a) Latar Belakang Pemberontakan RMS
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin
oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil (mantan jaksa agung NIT)
merupakan sebuah gerakan sparatisme yang bertujuan bukan hanya ingin memisahkan
diri dari NIT melainkan untuk membentuk negara sendiri terpisah dari RIS.
Soumokil awalnya sudah terlibat dalam pemberontakan Andi Aziz akan tetapi dia
dapat melarikan diri ke Maluku. Soumokil juga dapat memindahkan pasukan KNIL
dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon.
Persamaan antara pemberontakan-pemberontakan Westerling,
Andi Aziz, serta usaha-usaha Soumokil adalah ketidakpuasan mereka dengan
terjadinya proses kembali ke Negara Kesatuan setelah KMB.
Pemberontakan-pemberontakan ini menggunakan unsur KNIL yang merasa tidak pasti
mengenai status mereka setelah KMB.
b) Jalannya Pemberontakan
Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung
NIT, Soumokil bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Jalannya pemberontakan adalah sebagai berikut.
(1) Gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan KNIL
dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara
Kesatuan RI.
(2) Tanggal 25 April 1950, para anggota RMS memproklamasikan
berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS).
(3) Tanggal 27 April 1950 Dr. J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai
Wakil Presiden RMS untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haag,
Belanda.
(4) Tanggal 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai
Presiden Rakyat Maluku Selatan.
(5) Tanggal 9 Mei 1950, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS
(APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima tertinggi
di angkatan perang.
c) Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku
Pemerintah berusaha mengatasi masalah ini secara damai
yaitu dengan mengirimkan misi damai yang dipimpin oleh tokoh asli Maluku, yaitu
dr. Leimena. Namun misi ini ditolak oleh Soumokil. Misi damai yang dikirim
selanjutnya terdiri dari para politikus, pendeta, dokter, wartawan pun tidak
dapat bertemu dengan pengikut Soumokil.
Karena upaya damai mengalami jalan buntu maka pemerintah
melakukan operasi militer untuk menumpas gerakan RMS yaitu Gerakan Operasi
Militer (GOM) III yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara
dan Teritorium Indonesia Timur. Operasi berlangsung dari tanggal 14 Juli 1950,
berhasil menguasai pos-pos penting di Pulau Buru, 19 Juli 1950 pasukan APRIS
berhasil menguasai Pulau Seram. Pada tanggal 28 September 1950 Ambon bagian
utara berhasil dikuasai. 3 November 1950 benteng Nieuw Victoria berhasil
dikuasai. Dengan jatuhnya Ambon maka perlawanan RMS dapat dipatahkan dan
sisa-sisa kekuatan RMS banyak yang melarikan diri ke Pulau Seram dan dalam
beberapa tahun membuat serangkaian kekacauan.
4)
Pemberontakan
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Piagam Perjuangan Rakyat
Semesta (Permesta)
a) Latar Belakang Pemberontakan PRRI/Permesta
Penyebab langsung pemberontakan PRRI/Permesta adalah adanya
hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
terutama di Sumatra dan Sulawesi mengenai masalah otonomi daerah dan
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Sikap tidak puas tersebut
mendapat dukungan dari sejumlah perwira militer.
Para perwira militer tersebut membentuk dewan daerah
sebagai berikut:
(1) Dewan Banteng, dibentuk tanggal 20 Desember 1956 di Sumatra Barat oleh
Letnan Kolonel Ahmad Husein.
(2) Dewan Gajah, dibentuk tanggal 22 Desember 1956 di Sumatra Utara oleh
Kolonel Maludin Simbolon.
(3) Dewan Garuda, dibentuk pada pertengahan bulan Januari 1957 oleh Letnan
Kolonel Barlian.
(4) Dewan Manguni, dibentuk pada tanggal 17 Pebruari 1957 di Manado oleh
Mayor Somba.
b) Usaha Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI/Permesta
Terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta ini mendorong
pemerintahan RI untuk mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution supaya menindak
tegas pemberontakan yang dilakukan oleh organisasi PRRI/Permesta tersebut.
Kabinet Nasution dan para mayoritas pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaya
pemberontakan tersebut untuk segera dimusnahkan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sementara itu, untuk pimpinan Masyumi dan PSI yang berada di Jakarta
sedang mendesak adanya perundingan dan penyelesaian secara damai. Namun pada
akhirnya, pemerintah RI memilih untuk menindak para pemberontak itu dengan
tegas. Pada akhir bulan Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai
pengeboman instansi-instansi penting yang berada di kota Padang, Bukittinggi,
dan Manado.
Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan
Siliwangi yang berada di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di
daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan itu dilakukan, Nasution telah
mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di ladang-ladang minyak
yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958, daerah
Pekanbaru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat
pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan
selanjutnya Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah
bekas pemberontakan PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang
melarikan diri ke area perhutanan yang berada di daerah tersebut.
Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan
tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya
disebut Operasi Merdeka pada bulan April 1958 dan operasi tersebut dipimpin
oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi Permesta diduga mendapatkan
bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya
pesawat yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang
tertembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961,
Achmad Husein menyerahkan diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para
tokoh-tokoh yang bergabung dalam gerakan Permesta juga menyerahkan diri.
e. Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Deklarasi Djuanda
Pada masa
Demokrasi Parlementer, Indonesia banyak mengalami gangguan stabilitas politik
dan keamanan. Meski demikian, pemerintah pada masa Demokrasi Parlementer mampu
mewujudkan beberapa keberhasilan yang membanggakan, di antaranya adalah
Penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Deklarasi Djuanda.
1) Penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA)
Konferensi Asia
Afrika (KAA) diselenggarakan pada tanggal 18–24 April
1955 di Bandung.
Konferensi ini dihadiri oleh 29 negara. Sidang berlangsung selama satu minggu
dan menghasilkan sepuluh prinsip yang dikenal dengan Dasasila Bandung.
Penyelenggaraan
Konferensi Asia Afrika (KAA) membawa keuntungan bagi Indonesia, pamor Indonesia
sebagai negara yang baru merdeka naik karena kemampuannya menyelenggarakan
konferensi tingkat internasional. Keuntungan lainnya adalah dukungan bagi
pembebasan Irian Barat yang saat itu masih diduduki Belanda.
Konferensi Asia
Afrika (KAA) juga berpengaruh terhadap dunia internasional. Setelah berakhirnya
KAA, beberapa negara di Asia dan Afrika mulai memperjuangkan nasibnya untuk
mencapai kemerdekaan dan kedudukan sebagai negara berdaulat penuh. Selain itu,
KAA menjadi awal lahirnya organisasi Gerakan Non-Blok.
2) Deklarasi Djuanda
Sebelum
Deklarasi Djuanda, Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial terkait
dengan batas wilayah. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa laut territorial
Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah dari pada pulau-pulau
dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan Indonesia.
Batas 3 mil ini
menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia.
Hal ini menyebabkan kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan tersebut tanpa
hambatan. Kondisi ini akan menyulitkan Indonesia dalam melakukan pengawasan
wilayah Indonesia. Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda
mendeklarasikan hukum teritorial. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai
Deklarasi Djuanda.
Penetapan
Deklarasi Djuanda dilakukan dalam Konvensi Hukum Laut PBB ke III Tahun 1982
(United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Pengakuan atas
Deklarasi Djuanda menyebabkan luas wilayah Republik Indonesia meluas hingga 2,5
kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km².
2.
Perkembangan Ekonomi
Pada masa Demokrasi Parlementer, bangsa Indonesia
menghadapi permasalahan ekonomi. Permasalahan yang dihadapi pemerintah
Indonesia pada saat itu mencakup permasalahan jangka pendek dan permasalahan
jangka panjang. Permasalahan jangka pendek yang dihadapi pemerintah Indonesia saat
itu adalah tingginya jumlah mata uang yang beredar dan meningkatnya biaya
hidup. Permasalahan jangka panjang yang dihadapi pemerintah adalah pertambahan
jumlah penduduk dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Untuk memperbaiki
kondisi ekonomi, pemerintah melakukan berbagai upaya, antara lain adalah
sebagai berikut.
a. Gunting Syafruddin
Dalam rangka
mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengatasi defisit anggaran, pada
tanggal 20 Maret 1950, Menteri Keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil
kebijakan memotong semua uang yang bernilai Rp2,50 ke atas hingga nilainya
tinggal setengahnya Melalui kebijakan ini, jumlah uang yang beredar dapat
dikurangi.
b. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem Ekonomi
Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah untuk mengubah struktur ekonomi
kolonial menjadi struktur ekonomi nasional.
c. Nasionalisasi Perusahaan Asing
Nasionalisasi
perusahaan asing dilakukan dengan pencabutan hak milik Belanda atau asing yang
kemudian diambil alih atau ditetapkan statusnya sebagai milik pemerintah
Republik Indonesia. Nasionalisasi yang dilakukan pemerintah terbagi dalam dua
tahap. Tahap pertama yaitu tahap pengambilalihan, penyitaan dan penguasaan.
Tahap kedua yaitu tahap pengambilan kebijakan yang pasti, yakni
perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu kemudian dinasionalisasikan.
d. Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa
Kabinet Burhanuddin Harahap, Indonesia mengirim delegasi ke Belanda untuk
merundingkan masalah Finansial Ekonomi (Finek). Perundingan ini dilakukan pada
tangal 7 Januari 1956. Rancangan persetujuan Finek yang diajukan Indonesia
terhadap pemerintah Belanda adalah sebagai berikut:
1) Pembatalan
Persetujuan Finek hasil KMB
2) Hubungan
Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral
3) Hubungan
finek didasarkan atas undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh
perjanjian lain.
Namun usul
Indonesia ini tidak diterima oleh Pemerintah Belanda, sehingga pemerintah
Indonesia secara sepihak melaksanakan rancangan fineknya dengan membubarkan Uni
Indonesia-Belanda pada tanggal 13 Febuari 1956 dengan tujuan melepaskan diri
dari ikatan ekonomi dengan Belanda. Dampak dari pelaksanaan finek ini, banyak
pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum
mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
e. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Pada masa
kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintah menyusun Rencana Pembangunan Lima
Tahun yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956 – 1961.
3.
Kehidupan Masyarakat
Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer
a. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial
masyarakat Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer banyak dipengaruhi oleh
gejolak politik dan permasalahan ekonomi. Gejolak politik menyebabkan munculnya
gangguan kemanan di berbagai tempat, dan upaya perbaikan ekonomi yang tidak
berjalan lancar. Menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran.
b. Pendidikan
Pada tahun 1950,
diadakan pengalihan masalah pendidikan dari Pemerintah Belanda kepada
Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat). Kemudian, disusunlah suatu
konsepsi pendidikan yang dititikberatkan kepada spesialisasi sebab menurut
Menteri Pendidikan pada saat itu, bangsa Indonesia sangat tertinggal dalam
pengetahuan teknik yang sangat dibutuhkan oleh dunia modern. Menurut garis
besar konsepsi tersebut, pendidikan umum dan pendidikan teknik dilaksanakan
dengan perbandingan 3 banding 1. Maksudnya, setiap ada 3 sekolah umum, diadakan
1 sekolah teknik.
Setiap lulusan
sekolah dasar diperbolehkan melanjutkan ke sekolah teknik menengah (3 tahun),
kemudian melanjutkan ke sekolah teknik atas (3 tahun). Setelah lulus sekolah
teknik menengah dan sekolah teknik atas, diharapkan siswa dapat mengerjakan
suatu bidang tertentu. Selain itu, karena Indonesia merupakan negara kepulauan,
di beberapa kota seperti Surabaya, Makassar, Ambon, Manado, Padang, dan
Palembang diadakan Akademi Pelayaran, Akademi Oseanografi, dan Akademi Research
Laut. Tenaga pengajarnya didatangkan dari luar negeri seperti Inggris, Amerika
Serikat, dan Prancis.
Pada masa
Demokrasi Parlementer didirikan beberapa universitas baru di antaranya adalah
Universitas Andalas di Padang, Universitas Sumatra Utara di Medan, Universitas
Indonesia di Jakarta, Universitas Padjajaran di Bandung, Universitas Airlangga
di Surabaya, dan Universitas Hasanuddin di Makassar.
c. Kesenian
Dalam bidang
kesenian, muncul berbagai organisasi seni lukis, seperti organisasi Pelukis
Indonesia (PI) dan Gabungan Pelukis Indonesia (GPI). Selain itu, berdiri pula
Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar