Sabtu, 02 Januari 2021

MASA DEMOKRASI PARLEMENTER (1950-1959)

 

Masa Demokrasi Parlementer adalah masa ketika pemerintah Indonesia menggunakan UUDS 1950 (Undang-Undang Dasar Sementara) sebagai undang-undang negara. Masa Demokrasi Parlementer disebut pula masa Demokrasi Liberal karena sistem politik dan ekonomi yang berlaku menggunakan prinsip-prinsip liberal. Masa ini berlangsung mulai 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959.

1.     Perkembangan Politik

a.    Sistem Pemerintahan

Menurut UUDS 1950, pemerintah Republik Indonesia menganut sistem demokrasi liberal. Dalam demokrasi liberal berlaku sistem kabinet parlementer, artinya pemerintahan dipegang oleh perdana menteri dan menteri-menterinya bertanggung jawab pada parlemen atau DPR.

Dengan berlakunya kabinet parlementer pemerintahan Republik Indonesia tidak stabil. Hal ini disebabkan antara lain:

a.     partai politik mementingkan kepentingan golongan masing-masing sehingga kabinet jatuh bangun;

b.     partai politik tidak mencerminkan dukungan rakyat pemilih;

c.     partai politik yang berkuasa tidak dapat melaksanakan programnya, sebab masa kerja kabinet pendek.

Sistem kabinet parlementer memungkinkan adanya persaingan antarpartai politik untuk menduduki kursi terbanyak dalam parlemen. Pada masa Demokrasi Liberal telah terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali, yaitu sebagai berikut.

1)    Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)

Pada tanggal 22 Agustus 1950 Presiden Soekarno mengangkat Muhammad Natsir dari Masyumi sebagai formatur kabinet. Lima belas hari kemudian kabinet berhasil dibentuk dengan nama Kabinet Natsir. Program kerja Kabinet Natsir, antara lain:

1)    mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu Konstituante dalam waktu singkat

2)    menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman

3)    memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Salah satu keberhasilan Kabinet Natsir adalah diterimanya Indonesia sebagai anggota PBB yang ke-60 pada tanggal 28 September 1950. Akhirnya Kabinet Natsir jatuh, karena mosi Hadikusumo dari PNI tentang pembekuan dan pembubaran DPRD Sementara.

2)    Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 23 Februari 1952)

Dengan jatuhnya Kabinet Natsir, Presiden Soekarno menunjuk Dr. Sukiman Wiryosanjoyo dari Masyumi dan Dr. Suwiryo dari PNI untuk membentuk kabinet. Atas usaha dua orang formatur ini terbentuklah kabinet yang diberi nama Kabinet Sukiman dengan perdana menteri Dr. Sukiman dan wakil perdana menteri Dr. Suwiryo.

Program kerja kabinet Sukiman antara lain:

1)    menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman

2)    mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam lapangan pembangunan

3)    menyelesaikan persiapan pemilihan umum Konstituante.

4)    menjalankan politik luar negeri bebas aktif yang menuju perdamaian

5)    memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia.

Kabinet Sukiman jatuh, karena ditandatanganinya kerja sama keamanan Indonesia - Amerika Serikat berdasarkan Mutual Security Aids (MSA).

3)    Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 30 Juli 1953)

Kabinet Wilopo merupakan koalisi dengan tulang punggung PNI, PSI, dan Masyumi Natsir. Program kabinet Wilopo antara lain seperti berikut.

1)    Bidang pendidikan dan pengajaran adalah mempercepat usaha perbaikan untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran.

2)    Bidang perburuhan adalah melengkapi undang-undang perburuhan.

3)    Bidang keamanan adalah menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara.

4)    Bidang luar negeri adalah meneruskan perjuangan merebut Irian Barat.

Kabinet Wilopo jatuh karena Peristiwa Tanjung Morawa, Sumatra Utara yang ditunggangi oleh PKI yang berhubungan dengan masalah pembagian tanah.

4)    Kabinet Ali – Wongso- Arifin atau Kabinet Ali I (1 Agustus 1953 – 24 Juli 1955)

Kabinet Ali-Wongso-Arifin dibentuk pada tanggal 30 Juli 1953. Program kerja kabinet Ali-Wongso-Arifin adalah sebagai berikut.

1)    Bidang dalam negeri, meliputi keamanan, pemilihan umum, kemakmuran dan keuangan, organisasi negara, serta perburuhan.

2)    Bidang Irian Barat adalah mengusahakan kembalinya Irian Barat ke dalam kekuasaan wilayah RI.

3)    Bidang politik luar negeri, meliputi politik luar negeri bebas aktif, peninjauan kembali tentang hasil KMB.

Keberhasilan Kabinet Ali adalah pada masa pemerintahannya berhasil melaksanakan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Terjadinya peristiwa pergantian pimpinan Kepala Staf Angkatan Darat yang dikenal dengan “Peristiwa 27 Juni 1955”, beberapa anggota parlemen mengajukan mosi tidak percaya yang diterima oleh DPR.

5)    Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956)

Program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap antara lain:

1)    mengembalikan kewibawaan moral pemerintah

2)    melaksanakan pemilihan umum

3)    memberantas korupsi

4)    meneruskan perjuangan merebut kembali irian Barat.

Keberhasilan Kabinet Burhanuddin Harapan adalah dapat menyelenggarakan pemilu pertama sejak Indonesia merdeka. Setelah hasil pemungutan suara dan pembagian kursi di DPR diumumkan, maka tanggal 2 Maret 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno, untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilu.

6)    Kabinet Ali II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957)

Kabinet Ali II dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 85 Tahun 1956. Program kerja Kabinet Ali II, antara lain:

1)    pembatalan hasil KMB

2)    meneruskan perjuangan mewujudkan kekuasaan de facto Indonesia atas Irian Barat dan membentuk Provinsi Irian Barat

3)    bidang dalam negeri, meliputi: memulihkan keamanan, memperbaiki perekonomian dan keuangan, memperkuat pertahanan, memperbaiki sistem perbuuruhan, memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran

4)    bidang luar negeri, meliputi menjalankan politik luar negeri bebas aktif dan meneruskan kerja sama dengan negara-negara Asia Afrika.

Keberhasilan Kabinet Ali II adalah membatalkan hasil KMB, membentuk Provinsi Irian Barat yang beribu kota di Soasio, Maluku Utara, dan pengiriman misi Garuda I ke Mesir.

Sebab-sebab kejatuhan Kabinet Ali II.

1)    Timbulnya pemberontakan di berbagai daerah

2)    Adanya Konsepsi Presiden 21 Februari 1957

3)    Adanya keretakan dalam tubuh kabinet, hal ini dapat dibuktikan dengan mundurnya satu per satu anggota kabinet.

7)    Kabinet Juanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959)

Kabinet Juanda atau Kabinet Karya dilantik pada tanggal 9 April 1957 dengan program kerja:

1)    membentuk Dewan Nasional

2)    normalisasi keadaan Republik Indonesia

3)    melanjutkan pembatalan KMB

4)    memperjuangkan Irian Barat

5)    mempercepat pembangunan.

Salah satu keberhasilan Kabinet Karya yaitu pada tanggal 18 November 1957 mengadakan rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta. Rapat ini diikuti dengan tindakan-tindakan pemogokan kaum buruh di perusahaan Belanda dan pembentukan Front Nasional Pembebasan Irian Barat. Tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekret, berarti negara kita kembali ke UUD 1945 dan UUDS 1950 tidak berlaku. Kabinet Juanda secara otomatis harus diganti, sehari kemudian Ir. Juanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

 

b.    Sistem Kepartaian

Sistem kepartaian yang dianut pada masa ini adalah sistem multi partai, yaitu suatu sistem kepartaian yang memiliki banyak partai politik. Partai- partai tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

1)    Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)

2)    Partai Nasional Indonesia (PNI)

3)    Partai Sosialis Indonesia (PSI)

4)    Partai Komunis Indonesia (PKI)

5)    Partai Buruh Indonesia (PBI)

6)    Partai Rakyat Jelata (PRJ)

7)    Partai Kristen Indonesia (Parkindo)

8)    Partai Rakyat Sosialis (PRS)

9)    Persatuan Marhaen Indonesia (Permai)

10)  Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI)

Banyaknya partai politik yang ikut serta dalam pemerintahan menyebabkan munculnya persaingan antarpartai. Partai-partai politik yang ada cenderung memperjuangkan kepentingan golongan dari pada kepentingan nasional. Partai-partai yang ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling menjatuhkan. Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan penting dalam parlemen sering melakukan oposisi yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik yang memerintah. Hal inilah yang menyebabkan sering terjadinya pergantian kabinet. Kabinet tidak berumur panjang sehingga program-programnya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya dan menyebabkan stabilitas politik, sosial ekonomi serta keamanan terganggu.

 

c.    Pemilu 1955

1)    Latar Belakang Pemilihan Umum 1955

 

Pemilu merupakan salah satu sarana untuk melaksanakan demokrasi guna mengikutsertakan rakyat dalam kehidupan bernegara, belum dapat dilaksanakan di tahun-tahun pertama kemerdekaan sekalipun ide tentang itu sudah muncul.

Selama masa Presiden Soekarno (1945-1965), yang melewati beberapa era seperti Revolusi fisik, Demokrasi Parlementer, dan Demokrasi Terpimpin, hanya sekali terjadi Pemilu, yaitu Pemilu 1955. Pemilu ini terjadi pada masa pemerintahan Perdana Menteri Buhanuddin Harahap dari Masyumi (29 Juli 1955 – 2 Maret 1956). Akan tetapi peraturan yang dijadikan landasan dalam pemilihan umum 1955 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 yang telah disusun pada masa pemerintahan Perdana Menteri Wilopo dari PNI (30 Maret 1952 – 2 Juli 1953).

Adapun latar belakangnya diselengarakannya Pemilu 1955:

a)       Revolusi fisik/perang kemerdekaan, menuntut semua potensi bangsa untuk memfokuskan diri pada usaha mempertahankan kemerdekaan.

b)       Pertikaian internal, baik dalam lembaga politik maupun pemerintah cukup menguras energi dan perhatian.

c)     Belum adanya UU pemilu yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu (UU pemilu baru disahkan pada tanggal 4 april 1953 yang dirancang dan disahkan  oleh Kabinet Wilopo)

Selain itu adanya dorongan oleh kesadaran untuk menciptakan demokrasi yang sejati, masyarakat menuntut diadakan Pemilu. Pesiapan Pemilu dirintis oleh kabinet Ali Sastroamijoyo I. Pada tanggal 31 Juli 1954, Panitia Pemilihan Umum Pusat dibentuk. Panitia ini diketuai oleh Hadikusumo dari PNI. Pada tanggal 16 April 1955, Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilihan umum untuk parlemen akan diadakan pada tanggal 29 September 1955. Pengumuman dari Hadikusumo sebagai ketua panitia pemilihan umum pusat mendorong partai untuk meningkatkan kampanyenya. Mereka berkampanye sampai pelosok desa. Setiap desa dan kota dipenuhi oleh tanda gambar peserta pemilu yang bersaing. Masing-masing partai berusaha untuk mendapatkan suara yang terbanyak.

2)    Tujuan Pemilihan Umum 1955

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, Pemilu 1955 dilakukan  untuk memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan Konstituante (Lembaga yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi negara).

Adapun Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.

3)    Pelaksanaan Pemilihan Umum 1955

Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

a)       Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu.

b)    Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia wilayah timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus.

4)    Hasil Pemilihan Umum 1955

a)    Hasil Pemilu Tahap I (29 September 1955)

Pada tanggal 29 September 1955 lebih dari 39 juta rakyat Indonesia memberikan suararanya dikotak-kotak suara. Hasil pemilihan Umum I yang diikuti 172 kontestan Pemilu 1955, hanya 28 kontestan (tiga di antaranya perseorangan) yang berhasil memperoleh kursi. Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi: Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3% dari jumlah pemilih), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%).

b)    Hasil Pemilu Tahap II

Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante empat besar berturut-turut PNI (119 kursi), Masyumi (112 kursi), NU (91 kursi), dan PKI (80 kursi).

5)    Kelebihan dan Kelemahan dari Pelaksanaan Pemilihan Umum 1955

a)    Kelebihan Pelaksanaan Pemilu 1955

(1)   Tingkat partisipasi rakyat sangat besar (lebih dari 90% dari semua warga punya hak pilih). Lebih dari 39 juta orang memberikan suara, mewakili 91,5 persen dari para pemilih terdaftar.

(2)   Persentase suara yang sah cukup signifikan (lebih dari 80% dari suara yang masuk) padahal lebih dari 70% penduduk Indonesia masih buta huruf.

(3)   Pelaksanaannya berjalan secara aman, tertib, dan disiplin serta jauh dari unsur kecurangan dan kekerasan.

b)    Kelemahan Pelaksanaan Pemilu 1955

(1)   Krisis ketatanegaraan yang mendorong lahirnya Dekret Presiden tanggal 5 Juli 1959. 

(2)   Pemilu 1955 bahkan berujung pada krisis ketatanegaraan yang mendorong lahirnya Dekret Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagai akibat dari kegagalan Dewan Konstituante dalam menghasilkan konstitusi baru.

(3)   Tidak ada parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak.

(4)   Tidak ada parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak, sehingga tujuan Pemilu yang semula dimaksudkan untuk menghasilkan parlemen yang representatif, stabilitas pemerintahan, dan mampu menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950 tidak berhasil. Selain itu, tidak adanya pemenang mayoritas juga menimbulkan masalah lain, dimana kekuasaan terbagi-bagi ke dalam berbagai aliran politik yang akhirnya mengakibatkan sistem pemerintahan saat itu menjadi tidak stabil.

(5)   Kekecewaan di antara Partai Politik

(6)   Jumlah partai lebih bertambah, dengan dua puluh delapan partai mendapat kursi, sehingga masing-masing partai tidak mendapatkan kursi secara maksimal.

 

d.    Gangguan Keamanan

Berikut ini beberapa gerakan pemberontakan yang terjadi pada masa Demokrasi Parlementer.

1)    Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

a)    Latar Belakang Terjadinya Pemberontakan APRA

APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu bentuk negara federal untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat). Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesai tidak setuju dengan bentuk negara federal. Akan tetapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan-pemberontakan ini dilakukan oleh golongan-golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut jika Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.

Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling merupakan gerakan yang didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Salah satu landasan bagi gerakan APRA ini adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil, yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan damai dan rakyat akan makmur dan sejahtera. Tidak hanya rakyat-rakyat biasa yang dihimpun Westerling untuk menjadi tentaranya tetapi mantan tentara KNIL yang pro terhadap Belanda juga ikut menjadi bagian dari tentara APRA.

Sebenarnya organisasi ini sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu disahkan. Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus Belanda Korps Speciale Troepen (KST).

Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS .

 

b)    Tujuan Gerakan APRA

Gerakan APRA muncul di kalangan KNIL yang dipimpin oleh Kapten Westerling. Gerakan ini dipelopori oleh golongan kolonialis Belanda yang ingin mengamankan kepentingan ekonominya di Indonesia dan bermaksud mempertahankan kedudukan negara Pasundan.

 

Tujuan gerakan APRA sebenarnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara  federal di Indonesia dan memiliki tentara sendiri bagi negara-negara RIS.

 

c)     Peristiwa dan Penumpasan APRA

Pada bulan Januari 1950, APRA mengajukan ultimatum kepada pemerintah Republik Indonesia dan negara Pasundan yang isinya tuntutan agar APRA diakui sebagai tentara Pasundan dan keberadaan negara Pasundan tetap dipertahankan.

Ultimatum tersebut dilanjutkan dengan melakukan gerakan teror pada tanggal 23 Januari 1950. APRA menyerang kota Bandung dan berhasil menduduki Markas Divisi Siliwangi. Akibatnya 79 orang anggota APRIS gugur, termasuk Letnan Kolonel Lembong.

Pemerintah segera mengirim pasukan bantuan ke Bandung. Sementara di Jakarta segera diadakan perundingan antara Perdana Menteri RIS dengan Komisaris Tinggi Belanda. Di Bandung Kepala Staf Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Eri Sudewo menemui Panglima Divisi C tentara Belanda, Mayor Jendral Engels (Komandan Tentara Belanda) dan hasilnya Mayor Jendral Engels mendesak agar APRA segera meninggalkan kota Bandung. Setelah meninggalkan kota Bandung gerombolan APRA menyebar ke berbagai tempat dan terus dikejar oleh tentara APRIS dan dengan bantuan penduduk gerombolan tersebut berhasil dilumpuhkan.

Gerakan APRA juga diarahkan ke Jakarta. Westerling bekerja sama dengan Sultan Hamid II yang menjadi menteri Negara dalam kabinet RIS. Mereka akan menyerang gedung tempat berlangsungnya sidang kabinet dan merencanakan akan membunuh Menteri Pertahanan yaitu Sultan Hamengkubuwono IX, Sekertaris Jendral Kementrian Pertahanan yaitu Mr. Ali Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang. Berkat kesigapan dari APRIS, usaha APRA di Jakarta berhasil digagalkan. Pada tanggal 22 Februari 1950, Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri dengan pesawat Catalina, sementara Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950.

 

2)    Gerakan Andi Aziz

a)    Latar Belakang Pemberontakan Andi Azis

Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali dengan adanya konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang berlangsung di Makassar ini terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka mendesak NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya negara federal. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.

Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950 pemerintah mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk mengamankan daerah tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai mengancam kedudukan kelompok masyaraat pro-federal. Selanjutnya para kelompok masyarakat pro-federal ini bergabung dan membentuk sebuah pasukan “Pasukan Bebas” di bawah komando kapten Andi Azis. Ia menganggap bahwa masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa latar belakang pemberontakan Andi Azis adalah:

(1)   Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia Timur hanya merupakan tanggung jawab pasukan bekas KNIL saja.

(2)   Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) terhadap konflik di Sulawesi Selatan.

(3)   Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur.

 

b)    Dampak Pemberontakan Andi Aziz

Pada tanggal 5 April 1950, anggota pasukan Andi Azis menyerang markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertempat di Makassar, dan mereka pun berhasil menguasainya. Bahkan, Letkol Mokoginta berhasil ditawan oleh pasukan Andi Azis. Akhirnya, Ir.P.D Diapri (Perdana Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh Andi Azis dan ia digantikan oleh Ir. Putuhena yang pro-RI. Pada tanggal 21 April 1950, Sukawati yang menjabat sebagai Wali Negara NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia untuk bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

 

c)     Upaya Penumpasan Pemberontakan Andi Aziz

Untuk menanggulangi pemberontakan yang dilakukan oleh Andi Azis, pada tanggal 8 April 1950 pemerintah memberikan perintah kepada Andi Azis bahwa setiap 4 x 24 jam ia harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ia lakukan. Untuk pasukan yang terlibat dalam pemberontakan tersebut diperintahkan untuk menyerahkan diri dan melepaskan semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim pasukan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan.

Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta setelah didesak oleh Sukawati, Presiden dari Negara NIT. Namun karena keterlambatannya untuk melapor, Andi Azis akhirnya ditangkap dan diadili untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan TNI yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 21 April 1950, pasukan ini berhasil menguasai Makassar tanpa adanya perlawanan dari pihak pemberontak.

Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E Kawilarang mendarat di daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama karena keberadaan anggota KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar. Para anggota KNIL memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan terjadinya bentrok antara pasukan KNIL dengan pasukan APRIS.

Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KNIL berlangsung pada tanggal 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada saat itu sedang berada dalam kondisi yang sangat menegangkan karena terjadinya peperangan antara pasukan KNIL dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut pasukan APRIS berhasil menaklukan lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan strategi pengepungan terhadap tentara-tentara KNIL tersebut.

Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk perperang dan melawan serangan dari lawan. Perundingan tersebut akhirnya dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar dari pihak KNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun setuju untuk menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di daerah Makassar tersebut, dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan Makassar.

 

3)    Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Pada tanggal 25 April 1950, Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan oleh sekelompok orang mantan prajurit KNIL dan masyarakat Pro-Belanda yang di antaranya ialah Dr. Christian Robert Steven Soumokil, mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur. Pemberontakan RMS ini merupakan suatu gerakan yang tidak hanya ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur melainkan untuk membentuk negara sendiri yang terpisah dari wilayah RIS. Pada awalnya, Soumokil, salah seorang mantan jaksa agung NIT ini, juga pernah terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Akan tetapi, setelah upayanya untuk melarikan diri, akhirnya dia berhasil meloloskan diri dan pergi ke Maluku. Selain itu, Soumokil juga dapat memindahkan anggota KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon.

a)    Latar Belakang Pemberontakan RMS

Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil (mantan jaksa agung NIT) merupakan sebuah gerakan sparatisme yang bertujuan bukan hanya ingin memisahkan diri dari NIT melainkan untuk membentuk negara sendiri terpisah dari RIS. Soumokil awalnya sudah terlibat dalam pemberontakan Andi Aziz akan tetapi dia dapat melarikan diri ke Maluku. Soumokil juga dapat memindahkan pasukan KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon.

Persamaan antara pemberontakan-pemberontakan Westerling, Andi Aziz, serta usaha-usaha Soumokil adalah ketidakpuasan mereka dengan terjadinya proses kembali ke Negara Kesatuan setelah KMB. Pemberontakan-pemberontakan ini menggunakan unsur KNIL yang merasa tidak pasti mengenai status mereka setelah KMB.

b)    Jalannya Pemberontakan

Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jalannya pemberontakan adalah sebagai berikut.

(1)   Gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan RI.

(2)   Tanggal 25 April 1950, para anggota RMS memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS).

(3)   Tanggal 27 April 1950 Dr. J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haag, Belanda.

(4)   Tanggal 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan.

(5)   Tanggal 9 Mei 1950, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima tertinggi di angkatan perang.

c)     Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku

Pemerintah berusaha mengatasi masalah ini secara damai yaitu dengan mengirimkan misi damai yang dipimpin oleh tokoh asli Maluku, yaitu dr. Leimena. Namun misi ini ditolak oleh Soumokil. Misi damai yang dikirim selanjutnya terdiri dari para politikus, pendeta, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu dengan pengikut Soumokil.

Karena upaya damai mengalami jalan buntu maka pemerintah melakukan operasi militer untuk menumpas gerakan RMS yaitu Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Operasi berlangsung dari tanggal 14 Juli 1950, berhasil menguasai pos-pos penting di Pulau Buru, 19 Juli 1950 pasukan APRIS berhasil menguasai Pulau Seram. Pada tanggal 28 September 1950 Ambon bagian utara berhasil dikuasai. 3 November 1950 benteng Nieuw Victoria berhasil dikuasai. Dengan jatuhnya Ambon maka perlawanan RMS dapat dipatahkan dan sisa-sisa kekuatan RMS banyak yang melarikan diri ke Pulau Seram dan dalam beberapa tahun membuat serangkaian kekacauan.

 

4)    Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)

a)    Latar Belakang Pemberontakan PRRI/Permesta

Penyebab langsung pemberontakan PRRI/Permesta adalah adanya hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, terutama di Sumatra dan Sulawesi mengenai masalah otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Sikap tidak puas tersebut mendapat dukungan dari sejumlah perwira militer.

Para perwira militer tersebut membentuk dewan daerah sebagai berikut:

(1)   Dewan Banteng, dibentuk tanggal 20 Desember 1956 di Sumatra Barat oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein.

(2)   Dewan Gajah, dibentuk tanggal 22 Desember 1956 di Sumatra Utara oleh Kolonel Maludin Simbolon.

(3)   Dewan Garuda, dibentuk pada pertengahan bulan Januari 1957 oleh Letnan Kolonel Barlian.

(4)   Dewan Manguni, dibentuk pada tanggal 17 Pebruari 1957 di Manado oleh Mayor Somba.

 

b)    Usaha Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI/Permesta

Terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta ini mendorong pemerintahan RI untuk mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution supaya menindak tegas pemberontakan yang dilakukan oleh organisasi PRRI/Permesta tersebut. Kabinet Nasution dan para mayoritas pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaya pemberontakan tersebut untuk segera dimusnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, untuk pimpinan Masyumi dan PSI yang berada di Jakarta sedang mendesak adanya perundingan dan penyelesaian secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI memilih untuk menindak para pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir bulan Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai pengeboman instansi-instansi penting yang berada di kota Padang, Bukittinggi, dan Manado.

Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958, daerah Pekanbaru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas pemberontakan PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri ke area perhutanan yang berada di daerah tersebut.

Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi Merdeka pada bulan April 1958 dan operasi tersebut dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi Permesta diduga mendapatkan bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang bergabung dalam gerakan Permesta juga menyerahkan diri.

 

e.    Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Deklarasi Djuanda

Pada masa Demokrasi Parlementer, Indonesia banyak mengalami gangguan stabilitas politik dan keamanan. Meski demikian, pemerintah pada masa Demokrasi Parlementer mampu mewujudkan beberapa keberhasilan yang membanggakan, di antaranya adalah Penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Deklarasi Djuanda.

1)    Penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA)

Konferensi Asia Afrika (KAA) diselenggarakan pada tanggal 18–24 April

1955 di Bandung. Konferensi ini dihadiri oleh 29 negara. Sidang berlangsung selama satu minggu dan menghasilkan sepuluh prinsip yang dikenal dengan Dasasila Bandung.

Penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) membawa keuntungan bagi Indonesia, pamor Indonesia sebagai negara yang baru merdeka naik karena kemampuannya menyelenggarakan konferensi tingkat internasional. Keuntungan lainnya adalah dukungan bagi pembebasan Irian Barat yang saat itu masih diduduki Belanda.

Konferensi Asia Afrika (KAA) juga berpengaruh terhadap dunia internasional. Setelah berakhirnya KAA, beberapa negara di Asia dan Afrika mulai memperjuangkan nasibnya untuk mencapai kemerdekaan dan kedudukan sebagai negara berdaulat penuh. Selain itu, KAA menjadi awal lahirnya organisasi Gerakan Non-Blok.

2)    Deklarasi Djuanda

Sebelum Deklarasi Djuanda, Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah dari pada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan Indonesia.

Batas 3 mil ini menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia. Hal ini menyebabkan kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. Kondisi ini akan menyulitkan Indonesia dalam melakukan pengawasan wilayah Indonesia. Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum teritorial. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.

Penetapan Deklarasi Djuanda dilakukan dalam Konvensi Hukum Laut PBB ke III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Pengakuan atas Deklarasi Djuanda menyebabkan luas wilayah Republik Indonesia meluas hingga 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km².

 

2.     Perkembangan Ekonomi

Pada masa Demokrasi Parlementer, bangsa Indonesia menghadapi permasalahan ekonomi. Permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia pada saat itu mencakup permasalahan jangka pendek dan permasalahan jangka panjang. Permasalahan jangka pendek yang dihadapi pemerintah Indonesia saat itu adalah tingginya jumlah mata uang yang beredar dan meningkatnya biaya hidup. Permasalahan jangka panjang yang dihadapi pemerintah adalah pertambahan jumlah penduduk dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Untuk memperbaiki kondisi ekonomi, pemerintah melakukan berbagai upaya, antara lain adalah sebagai berikut.

a.    Gunting Syafruddin

Dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengatasi defisit anggaran, pada tanggal 20 Maret 1950, Menteri Keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil kebijakan memotong semua uang yang bernilai Rp2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya Melalui kebijakan ini, jumlah uang yang beredar dapat dikurangi.

b.    Sistem Ekonomi Gerakan Benteng

Sistem Ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional.

c.     Nasionalisasi Perusahaan Asing

Nasionalisasi perusahaan asing dilakukan dengan pencabutan hak milik Belanda atau asing yang kemudian diambil alih atau ditetapkan statusnya sebagai milik pemerintah Republik Indonesia. Nasionalisasi yang dilakukan pemerintah terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama yaitu tahap pengambilalihan, penyitaan dan penguasaan. Tahap kedua yaitu tahap pengambilan kebijakan yang pasti, yakni perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu kemudian dinasionalisasikan.

d.    Finansial Ekonomi (Finek)

Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, Indonesia mengirim delegasi ke Belanda untuk merundingkan masalah Finansial Ekonomi (Finek). Perundingan ini dilakukan pada tangal 7 Januari 1956. Rancangan persetujuan Finek yang diajukan Indonesia terhadap pemerintah Belanda adalah sebagai berikut:

1) Pembatalan Persetujuan Finek hasil KMB

2) Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral

3) Hubungan finek didasarkan atas undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain.

Namun usul Indonesia ini tidak diterima oleh Pemerintah Belanda, sehingga pemerintah Indonesia secara sepihak melaksanakan rancangan fineknya dengan membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 13 Febuari 1956 dengan tujuan melepaskan diri dari ikatan ekonomi dengan Belanda. Dampak dari pelaksanaan finek ini, banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.

e.    Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)

Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintah menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956 – 1961.

 

3.     Kehidupan Masyarakat Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer

a.    Kehidupan Sosial

Kehidupan sosial masyarakat Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer banyak dipengaruhi oleh gejolak politik dan permasalahan ekonomi. Gejolak politik menyebabkan munculnya gangguan kemanan di berbagai tempat, dan upaya perbaikan ekonomi yang tidak berjalan lancar. Menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran.

b.    Pendidikan

Pada tahun 1950, diadakan pengalihan masalah pendidikan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat). Kemudian, disusunlah suatu konsepsi pendidikan yang dititikberatkan kepada spesialisasi sebab menurut Menteri Pendidikan pada saat itu, bangsa Indonesia sangat tertinggal dalam pengetahuan teknik yang sangat dibutuhkan oleh dunia modern. Menurut garis besar konsepsi tersebut, pendidikan umum dan pendidikan teknik dilaksanakan dengan perbandingan 3 banding 1. Maksudnya, setiap ada 3 sekolah umum, diadakan 1 sekolah teknik.

Setiap lulusan sekolah dasar diperbolehkan melanjutkan ke sekolah teknik menengah (3 tahun), kemudian melanjutkan ke sekolah teknik atas (3 tahun). Setelah lulus sekolah teknik menengah dan sekolah teknik atas, diharapkan siswa dapat mengerjakan suatu bidang tertentu. Selain itu, karena Indonesia merupakan negara kepulauan, di beberapa kota seperti Surabaya, Makassar, Ambon, Manado, Padang, dan Palembang diadakan Akademi Pelayaran, Akademi Oseanografi, dan Akademi Research Laut. Tenaga pengajarnya didatangkan dari luar negeri seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis.

Pada masa Demokrasi Parlementer didirikan beberapa universitas baru di antaranya adalah Universitas Andalas di Padang, Universitas Sumatra Utara di Medan, Universitas Indonesia di Jakarta, Universitas Padjajaran di Bandung, Universitas Airlangga di Surabaya, dan Universitas Hasanuddin di Makassar.

c.     Kesenian

Dalam bidang kesenian, muncul berbagai organisasi seni lukis, seperti organisasi Pelukis Indonesia (PI) dan Gabungan Pelukis Indonesia (GPI). Selain itu, berdiri pula Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar